Home » » Lidah Nggak Ada Tulangnya Kan ?

Lidah Nggak Ada Tulangnya Kan ?

Written By Unknown on Kamis, 04 April 2013 | Kamis, April 04, 2013


"Kalau bicara tuh hati-hati. Lidah nggak ada tulangnya, tapi hati ada darahnya." Saya terus menerus mengingat nasihat seorang guru saya selagi masih di sekolah menengah atas. Beliau memberikan nasihat itu untuk pembekalan para pengurus kerohanian Islam sekolah kami, saya termasuk di dalamnya. Sepanjang hari setelah acara pembekalan tersebut saya tak hentinya memikirkan kalimat itu. Klimaksnya, saya datangi guru agama itu untuk menanyakan lebih lanjut.

"Lidah nggak ada tulangnya saya mengerti pak, tapi apa kaitannya dengan hati nggak ada darahnya?" tanya saya penasaran. Dengan tenang ia menepuk pundak saya dan meminta saya duduk di sebelahnya. Kemudian ia mengarahkan telunjuknya ke dada saya, "Muara setiap kata itu disini". Ah, saya makin bingung dengan kata-katanya, belum saya pahami kalimat sebelumnya ditambah lagi kalimat baru yang membuat saya makin menggaruk kepala.

Tutur kata itu, lanjutnya, harusnya keluar dari hati. Hati tak pernah berdusta, hanyalah kebenaran yang dihasilkannya, hati itu lembut, apa pun yang berasal darinya tak mungkin melukai, hati itu indah sehingga apapun yang keluar darinya senantiasa indah. Kalimat dan sentuhan yang berasal dari hati akan langsung sampai dan mengena ke hati yang mendengarnya. Lidah dan telinga hanyalah perantara, sedang muaranya adalah hati.

Saya masih belum mengerti benar, walau tetap mengangguk ketika ia memintakan kepahaman saya atas penjelasannya. Sebelum saya beranjak dari sisinya, "Kamu pasti akan memahaminya, segera". Duh guru, saya malah dibuat bingung lagi dengan kalimat terakhirnya itu.

Sepanjang lorong menuju kelas saya terus termenung dan memikirkan kalimat itu hingga tak sadar saya menabrak seorang teman saya yang sedang berdiri. "Mata lu dimana?" bentaknya. Saya pun tersentak dengan kata-kata pedasnya itu, saya memang salah karena menabraknya, tapi kata-kata itu sangat tak sedap di telinga, terlebih di hati ini.

Subhanallah, guru saya benar. Saya langsung memahami semua kata-katanya, bentakkan teman saya itu bahkan masih jelas terngiang hingga detik ini. Sungguh, kalimat kasar, kotor, keras, menghina, merendahkan dan menyakitkan teramat sulit dilupakan seseorang. Karena kalimat itu benar-benar melukai hati saya, terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyembuhkannya. Dan ternyata, sampai hari ini saya masih bisa mengingat wajah teman yang mengeluarkan kalimat itu meski sudah lama saya memaafkannya.

Hati itu ada darahnya, benarlah guru saya. Lidah itu bagaikan sebilah pedang yang teramat mudah melukai perasaan orang lain. Anda mungkin masih merasakan sakit hati ketika direndahkan atau dihina oleh seseorang, meski kejadiannya sudah berpuluh tahun yang lalu namun Anda bisa merasainya seolah itu baru saja terjadi sedetik yang lalu. Anda mungkin sudah memaafkannya, namun ketika Anda bertemu lagi dengannya Anda pasti diingatkan dengan semua kalimat pedas dan merendahkan yang pernah dialamatkannya kepada Anda.

Saya pernah merasakan bagaimana terpuruknya setelah direndahkan orang lain dan merasa tak berharga setiap kali mengingatnya. Maka saya berupaya sekuat hati dan pikiran ini untuk tak mengeluarkan kalimat- kalimat pedas, keras, kotor, hina, merendahkan dan melecehkan karena orang lain yang mendengarnya akan terus menerus merekamnya dalam hati. Dan karenanya pula ia akan terus menerus mengingat wajah saya, bahkan membenci saya. Jikalah saya merasa rendah diri ketika dihina, sakit hati ketika dicemooh, tentulah orang lain pun demikian.

Sebaliknya, saya pun pernah merasai kesejukan dari kalimat-kalimat indah dan lembut dari banyak sahabat, guru, orang tua, bahkan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Sungguh, kesejukan itu masih bisa saya rasakan pada detik ini dan saya senantiasa amat merindui perjumpaan dengan mereka. Rindu nasihat dan kata-kata bijaknya, juga senyum indah yang menyertai kalimat lembutnya. Andai semua manusia di muka bumi ini memiliki kerinduan yang sama dengan saya...

Saya tahu ini tak semudah yang saya pikirkan untuk menjaganya, karena hati kita tak selamanya berada dalam kondisi terbaik. Amatlah bersyukur saya jika hari ini saja, hari ini saja, saya bisa menjaga hati dan lidah saya. Semoga
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin