A. Pelaksanaan Reformasi di Bidang Perbendaharaan
Sebagaimana diketahui reformasi di bidang perbendaharaan mempunyai
konsekuensi pada pemisahan kewenangan administratif (ordonateur) dan
kewenangan kebendaharaan (comptable). Kewenangan administratif yang
selama hampir 58 tahun berada di Kementrian Keuangan beralih pada
Kementrian/Lembaga sementara Kementrian Keuangan mempunyai kewenangan
kebendaharaan. Dari pengamatan terhadap pelaksanaan APBN tahun 2005 dan
triwulan pertama tahun anggaran 2006 memberikan gambaran masih terdapat
berbagai hambatan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien (operational
efficeincy).
Permasalahan aktual dan krusial yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan
fungsi pelayanan yang diemban KPPN sebagai ujung tombak dalam rangka
pembayaran dana APBN adalah :
- Aspek check and balance (saling uji) belum dapat dijalankan dengan baik sebagai konsekuensi pemisahan fungsi orodonateur dan fungsi comptable dikarenakan faktor SDM yang masih belum siap menjalankan amanat UU No.1/2004
- Cara berpikir (mindset) jajaran Dit.Jen.Perbendaharaan (Kanwil DJPBN dan KPPN) yang sebagian besar belum memahami bahwa telah terjadi perubahan dalam sistim pembayaran sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17/2003 dan UU No.1/2004 yakni diterapkannya sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
- Masih adanya perasaan berat hati melepaskan kewenangan administratif yang telah bertahun-tahun melekat dan seolah menjadi ”bench mark” pegawai KPPN bahwa dalam pelaksanaan pembayaran harus melakukan pengujian substantif yang kadang terjebak kepada pengujian formal yakni aspek tujuan pembayaran (doelmatigheid). Contoh : Dikarenakan penulisan resume kontrak yang kurang lengkap KPPN minta kontrak sebagai bahan pemeriksaan;
- Adanya perbedaan penafsiran dalam menterjemahkan peraturan pelaksanaan yang mengakibatkan ketidakjelasan atau grey area bahkan menjadi blank area dan mendorong pada satu tindakan yang mengarah pada pelayanan yang berbelit-belit. Contoh : Dalam hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212) ternyata dalam SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk dalam BKPK 5231 dan ternyata dalam RKAKL memang alokasi dana untuk pemeliharaan AC tersebut masuk dalam MAK 521219
- Adanya pertentangan pemahaman satu produk aturan dan produk aturan lainnya menimbulkan dilematika dalam pelaksanaan pengujian substantif atas perintah pembayaran contoh : pada pasal 19 ayat 2c UU No.1 tahun 2004 tentang pengendalian anggaran negara dan pasal 19 ayat 2 mengenai kewajiban bendahara umum negara serta penjelasan UU dimana fungsi komptabel tidak sekedar sebagai kasir tapi termasuk sebagai pengawas keuangan. Dilain pihak pada Peraturan Menteri Keuangan 96/2005 disebutkan bahwa Satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya masing-masing yang juga dituangkan pada halaman pengesahan DIPA. Hal ini berpengaruh pada kualitas pelayanan antar KPPN karena masing-masing mempunyai standar pelayanan berdasarkan penafsiran dan pemahaman aturan-aturan tersebut
- KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan yang seharusnya merupakan kewenangan administratif dan berada di Satker/KPA. Hal ini merupakan inkonsistensi dalam penerapan pemisahan ordonateur dan comptable.
B. Pelaksanaan Kewenangan Administratif (Ordonateur) di KPA
Permasalahan yang dihadapi KPA dalam pelaksanaan fungsi administratif :
- Permasalahan dalam DIPA misalnya : tidak tersedia MAK 511119 (Pembulatan) MAK 511124 (tunjangan fungsional), MAK 511125 (PPh Ps.21) menimbulkan dilematika pada KPPN untuk melakukan pembayaran;
- Adanya euforia (Let’s the manager manage) untuk melakukan pengeluaran sesuai keinginan dengan berdalih pada Petunjuk Operasional Kegiatan yang pada dasarnya adalah untuk menghabiskan dana yang tersedia dalam DIPA sehingga mengakibatkan penafsiran yang menyimpang dari bagan perkiraan standar
Contoh
- Pembayaran insentif pegawai untuk kegiatan bersifat rutin
- Fungsional
- Kegiatan-kegiatn yang kurang mendukung pencapaian sasaran
Dalam hal pengadaan barang dan jasa yang dikontrakkan pada pihak yang bukan ahli dibidangnya
- Adanya kecenderungan melakukan pengadaan barang dan jasa dengan pembayaran Uang Persediaan/ Tambahan UP khususnya untuk pekerjaan swakelola misalnya pada Dinas Kimpraswil. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya permintaan izin TU dengan beraneka alasan yang pada hakikatnya adalah keengganan KPA untuk melakukan pembayaran langsung;
- Adanya kecenderungan melakukan perubahan/penambahan volume kegiatan yang pada hakikatnya adalah untuk penyerapan dana, dengan mengalihkan dari kegiatan yang dirasa sulit untuk melakukan pencairan dana. Indikator ini dapat dibuktikan banyaknya pengajuan revisi kepada Kanwil DJPBN;
- Belum adanya kesadaran para pengelola keuangan untuk menjadikan dan memiliki peraturan tentang pengelolaan keuangan sebagai pegangan dan acuan kerja, dan lebih mengandalkan pada konsultasi ke KPPN dimana kemampuan dan penguasaan peraturan teknis pegawai yang melayani juga masih terbatas;
- Belum adanya kemandirian para penanggung jawab fungsional (Bendahara, Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM) yang pada umumnya secara struktural merupakan pegawai bawahan pembuat komitmen (Kabag Umum / Kasubag Umum/ Kasubag TU) yang dalam pelaksanaan pekerjaannya berada dalam kendali dan atas perintah atau lebih extrim berada dalam “tekanan” sesuai keinginan atasannya sehingga ada rasa enggan atau takut terjadinya conflict of interest;
- Masih lemahnya kemampuan pejabat penerbit SPM dalam menterjemahkan DIPA serta RKA-KL dan akibatnya pengujian tagihan dan pembebanan MAK/MAP tidak sesuai dengan substansi pembayaran,
Contoh :
Dalam hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212)
ternyata dalam SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk
dalam BKPK 5231 dan ternyata dalam RKAKL memang alokasi dana untuk
pemeliharaan AC tersebut masuk dalam MAK 521219
C. Faktor-faktor yang mempegaruhi pelaksanaan tugas
a. Faktor yang mendukung pelaksanaan tugas
- Proses pengolahan data pelaksanaan APBN dilakukan secara elektronik didukung dengan aplikasi program secara integrasi;
- Adanya payung hukum yang mandiri dan mempunyai legimitasi yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta peraturan lainnya.
b. Faktor yang menghambat pelaksanaan tugas
- Kemampuan SDM menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan tugas dikarenakan di era Teknologi Informasi maka pelaksanaan tugas menuntut adanya kemampuan di bidang pengolahan data (komputer) disamping pengetahuan kewenangan kebendaharaan dan pengetahuan kewenangan administratif yang standar;
- Pembinaan terhadap KPA masih dilakukan parsial dan seharusnya pembinaan dan bimbingan teknis dilakukan secara komprehensf meliputi aspek otoriasasi, orodonansering, comptable, akuntansi dan pengolahan data;
- Kurangnya sosialisasi dalam bentuk GKM kepada lingkup internal (jajaran DJPBN);
- Belum adanya payung hukum bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN untuk melakukan pengawasan kepada satker pengguna atas pengelolaan keuangan negara khususnya ada temuan kejanggalan atau indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh KPA;
- Tidak adanya penghargaan (reward) dan sanksi (punishmen) atas kinerja pegawai;
- Sarana dan prasarana berupa piranti komputer dan jaringan website untuk mendukung sistem pembayaran yang belum memadai mengingat sarana yang ada sementara ini sudah tergolong kuno dan tidak branded.
D. Usul Penyempurnaan Aturan Pelaksanaan Kewenangan Kebendaharaan
Dari pengamatan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang dikemukakan
di atas dapat disimpulkan masih terdapat kelemahan khususnya efficiency
operational yang dikhawatirkan justru akan menghambat pencapaian tujuan
dan sasaran program. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah
perbaikan sebagai berikut :
- Perlu adanya aturan sebagai bentuk pembinaan sekaligus pengawasan atas pengelolaan keuangan negara (post audit) oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN. Artinya apabila ada kejanggalan atau ditemukan indikasi penyimpangan dalam perintah pembayaran maka BUN/Kuasa BUN tetap menerbitkan SP2D, namun perlu dilakukan pembinaan secara tertulis atas kesalahan/penyimpangan tersebut dengan tembusan kepada aparat pengawas fungsional. Produk aturan yang diusulkan adalah dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan;
- Diperlukan penyuluhan secara kontinyu kepada KPA agar mind set selaku pemegang kewenangan administratif dapat dipahami dan diresapi. Untuk itu fungsi pembinaan pada Bidang PPKN dan Bidang AKLAP perlu dirumuskan ulang agar pola pembinaan yang dilakukan benar-benar komprehensif dan tepat guna sesuai reformasi manajemen keuangan pemerintah;
- Perlu aturan tentang standar mutu layanan Kanwil DJPBN dan KPPN agar proses pengalihan kewenangan administratif kepada KPA dapat berjalan dengan baik;
- Dengan diberlakukan standar mutu layanan maka perlu adanya bentuk kompensasi yakni berupa rangsangan (insentif) sebagai reward dan sebaliknya akan diberikan sanksi apabila ada pelanggaran dalam pelayanan kepada mitra kerja;
- KPPN tidak perlu lagi membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan (lampiran 14-3 PER-66/PB/2005) dikarenakan hal tersebut merupakan kewenangan administratif pada KPA;
- Perlunya Bank Data Pegawai Negeri Sipil seluruh Indonesia agar file data jati diri PNS dapat secara mudah diakses oleh seluruh unit pemakai mengingat di era IT semua data diproses secara elektronik;
- Diterapkan standar kompetensi dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja Dit.Jen.Perbendaharaan termasuk lingkup Kanwil DJPBN dan KPPN dikarenakan perubahan dalam sistem penganggaran di era reformasi manajemen pemerintah menghendaki adanya profesionalisme dan kompeten di bidang tugasnya;
- Perlu percepatan peningkatan kompetensi pegawai di bidang otorisasi, ordonateur, akuntansi, analisa pelaporan dan pengolahan data dengan indikator sasaran prosentase pegawai yang mempunyai keahlian pada bidang tersebut dengan melaksanakan kegiatan on the job training (pelatihan di tempat kerja) dan GKM dengan sisitim mentoring;
- Perlu dirumuskan ulang prosedur kerja Kanwil DJPBN dan KPPN dalam hal :
- • Pola pembinaan sistem akuntansi pemerintah yang komprehensif dan pengolahan data yang integrasi dengan membetuk think thank dan DUKTEK di Kanwil DJPBN
- Standardisasi kinerja KPPN :
a. Diterapkan pengamanan prosedur tetap pengamanan database
b. Ditentukan proses cut off
c. Dibentuk work shop untuk menanggulangi permasalahan aplikasi
d. Standar rekonsiliasi dalam rangka mutu pelayanan terhadap mitra kerja
e. Prosedur perbaikan data
E. Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah
Indikasi penyimpangan anggaran negara sebagaimana ditemukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran pada
sebagian kalangan politisi dan masyarakat bahwa reformasi manajemen keuangan pemerintah tampaknya masih dalam batas verbalisme politis. Sistem manajemen keuangan
pemerintah dan aparat pelaksananya masih belum mampu menggunakan uang
rakyat secara bertanggung jawab. Sungguh ironis di tengah pengangguran
dan kemiskinan yang semakin meluas serta hutang negara yang semakin
membengkak, oknum aparat pemerintah masih melakukan tindakan tidak
terpuji dengan menyalahgunakan uang rakyat. Perilaku koruptif masa Orde
Baru masih melekat kuat pada sebagian aparat pemerintah.
Hasil temuan BPK tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan sistem manajemen keuangan pemerintah kita? Apabila ternyata sistem manajemen keuangan pemerintah kita terbukti memiliki kelemahan, apakah ada sistem manajemen keuangan pemerintah alternatif yang mampu menekan penyimpangan dan pemborosan keuangan dan sumber daya negara? Sistem manajemen keuangan pemerintah
Apa yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (1995) dalam menggambarkan keadaan manajemen
keuangan pemerintah semasa Orde Baru tampaknya masih belum berubah
secara signifikan pada masa Orde Reformasi sekarang ini. Ia mengatakan
bahwa manajemen
keuangan pemerintah sudah tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan.
Sebagai contoh, sistem pelaporan keuangan, katanya "....sering hanya
menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang menunjukkan efisiensi
penggunaan biaya tersebut". Sistem pelaporan keuangan yang memungkinkan
terjadinya distorsi informasi demikian tentunya sangat buruk bagi proses
pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah yang efektif di bidang manajemen aset dan kewajiban (liabilities).
Dalam praktik manajemen
keuangan pemerintah yang masih berlangsung sekarang ini, ada
kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik
anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya.
Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa
anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka
jumlah anggaran yang disetujui Departemen Keuangan untuk tahun
berikutnya, baik yang diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan (DUK)
maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih kecil dari jumlah anggaran
tahun sebelumnya.
Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan
sisa anggaran dan membuat laporan keuangan "yang seolah-olah benar"
untuk menjustifikasi kegiatan tersebut. Dalam sistem manajemen
keuangan demikian tidak ada insentif bagi pengelola anggaran untuk
menghemat maupun mengelola anggaran tersebut secara efektif dan efisien.
Lemahnya manajemen pemerintahan khususnya manajemen
keuangan, pemerintah yang menstimulasi perbuatan koruptif demikian
telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah
terutama pada lembaga pengawasan.
Apabila dilihat dari praktik pengelolaan keuangan negara, tampak jelas
pemerintah menggunakan "Cash Accounting System" (Sistem Akutansi
Tunai-SAT). Penggunaan sistem ini dipertegas lagi dalam Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.
217/KMK.03/1990.
SAT hanya mencatat pos-pos penerimaan dan pengeluaran tunai. Dalam SK
Menteri tersebut ditegaskan bahwa mulai 1 April 1990 berlaku sistem baru
untuk semua pembayaran atas beban kepanjangan (APBN) yang disebut
Sistem Pembayaran dengan Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD).
Dalam sistem UYHD tampak jelas pencatatan hanya dilakukan pada
pembayaran tunai kegiatan jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban
jangka panjang.
Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan akutansi pemerintah
selama ini, SAT yang digunakan pemerintah tidak mencatat aset dan
kewajiban terutang baik dalam bentuk akun yang terutang (account
payable) maupun akun piutang (account receivable). Oleh karena itu,
tidak jelas dan sulit dilacak berapa nilai semua aset dan kewajiban yang
dimiliki pemerintah.
Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan cenderung
memberikan informasi yang tidak lengkap dan menyesatkan. Keadaan
demikian seringkali membuat keputusan dan kebijakan publik yang
berkaitan dengan aset dan kewajiban pemerintah, termasuk manajemen hutang salah dan tidak efektif (policy defect). Kelemahan lain dari manajemen
keuangan pemerintah selama ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di
luar APBN yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya pengalokasian
dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparan dan
lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan
prinsip pemerintahan yang baik (good governance).
Berbeda dengan SAT, Sistem "Accrual Accounting" (SAA) bukan hanya
mencatat nilai penerimaan dan pembayaran tunai tetapi juga mencatat
semua nilai aset dan kewajiban jangka panjang. Oleh karena itu, dengan
SAA semua aset dan kewajiban pemerintah akan terlihat dan terdeteksi.
Melalui pencatatan account payable dan account receivable, SAA secara
sistematis membukukan, dalam bentuk double entries, semua aset dan
kewajiban pemerintah.SAA mengutamakan pemenuhan prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntablitas publik dalam manajemen keuangan dan sumber daya negara.
Penerapan SAA adalah wujud pelaksaan good governance dalam manajemen
keuangan dan sumber daya (aset) negara. Namun demikian, efektivitas
implementasi SAA tersebut tidak bisa lepas dari apa yang kemudian
dikenal dalam manajemen sektor publik moderen New Public Management
(NPM) sebagai korporasi manajemen
pemerintahan (corporate government). Sebagaimana layaknya dikenal dalam
dunia bisnis swasta, dalam NPM pun diaplikasikan konsep ownership
(pemilikan), purchase (pembeli), shareholder (pemegang saham), dan
custtomer (pelanggan). NPM mengonstruksi organisasi pemerintah sebagai
suatu korporasi. Masyarakat, sebagai pembayar pajak (tax payer), adalah
shareholder dari organisasi tersebut.
Masyarakat berhak tahu atas segala urusan dan manajemen organisasi
pemerintah, termasuk manajemen aset dan kewajiban. Pengurus organisasi
tersebut wajib memberitahukan secara transparan kepada masyarakat
sebagai shareholder semua hal mengenai aset dan kewajiban organisasi,
baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Menteri, sebagai
pimpinan tertinggi dari organisasi tersebut, harus bertanggung jawab
dan akuntabel kepada masyarakat mengenai semua hal menyangkut kemajuan
dan manajemen organisasi.
Peran dan partisipasi masyarakat dalam korporasi manajemen pemerintahan
demikian adalah dengan mengawasi penggunaan dan pengelolaan aset dan
kewajiban organisasi. Apabila pengurus gagal mengelola aset dan
kewajiban organisasi maka masyarakat bisa mengusulkan untuk mengganti
pengurus atau menteri yang memimpin organisasi tersebut. Dalam NPM
hubungan antara Menteri dan Direktur Jenderal sebagai CEO (Chief
Executive Officer) diwujudkan dalam bentuk Performance Contract (kontrak
kinerja) yang biasanya berlaku selama lima tahun. Dalam kontrak
demikian, menteri sebagai wakil dari owner (pemerintah), dapat memecat
CEO sebelum habis masa kontrak kerjanya apabila ia gagal dalam mengelola
aset dan sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu, CEO
akan termotivasi untuk mengelola aset organisasi tersebut secara lebih
afektif, efisien, dan bertanggung jawab.
Namun, SAA bukannya tanpa kekurangan. Kelemahannya adalah relatif
tingginya biaya admisitrasi dan transaksi (transaction cost). Dalam
sistem ini setiap organisasi pemerintah diwajibkan mempublikasikan
laporan keuangannya kepada publik. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga
pemeriksa keuangan (auditor) profesional untuk menyiapkan dan mengaudit
laporan keuangan tersebut. Selain itu, efektivitas SAA dalam manajemen
aset dan keuangan negara sangat bergantung pada integritas moral dan
keprofesionalan para operatornya.
Di sinilah profesi pemeriksa keuangan, baik ia sebagai pemeriksa
keuangan internal maupun eksternal (internal and external auditor)
maupun pengelola keuangan pemerintah, memegang peranan penting.
Efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan pemerintah telah
dibuktikan oleh Pemerintah Selandia Baru. Hasilnya, posisi anggaran
belanja Pemerintah Selandia Baru berubah, dari defisit sebesar $ 2.254
miliar tahun 1990-1991 menjadi surplus $755 juta pada 1994 dan $ 3.314
juta pada 1996. SAA telah memberikan kontribusi yang nyata dalam menekan
pemborosan anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan
anggaran tersebut.
SAA merupakan sistem manajemen keuangan alternatif yang dapat digunakan
oleh pemerintah Indonesia untuk mereformasi manajemen keuangannya.
Sistem ini telah terbukti mampu mengelola kekayaan negara secara
efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Namun, hal yang paling mendasar
agar sistem tersebut bekerja dengan efektif adalah adanya kemauan
politik pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menerapkan sistem
tersebut guna mewujudkan good governance dalam manajemen keuangan
pemerintah
http://www.sarjanaku.com