Di
sebuah desa yang jauh dari kota hiduplah seorang pemuda yang pemberani
dan pandai. Kepandaiannya sangat termasyhur di seluruh negeri maghriba.
Santun tingkah lakunya membuat orang disekitarnya menyayangi dan
menghormatinya. Dia tidak ragu untuk membantu sesamanya yang membutuhkan
bantuannya. Tak jarang hasil kerjanya seharian dia belikan makanan dan
dibagikan kepada tetangganya yang miskin dan membutuhkan makanan.
Tharikh, nama yang pemberian dari orang tuanya yang sangat menyayanginya
dan mendidiknya sepenuh hati.
“assalamualaikum nek, gimana keadaan nenek hari ini?” sapa tharikh kepada nenek malika yang sudah renta dan sering sakit.
“waalaikumsalam
nak, biasa namanya juga orang sudah tua. Tubuh sudah mulai lemah dan
banyak penyakit yang menghampiri” sahut nenek malika dengan suara yang
gemetar.
“nek,
ini saya bawakan makan malam untuk nenek. Gak banyak nek tapi cukup
untuk mengganjal perut malam ini” kemudian Tharikh menyodorkan sebungkus
nasi yang terbungkus daun pisang kepada nenek malika.
“kamu
seharusnya tidak perlu repot nak, kumpulkan hasil kerja mu untuk masa
depan mu. Tapi malah setiap hari kamu bagikan kepada orang lain” ujar
nenek malika menasehati.
“nenek
sayang…. ini adalah rizki nenek dan yang lainnya dari Allah yang
diberikan melalui saya. Nenek tidak usah khawatir dengan masa depan saya
nek. Ada Allah yang mengetahui apa yang terbaik untuk saya kelak
dikemudian hari” blas tharikh sambil tersenyum.
“bahagia
sekali kedua orang tua yang telah melahirkan anak seperti kamu nak”
kata nenek malika sambil mengusap rambut tharikh. Pemuda yang bukan
sanak bukan famili tapi selalu membantunya setiap hari tanpa pamrih.
“kalau
begitu saya permisi dulu ya nek, masih banyak yang harus dibagikan
kepada yang lain biar tidak tidur dalam keadaan lapar” pamit Tharikh
kepada nenek malika.
“silahkan nak, semoga Allah senantiasa memberi kamu rizki yang berlimpah” doa nenek malika untuk Tharikh.
“aamiin,
saya pamit dulu nek jangan lupa dimakan selagi hangat ya nek.
Assalamualaikum” pamit Tharikh sambil mencium tangan nenek malika.
“waalaikumsalam” Jawab nenek malika.
Dan
tidak berapa lama Tharikh sudah menghilang dibalik pintu dan pergi
menuju ke tempat para janda tua dan fakir miskin yang berada tak jauh
dari rumahnya. Dia tidak tega mendengar rintihan tetangganya yang tidak
dapat tidur karena menahan lapar.
Pada
suatu hari tersiarlah kabar kalau raja negeri maghriba akan berkunjung
ke desa dimana Tharikh tinggal. Pak Sufyan sang pemimpin desa sibuk
mempersiapkan penyambutan yang meriah untuk menyambut kedatangan sang
raja. Segala umbul umbul di pasang sepanjang jalan desa dan rumah-rumah
penduduk pun diperintahkan untuk dihias dan dikapur agar tampak indah.
Namun Tharikh tidak begitu mengindahkan perintah dari Pak Sufyan.
Tharikh
dan keluarganya lebih suka menyibukkan diri bekerja untuk dapat
menghidupi keluarganya dan membantu para tetangga yang kekuarangan.
Tibalah
hari dimana sang Raja berkunjung ke kampung masyriki dimana Tharikh
tinggal. Sang Raja berada diatas kereta mewah dengan ditarik kuda-kuda
yang gagah dan indah. Sang Raja memakai mahkota dan busana yang indah
penuh dengan sulaman benang emas. Raja tersenyum melihat pemandangan
desa yang begitu tertata rapi dan seolah tidak menampakkan ada banyak
perut yang lapar dibalik dinding-dinding bambunya.
Tibalah
sang Raja di depan Rumah keluarga dimana Tharikh dan orang tuanya
tinggal. Rumahnya tampak kusam dan hanya tertata rapi. Tidak di kapur
dan juga tidak si hias seperti rumah yang lainnya.
“rumah siapa ini?” tanya sang Raja dengan suara geram.
“rumah kami yang mulia” jawab Pak Abdullah ayah Tharikh.
“kenapa rumah kamu tidak berhias untuk menyambut kedatangan ku?” tanya sang Raja dengan suara agak keras.
“maafkan
kami yang mulia, kami ini keluarga sederhana yang hanya mampu membeli
kebutuhan makan kami. Mohon maaf jika kurang berkenan di hati paduka”
jawab pak Abu dengan tenang menjelaskan.
“maaf
paduka, saya adalah anak dari bapak ini. Seandainya paduka sudi
berkunjung ke rumah kami yang sederhana ini. Dan mungkin itu tidak akan
merendahkan derajat paduka di mata rakyat paduka” sela Tharikh kepada
sang Raja.
“biar
paduka tahu keadaan kami yang sebenarnya, bagaimana kehidupan kami yang
sebenarnya yang mungkin belum pernah paduka dengar sebelumnya” tambah
Tharikh
Sejenak sang Raja pun tertegun dengan keberanian Tharikh, pemuda yang gagah namun berpenampilan sederhana tapi bersih dan rapi.
“baiklah aku akan berkunjung ke gubuk mu ini” kata sang raja tak berapa lama kemudian.
“silahkan
yang mulia” kata Tharikh sambil membungkuk memberikan jalan kepada
Rajanya yang turun dari kereta dan berjalan menuju rumah Tharikh. Pak
abu, Bu Abu dan Tharikh berjalan mengiringinya dari belakang.
Sesampainya
di dalam rumah, Tharikh mempersilahkan Sang Raja maghriba untuk duduk
di kursi kayu yang sederhana tapi bersih. Raja tertegun dengan kerapian
dan kebersihan rumah yang sederhana yang hanya terbuat dari bilik bambu
itu.
“gubuk kalian bersih dan rapi” cetus sang Raja seketika.
“beginilah
paduka keadaan kami, jelas jauh berbeda dengan istana paduka yang
pastinya sangat megah dan indah. Yang pasti membuat kagum para tamu dari
kerajaan lain yang berkunjung” jawab Tharikh memuji rajanya.
“tentu saja… itu untuk menunjukkan kemakmuran kerajaan maghriba yang agung” ujar sang Raja menyombongkan istananya.
“kami
menghormati dan menyayangi paduka sebagai pemimpin kami, tapi apakah
paduka menyayangi kami dan memperhatikan kami? maaf paduka sekali lagi
maaf atas kelancangan saya” tanya Tharikh sambil menundukkan kepalanya.
“tentu saja aku meyayangi kalian, buktinya kalian hidup makmur dibawah kepemimpinanku” jawab Sang Raja dengan bangga.
“apa paduka tahu masih banyak rakyat negeri ini setiap malam tidur dengan perut lapar” Tanya Tharikh kembali.
“mana ada di kerajaan ku yang makmur ini rakyat ku yang kelaparan?” sang Raja agak sedikit gusar
“janganlah
tertipu penampilan desa ini yang indah dan penuh hiasan dalam menyambut
paduka. sesungguhnya di desa ini banyak warga miskin yang kelaparan”
dengan santun Tharikh menjelaskan.
“desa
ini penuh dengan air mata para janda tua, fakir miskin dan anak yatim.
Bukankah seharusnya itu menjadi kewajiban paduka untuk memelihara
mereka? bukankah itu adalah ajaran agama kita? lantas bagaimana
pertanggungjawaban paduka dihadapan Allah kelak? Paduka tidur dengan
kenyang sementara banyak rakyat yang kelaparan paduka?” Tharikh
melembutkan suaranya agar Raja maghriba tidak tersinggung.
“Astaghfirullah…. ” ucap sang raja seketika sambil menutup wajahnya dan kemudian duduk terimpuh di lantai.
“ya
Allah… selama ini hamba sibuk dilenakan oleh kekayaan serta sanjung
puji orang-orang yang berada disekitarku dan hanya ingin menyenangkan
aku. Ampuni hamba ya Allah” sang raja pun menangis menyadari sikapnya
selama ini.
“Terima
kasih anak muda, kamu telah mengingatkan aku kembali. Mulai sekarang
kamu aku angkat menjadi penasehat ku. Dan aku akan memberikan hak para
janda tua, fakir miskin dan anak yatim di seluruh negeri yang aku pimpin
ini” ucap sang Raja kepada Tharikh.
Sang
Raja pun kemudian pamit dan melangkah keluar. Kemudian dia pun
memanggil menterinya untuk mendata semua warga miskin di kerajaannya
untuk memberikan hak mereka. Tharikh telah menaklukkan hati dan
kesombongan Rajanya dengan kata-katanya. Tharikh telah menaklukkan hati
masyarakat sekitarnya dengan tingkah laku dan kesopanannya. Keihlasannya
membantu sesama dan kehalusan budi pekertinya telah menaklukkan hati
semua orang.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community
Silakan bergabung di grup FB Fiksiana Community