Abdullah Ibnu
Ummi Maktum radhiallâhu 'anhu
"Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan
(demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu adalah suatu peringatan, maka
barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." ('Abasa 1-2)
Menurut beberapa
orang Ahli tafsir, 7 ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Ibnu
Ummi Maktum.
Abdullah Ibnu
Ummi Maktum radhiallâhu 'anhu
Siapakah dia dan
darimana asal-usulnya? Apakah ia mempunyai kedudukan sosial dalam kabilah
Arab atau tengah-tengah kaum Quraisy? Apakah ia tergolong salah seorang penyair
tenar yan suaranya berkumandang di Suuq 'Ukazh, mendeklamasikan
kepahlawanan dan keutamaan suatu kabilah, lalu suaranya itu terdengar ke sana
kemari, menjadi pembicaraan orang ramai? Atau, barangkali ia seorang ahli
perang yang berani dan pahlawan yang tak terkalahkan di medan laga, yang
dijagokan para penyair dalam syairnya? Atau, ia termasuk salah seorang tokoh
yang berpikiran cerdik dan jenius, suara dan caranya diterima serta dihargai
para tokoh Arab dan penguasanya?
Ibnu Ummi Maktum radhiallaahu
'anhu bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan namanya pun belum pernah
dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan mengindahkan suaranya. Ia
seorang awam di kota Mekah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya
tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.
Malah, namanya pun
ada yang memperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya
adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat bahwa namanya
adalah 'Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa
nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma'ish. Dia adalah putera dari
bibi Khadijah binti Khuwalid.
Matanya buta sejak
kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin mencari
rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra , namun
semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia
menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya
tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah
didengarnya dengan baik sekali.
Dia mendengar
orang-orang mustadh'afin dan budak-budak (hamba sahaya) di kota Mekah
bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan
berita-berita dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di
Mekah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai
tampak di permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu
menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Kaum Mustadh'afin
dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan itu, sedangkan tohok-tokoh
Quraisy berusaha keras mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa
mengindahkan perkembangan zaman dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.
Ibnu Ummi Maktum
memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam untuk mendengarkan dan
meyakini berita yang sedang ramai diperbincangkan orang itu. Ia mengambil
tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya
lebih hebat dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara yang didengarnya
berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan serta kedamaian
dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi,
sesudah ia mendengarkan kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad al-Amin
dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah
al-Khaliq, untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk menegakkan keadilan
antar berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa persaudaraan
serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang dilanda kezaliman dan
kesesatan.
Ibnu Ummi Maktum
mengulurkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menyatakan ke-Islamannya, keluar dari lingkungan Jahiliah, dan masuk kedalam
barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah Ta'ala dan kepada Rasul-Nya
untuk mengorbankan segala-segala, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Islam.
Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih banyak dan mendalam, tidak
tertahankan lagi; di saat ada kesempatan bertanya, ia mengajukan pertanyaan
tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan sebaik-baiknya.
Kaum Quraisy tidak
mampu menumpas dakwah langit itu. Akhirnya, mereka mengubah taktik dengan
memperlambat gerak dan mempersempit penyebarannya dengan mengejar-ngejar dan
memaksa para pengikutnya yang tidak berdaya dan tidak bersenajta. Akhirnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Memberikan izin kepada para
pengikutnya pergi berhijrah dengan membawaserta agamanya. Di antara para
Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi Maktum. Para sejarawan muslim berbeda pendapat
tentang sejarah hijrahnya itu. Ada yang menetapkan bahwa ia hijrah
sesudah perang Badar dan tinggal di Darul Qurra'. Ada pula yang
mengatakan bahwa ia hijrah sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tiba
di Madinah, sebelum perang Badar. Saya lebih condong menerima
riwayat yang terakhir ini, seperti yang diutarakan Abu Ishaq dari al-Barra' bin
Azib, 'Pada waktu itu, orang yang pertama hijrah ke negeri kami ialah Mush'ab
bin Umair dari bani Abdid-Dar bin Qushai. Kami tanyakan kepadanya , 'Apa kabar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ?' Ia menjawab , 'Beliau
baik-baik saja di Mekah, sedang para sahabat-nya akan segera menyusulku.'
Sesudah itu datang Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra itu. Kami tanyakan
pula kepadanya, 'Apa kabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .?'
Ia menjawab 'Mereka segera akan menyusulku.'"
Ia mulai
melakukan tugasnya yang sejak lama sudah dipersiapkannya dengan
mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota Madinah
menghafal ayat-ayat al-Qur'anul-Karim, dan menyiapkan hati serta jiwa
masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam .
Tak lama setelah itu, sampailah berita bahwa Rasulullah akan segera datang di
Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para penyambut lainnya berderet-deret di tepi
jalan menyambut kedatangan kekasih Allah yang sudah lama tidak terdengar suara
dan pelajarannya.
Menurut sebagian
perawi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di rumah Bani
an-Najjar. Beliau lalu membangun masjidnya untuk dijadikan sekolah terbesar
bagi generasi yang pernah dikenal umat manusia, yang mengemban petunjuk dan
Kitab Allah. Ibnu Ummi Maktum senantiasa menyertai kegiatan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam . Ia ikut aktif dalam pembangunan masjidnya, tidak pernah
absen dalam mengikuti pelajaran yang diberikannya, selalu shalat jama'ah di
belakang beliau, dan hampir tidak ada ayat yang turun di Madinah yang tidak
diketahuinya. Malah, ia puaskan telinganya dalam mendengarkan semua sabda
Rasulullah dan pengarahan langit yang dikirimkan Allah Ta'ala kepada
hamba-Nya, untuk memancarkan persamaan, kedamaian, dan keadilan di seluruh
jagat raya ini.
Menurut Anas bin Malik
radhiallaahu 'anhu, "Pada suatu hari, Malaikat Jibril datang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Disana ada Ibnu ummi Maktum;
ia lalu bertanya , 'Sejak kapan kau tidak dapat melihat?'
'Sejak kanak-kanak.'
'Allah Ta'ala
berfirman, 'Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan
baginya selain surga."
'Selamat bagimu, wahai
Ibnu Ummi Maktum! Engkau telah berhasil menjadi sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam dan mendapat berita gembira masuk surga, langsung
dari malaikat Jibril.'"
Apabila Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjumpainya, beliau suka berucap, "Selamat datang,
wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik!"
Apabila Bilal radhiallaahu
'anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suka sekali
menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu karena suaranya merdu dan
lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang
iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu 'anhu azan untuk
mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur, tetapi kalau terdengar azan
Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu tanda waktu imsak sudah
tiba.
Menurut Abdullah bin
Umar radhiallaahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda, "Apabila bilal azan pada malam hari, maka kalian boleh makan dan
minum hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!"
Ibnu Ummi Maktum
termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang sangat
mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Di hatinya, beliau
lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri. Mereka semua,
termasuk Ibnu Ummi Maktum, sanggup menahan derita serta cerca orang terhadap
diri dan sanak keluarganya, bahkan bisa memaafkan hal itu, tetapi tidak bisa
menerima dan memaafkan hal itu bila ditujukan kepada Rasulullah.
Ibnu Ummi Maktum
pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu
baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi mulutnya tidak pernah diam
menyerang orang-orang yang paling dicintai Ibnu Ummi Maktum. Ia tidak sabar
mendengar ejekan dan cercaan itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya, tetapi
teguran dan peringatannya itu tidak diindahkan. Terpaksalah ia memukulnya.
Ternyata pukulan itu mematikan. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam sesudah ia dihadapkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bertanya,
"Mengapa
kau bertindak demikian?"
"Wahai
Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun ia
senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku
memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai."
"Allah
telah menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?????."
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar
meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya ketika pergi menyerang Kabilah
Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi Imam jamaah dan Khatib shalat
Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi berperang ke Uhud, Hamra'al-Asad,
Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan
Umrah al-Hudaibiyah.
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak
tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat
untuk menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat jamaah, dan lain-lain,
padahal ia seorang tunanetra," demikian ucap asy-Sya'bi.
Ia mengikuti
kehidupan sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti kegiatan berbagai
perutusan yang pergi dan datang menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam . Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam. Hampir seluruh masa
hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut berperang altig?????? dalam
kegiatan kaum muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
"Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai
uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk satu derajat…" (Q.,. 4/an-Nisaa': 95)
Jadi, di sana masih
terdapat lapangan peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran yang
mungkin diperolehnya. Ada suatu taqarrub yang dilakukan orang, yang lebih
mendekatkan orang itu kepada Allah Ta'ala lebih dari dirinya. Ia lalu merintih
menangisi nasibnya kepada Allah Ta'ala, "Ya Allah, Engkau mengujiku dengan
kebutaan. Apa yang dapat aku lakukan selain mengharap rahmatMu yang meliputi
segala-galanya." Lalu turunlah firman-Nya,.. "yang tidak mempunyai
uzur…," sebagai pelengkap.
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu
'anhu, "Ketika firman Allah, 'Tidaklah sama antara mukmin yang
duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang
yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…,' diturunkan,
Abdullah bin Ummi Maktum yang buta (tunanetra) itu datang menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam , lalu bertanya, 'Wahi Rasulullah, Allah telah menurunkan
keutamaan jihad fi sabilillah ; seperti yang baginda ketahui, aku ini
seorang tunanetra, tidak bisa ikut berjihad, apakah kepadaku diberi izin tidak
ikut berjihad?
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, 'Aku belum mendapat keterangan mengenai
dirimu dan orang-orang yang senasib denganmu.'
Ibnu Ummi Maktum
lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya berseru, 'Ya
Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku ini.' Lalu, turunlah
ayat, 'Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang
tidak mempunya uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwa mereka…'"
Izin sudah ia
peroleh dari Allah Ta'ala; apakah ia memanfaatkan izin itu? akan mengikuti
pasukan Islam yang menuju ke al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang
mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, "Hai kekasih Allah, hai
sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam , Hai pahlawan perang,
serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku seorang tunanetra, tak mungkin bisa
lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang berperang."
Menurut Qotadah,
Anas bin Malik radhiallaahu 'anhu berkata: "dalam perang
al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju
besi."
Ia lalu kembali ke
Madinah dan meninggal dunia di sana. Semoga Allah Ta'ala merahmatinya, aamin.
Sebab turunnya
Ayat
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu
'anhu : "Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang
menerima kedatangan Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal, dan al-Abbas bin Abdul
Muththalib, pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berusaha
keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka beriman, tiba-tiba datanglah
seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan Abdullan bin Ummi Maktum. Ia
minta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam supaya kepadanya
dibacakan ayat-ayat Al-Qur'anul Karim, "Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku
apa yang diajarkan Allah kepadamu!".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu mengerutkan mukanya dan memalingkan pandangannya,
kesal kepada omongannya. Ia lalu meneruskan pembicaraannya melayani
tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus pergi dan keluarganya
meninggalkan tempat itu, kemudian turunlah ayat, " 'Abasa
warawalla" .
Sesudah ayat-ayat
itu turun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sangat menghormati
Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu ditanyakan," Apa keperluanmu..?
Apa perlu bantuanku?" Kalau ia hendak pergi, selalulah ditanyakan,"
Apakah kau memerlukan sesuatu?"
Seorang miskin yang
tunanetra itu datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seperti
biasanya ingin belajar dan memperdalam agama Allah Ta'ala. Kali ini, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam sedang sibuk melayani beberapa tokoh
Quraisy, dengan harapan kalau mereka masuk Islam maka akan meringankan tugasnya
dan akan memudahkan perkembangan agama itu karena merekalah yang selalu
merintangi perkembangan Islam dengan harta, kedudukan, dan wibawanya. Mereka
berusaha keras menghalang-halangi orang dari agama Islam dan menyempitkan
ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga hampir tidak berkembang di
Mekah. Orang-orang di luar kota Mekah sudah tentu sulit menerima agama baru
yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan penganjurnya
itu.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi
kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan
kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam maka diharapkan semua
rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam bisa
disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang harapannya itu sehingga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam makin kesal dan gusar karena ia
telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya itu. Rasa benci nampak
diwajahnya dengan mengerutkan mukanya dan juga memalingkan pandangannya.
Disini, Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur. Firman-Nya,
Dia (Muhammad)
bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia
(ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. (Q.,. 'Abasa: 1-6)
Sejak itulah, kata
ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Ibnu
Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya bersabda,
"Selamat datang sahabat, yang kau dicela Tuhanku karenannya! Apa kau
memerlukan sesuatu?"
Renungan
Kami ucapkan selamat
kepadamu, sahabat Rasulullah, atas darmabaktimu terhadap agama Islam dan
kaum muslimin, dan dengan ganjaransurga Tuhanmu yang kau raih.
Seorang yang buta
matanya, tetapi tajam matahatinya. Allah Ta'ala mengabadikan namanya dalam
Al-Qur'anul Karim, sekaligus diproklamasikan berdirinya suatu negara
orang-orang saleh yang berbudi luhur, suatu negara pemeluk Ilahi di muka bumi.
Ia sebagai proklamasi bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan harus
ditegakkan. Hak asasi manusia untuk bersaing secara sehat dan untuk mendapatkan
persamaan dan keadilan dijamin untuk merealisasikan firman-Nya, "Sesungguhnya
orang-orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling
bertaqwa."
Sejak saat itulah,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyambut baik kedatangan para
sahabatnya yang terbilang lemah dan miskin, yang ternyata kemudian suara mereka
menggema ke seluruh permukaan bumi, mengumandangkan suara perdamaian, keadilan
persamaan, dan persaudaraan. Mereka pancarkan cahaya agama Alah Ta'ala untuk
menghalau kegelapan dan kesesatan; mereka berusaha keras menanggulangi kebodohan
dan kemiskinan; dunia menyambut kedatangan mereka sebagai pemimpin dan guru.
Segelintir orang
keluar dari tengah-tengah gurun pasir yang gersang , pergi mengembara ke Timur,
menerobos benteng Cina yang besar, mengembangkan agama Allah Ta'ala sampai ke pedalaman
negeri itu. Mereka mengembangkan agama Allah ke India dan kepulauan-kepulauan
di Lautan Teduh, lalu berhasil menerobos ke Eropa, maka bertemulah Timur dan
Barat dalam pengakuan Islam. Pasukan Maslamah bin Abdul Malik berhasil
menaklukan Konstantinopel di sebelah Timur, sedangkan pasukan Abdurrahman
al-Ghafiqi berhasil membebaskan Iberia (Spanyol dan Portugal) dari sebelah
barat, sehingga para pelaut Islam menguasai Laut Tengah sepenuhnya, memiliki
dan mengawasi keamanan pulau-pulau yang ada, sehingga pelayaran antar
pulau-pulai itu, Sicilia, Siprus, dan Koriska, tempat Napoleon diasingkan,
berjalan dengan lancar dan aman. Salah seorang penyair menggambarkan masa jaya
itu sebagai berikut.
"Dahulu,
mereka hanyalah penggembala unta sebelum kebangkitannya.
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".