“Bu, ada saudara ibu mau ketemu," kata resepsionis kantor via
telepon.
“Siapa? tanyaku.
“Katanya dari Jalan Laswi," lanjut
resepsionis lagi.
“Duh. Pasti mau pinjam uang lagi," pikirku, “Gimana
yah, ini kerjaan banyak banget, tamu yang mau ketemu bos juga udah antri."
Hatiku memang agak berat menerima kedatangannya.
“Ya udah, suruh naik
aja," kataku pada resepsionis dengan berat hati.
Dari kejauhan terlihat
saudaraku menyusuri lorong menuju loby kantor. Tubuh kurus dengan pakaian
seadanya. Nampak jelas kesusahan hidup dari kerut-kerut di wajahnya. Senyumnya
lebar seakan ingin menutupi kesusahan hidupnya.
“Nie, apa kabar ?
Kelihatan agak gemuk sekarang. Koq udah lama gak pernah main ke rumah." Aku pun
menyambut kedatangannya dengan senyum yang dipaksakan.
“Duh, sekarang tuh
sibuk banget. Tiap hari pulang malam. Sabtu dan Minggu juga selalu ada
acara."
“Saya kebetulan lewat ke daerah sini, mau cari
spare part blender yang rusak. Ini ada makanan kesukaan Akang, kebetulan kemarin
masak banyak. Maaf ya ganggu kerja kamu. Sampaikan salam saya buat Akang.
Assalaamu ‘alaikum."
Dia pun berlalu dan aku tidak memberikan uang
sepeser pun, walau itu hanya untuk ongkos pulang. Terlihat jelas kekecewaan di
wajahnya. Tapi dia tidak berani mengutarakannya. Langkah gontainya kupandangi
hingga hilang dari ujung lorong.
Duh, ada rasa perih yang menyusup ke
dalam hatiku. Betapa jahatnya hatiku telah berburuk sangka padanya. Aku telah
menyangka kedatangannya hanya untuk meminjam uang padaku. Padahal kedatangannya
hanya untuk mengirim makanan kesukaan Akang, suamiku.
Tak henti-hentinya
aku menyesali diri, betapa jahatnya aku. Hingga sore pekerjaanku tak selesai
juga, hingga aku tak sempat mampir ke rumahnya untuk minta maaf. Sepanjang malam
tadi fikiranku terus tertuju padanya. Naik apa dia pulang tadi, adakah ongkos di
sakunya, atau berjalan kakikah dia menuju rumahnya? Astaghfirullaah. Mengapa
diri ini setega itu padanya.
Sesak dada ini pada saat melihat rumahnya.
Rumah yang hanya sepetak ditempati oleh dia dan tiga orang anaknya. Sementara
dua lagi anaknya yang lain telah dipungut oleh saudara, karena dia sudah tidak
sanggup membiayai sekolahnya. Berat sekali beban dia menanggung lima orang
anaknya, seorang diri karena suaminya telah meninggal beberapa tahun yang
lalu.
Warung kecil tempat dia menggantungkan nasibnya, hanya cukup untuk
makan sehari-hari. Sehingga untuk biaya sekolah selalu meminjam ke kanan dan ke
kiri. Dan semua pinjamannya tidak pernah dikembalikan. Sehingga orang-orang yang
pernah memberi pinjaman, enggan untuk memberinya kembali. Termasuk aku yang pada
saat tidak memiliki uang lebih, kadang membantu walau mencari “sumber pinjaman"
lain, sehingga jika dia tidak mengembalikan, maka akulah yang bertanggung
jawab.
Kasihan memang. Tapi karena pernah ada perbuatannya yang mencoreng
nama baik keluarga besar, jadilah kami enggan menolongnya. Padahal mungkin dia
telah bertobat. Allah saja Maha Pemaaf, kenapa kami begitu sombong untuk
memaafkannya.
Melihat fisiknya yang memprihatinkan, rasanya tak tega
membiarkan dia tenggelam dalam kefakiran. Mungkin sepulang bertemu aku kemarin
ada rasa sakit di dadanya. Ada harapan atas perhatianku padanya. Atau mungkin
ada sebait doa pada Yang Kuasa atas ketidakpedulianku padanya.
Ya Allah,
ampunilah hati ini yang tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Jangan
biarkan doa-doanya akan menuntut kami di akhirat nanti sebagai orang-orang yang
sombong dan tidak mau peduli.
Maafkan aku yang dhaif ini saudaraku...