OLIVER CROMWELL 1599-1658
Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
Michael H. Hart, 1978
Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982
PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat
Michael H. Hart, 1978
Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982
PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat
Oliver
Cromwell pemimpin militer yang brilian dan memikat yang mengepalai kekuatan
parlementer dan mencapai kemenangan dalam perang saudara Inggris adalah orang
yang paling bertanggung jawab terhadap terbentuknya demokrasi parlementer
sebagai bentuk pemerintahan Inggris.
Cromwell
dilahirkan tahun 1599 di Huntingdon, Inggris. Selaku orang muda dia hidup di
Inggris yang tercabik-cabik oleh pertentangan agama dan dipimpin oleh seorang
raja yang percaya dan ingin mempraktekkan monarki absolut. Cromwell sendiri
seorang petani dan tokoh pedesaan serta seorang puritan yang taat. Di tahun
1628 dia terpilih jadi anggota parlemen. Tetapi, jabatan ini sangat singkat
dipegangnya karena pada tahun berikutnya Raja Charles I memutuskan membubarkan
parlemen dan memerintah negeri sendirian. Tak sampai tahun 1640 tatkala dia
perlu uang untuk melancarkan perang terhadap Skotlandia, raja memanggil lagi
parlemen baru. Parlemen baru ini yang Cromwell juga jadi anggotanya, minta
jaminan kepastian dan perlindungan terhadap tidak kembalinya kekuasaan raja
yang semau-maunya. Tetapi, Charles I keberatan berada di bawah kekuasaan
parlemen. Apa daya? Satu-satunya jalan yang tersedia adalah perang, dan
pecahlah perang itu tahun 1646, peperangan antara kekuatan antek raja dan yang
pro parlemen.
Cromwell
berpihak pada yang pro parlemen. Kembali ke kotanya Huntingdon, dia membangun
pasukan berkuda untuk menggempur raja. Selama perang yang berlangsung empat
tahun, kemampuan militernya mendapat sorotan umum. Cromwell pegang peranan penentu,
baik di pertempuran Marston Moor (2 Juli 1644) yang amat kritis dan merupakan
titik balik peperangan, maupun dalam pertempuran yang menentukan di Naseby (14
Juni 1645). Di tahun 1646 perang berakhir dan Charles I dipenjara. Cromwell
diakui sebagai jendral paling sukses dari pihak golongan pro parlemen.
Tetapi,
perdamaian penuh tidak juga datang karena golongan pro parlemen terpecah-pecah
dalam fraksi-fraksi yang secara mendasar saling berbeda tujuan. Raja mengetahui
perpecahan ini, karena itu dia menghindar dari penyelesaian damai. Dalam tempo
setahun, perang saudara kedua pecah lagi disertai segera lolosnya Charles I dan
percobaannya menghimpun pasukan pendukungnya. Hasil dari konflik baru ini
adalah kekalahan pasukan Raja Charles I oleh gempuran Cromwell, mengikis
orang-orang yang berpendirian moderat di parlemen dan menghukum mati Raja
Charles I di tahun 1649 bulan Januari.
Inggris kini
menjadi republik (disebut "Conmmonwealth"), diperintah untuk
sementara oleh Dewan Negara, yang diketuai Cromwell. Tetapi, golongan pro
kerajaan segera dapat menguasai Irlandia dan Skotlandia dan beri dukungan
kepada putera men diang Raja Charles II di masa depan.
Hasilnya
adalah pendudukan yang berhasil atas Irlandia dan Skotlandia oleh pasukan
Cromwell. Rangkaian pertempuran yang panjang berakhir tahun 1625 dengan
kekalahan mutlak para pendukung raja.
Perang sudah
rampung, kini tiba waktunya untuk mendirikan suatu pemerintahan baru. Tetapi,
masih ada sisa masalah mengenai bentuk pemerintahan yang konstitusional yang harus
dijelmakan. Masalah ini tak pernah terpecahkan selama Cromwell masih hidup.
Jendral-jendral puritan telah mampu memimpin pertempuran yang membawa
kemenangan bagi mereka yang menentang monarki absolut. Tetapi, baik kekuatan
maupun prestisenya tidak cukup trampil menyelesaikan konflik sosial diantara
pendukungnya dan tak berhasil mengajak mereka menyepakati konstitusi baru,
karena konflik ini telah kait-berkait dengan konflik agama yang memecah
penganut Protestan dan golongan lain, juga dengan kaum Katolik Romawi.
Tatkala
Cromwell berada diatas tampuk kekuasaan, sisa parlemen tahun 1640 sedikit
sekali jumlahnya, tidak representatif, minoritas yang ekstrim yang disebut
"Rump." Langkah pertama yang ditempuh Cromwell ialah melakukan
penjajagan untuk suatu pemilihan umum baru. Ketika usaha penjajagan itu gagal
berantakan, dia membubarkan "Rump" dengan kekerasan (ini terjadi
bulan April tahun 1653). Sejak itu hingga wafatnya Cromwell tahun 1658, ada
tiga parlemen yang berbeda-beda terbentuk dan dibubarkan. Dua macam konstitusi
disepakati, tetapi tak satu pun berfungsi sebagaimana mestinya. Sepanjang
periode ini, Cromwell memerintah atas dukungan Angkatan Bersenjata. Akibatnya,
dia menjadi diktator militer. Tetapi, percobaannya yang berulang kali
melaksanakan praktek-praktek demokratis dan juga penolakannya atas tawaran
tahta yang diusulkan buatnya, jelas menunjukkan bahwa kediktatoran bukanlah
sesuatu yang dicari dan dikehendakinya. Ini dipaksakan kepadanya oleh
ketidakmampuan para pendukungnya dalam hal mendirikan sebuah pemerintahan yang
berjalan sebagaimana mestinya.
Dari tahun
1653 sampai 1658, Cromwell, dengan gelar Lord Protector (Sang Pelindung), jadi
penguasa Inggris, Skotlandia dan Irlandia. Selama lima tahun itu, Cromwell
membuat Inggris punya pemerintahan yang secara umum baik dan administrasi
berjalan sebagaimana mestinya. Dia memperbaiki pelbagai rupa hukum yang tak
genah dan dia mendukung sektor memajukan pendidikan. Cromwell seorang yang
punya toleransi terhadap agama, dia ijinkan orang-orang Yahudi kembali menetap
di Inggris dan mengamalkan ibadat menurut kepercayaannya. (Mereka terusir dari
Inggris tiga abad lamanya oleh Raja Edward I). Cromwell juga menjalankan
politik luar negeri yang berhasil. Dia meninggal di London tahun 1658 akibat
serangan malaria.
Anak sulung
Cromwell, Richard Cromwell, menggantikan sang bapak tetapi cuma sebentar
memerintah. Tahun 1660 Charles II dinaikkan kembali ke atas tahta. Sisa-sisa
pengikut Cromwell dibabat habis dan digantung mati sampai lidahnya terjulur.
Tetapi, usaha penumpasan macam apa pun yang dilakukan, upaya balas dendam yang
bagaimanapun berkobarnya tidaklah mungkin bisa menutupi fakta bahwa perjuangan
mati-matian demi adanya suatu monarki absolut sudah musnah. Charles II
menyadari hal ini, karena itu dia tidak mencoba melawan keunggulan parlemen.
Tatkala penggantinya, James II, mencoba mengembalikan sistem monarki absolut,
dia segera digulingkan lewat revolusi tak berdarah tahun 1688. Hasil yang
tampak adalah persis seperti apa yang diinginkan oleh Cromwell di tahun 1640,
yaitu suatu monarki konstitusional dimana raja jelas berada di bawah parlemen
dan menghormati lembaga itu, serta negara menganut politik bertoleransi
terhadap semua agama.
Selang tiga
abad sesudah wafatnya, watak Oliver Cromwell telah menjadi bahan perselisihan
pendapat. Sejumlah kritikus menyebutnya seorang munafik seraya menunjuk contoh
bukti betapa dia senantiasa mendambakan keunggulan parlemen tetapi pada saat
berbarengan dia senantiasa menuntut kekuasaan eksekutif di satu tangan. Jadi, pada
hakekatnya dia mendirikan suatu sistem diktator militer. Tetapi, sebagian
terbesar pandangan melihat bagaimanapun juga pengabdian Cromwell untuk
kehidupan demokrasi sangat jujur dan bersungguh-sungguh meski keadaan yang
tidak bisa diatasinya memaksa ia untuk bertindak keras dan diktatorial. Telah
diamati mereka bahwa Cromwell tidak pernah plintat-plintut, dan juga tak pernah
ia menerima tawaran duduk di tahta atau mendirikan kediktatoran yang bersifat
permanen. Pemerintahannya senantiasa bersifat moderat dan penuh toleransi.
Bagaimana
kita bisa menyimpulkan pengaruh Cromwell secara keseluruhan dalam sejarah? Arti
penting utamanya, tak syak lagi, dia seorang pemimpin militer yang brilian,
mampu mematahkan kekuatan kerajaan dalam perang saudara Inggris. Sebelum
Cromwell tampil di gelanggang, keadaan kekuatan parlemen berada dalam tingkat
keburukan yang terendah, karena itu dapatlah dibilang kemenangan terakhir tak
akan pernah terjadi tanpa kehadiran Cromwell. Hasil kemenangan Cromwell adalah
membikin semakin mapan dan kuatnya pemerintahan demokratis di Inggris.
Ini jangan
dianggap sepele. Ini tidak bisa terjadi begitu saja dalam keadaan biasa. Di
abad ke- 17, hampir seluruh Eropa bergerak ke arah sistem monarki absolut.
Kemenangan demokrasi di Inggris merupakan hal yang berlawanan dengan arus yang
sedang deras-derasnya mengalir. Di tahun-tahun sesudahnya, contoh kehidupan
demokrasi di Inggris merupakan faktor pendorong bagi gerakan pembaharuan di
Perancis dan sekaligus Revolusi Perancis dan berbarengan dengan itu menjelmanya
pemerintahan-pemerintahan demokratis di Eropa. Dan tak dapat disangkal,
kemenangan kekuatan demokratis di Inggris memegang peranan penting berdirinya
sistem pemerintahan demokratis di Amerika Serikat dan lain-lain daerah jajahan
Inggris seperti Kanada dan Australia. Kendati Inggris sendiri menduduki hanya
sebagian kecil dari daerah dunia, demokrasi menjalin pengaruh ke daerah-daerah
lain yang lebih-luas.
Oliver
Cromwell bisa ditempatkan lebih tinggi kedudukannya dalam urutan daftar buku
ini, kecuali hampir semua penghargaan bagi pendirian sistem demokrasi di
Inggris dan Amerika Serikat harus dipersembahkan kepada filosof John Locke.
Sedikit sulit menetapkan arti penting relatif buat Cromwell yang pada
hakekatnya adalah orang lapangan yang bertindak sedangkan Locke adalah seorang
penggagas ide-ide. Tetapi, diukur dari iklim intelektual jaman Locke, ide
politik yang serupa akan juga segera muncul meskipun andaikata Locke tidak
pernah hidup. Sebaliknya, kalaulah tak ada Cromwell, besar kemungkinan kekuatan
parlemen tidak akan mampu mengalahkan kekuatan kerajaan dalam perang saudara
Inggris.