
1. Permasalahan
Migrasi Di Negara Maju Dan Negara Berkembang
Satu-satu
pernyataan yang paling sering kita dengar adalah bahwaglobalization means
the compressed time and space. Mungkin
sebagian dari kita benar-benar merasakan hal ini secara langsung. Bila kita
bandingkan dengan era dulu, perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lain
membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, sejak adanya globalisasi, dimana
terjadi perkembangan yang pesat di bidang teknologi transportasi dan
komunikasi, batas ruang dan waktu seakan bukan menjadi masalah. Bagi kita yang
tinggal di wilayah dunia Indonesia misalnya, untuk menuju wilayah Eropa, kita
hanya membutuhkan sekitar kurang lebih 16 jam perjalanan udara. Realitas inilah
yang kemudian menjadikan masyarakat menjadi lebih leluasa mobilitasnya.
Akibatnya, sistem-sistem pemerintahan pun harus menyesuaikan dengan
sebaik-baiknya.
melihat adanya
keleluasaan mobilitas penduduk akibat globalisasi, tidak terlepas dari adanya
Revolusi Indusri Inggris pada abad ke-17. Revolusi Industri yang semakin
meningkat ini melahirkan penemuan-penemuan yang cukup maju seperti: kereta api,
telegram, telepon, pesawat terbang dan lain sebagainya. Selain itu, Revolusi
Industri ini juga menuntut adanya kebutuhan bahan mentah. Adanya kedua faktor
inilah yang menjadikan adanya peningkatan migrasi masyarakat ke seluruh dunia
yang berujung pada usaha kapitalisme atau integrasi ekonomi global. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Benedict Anderson (1998: 67) bahwadevelopments have had
and will continue to have vast consequences precisely because they are integral
components of the transnationalization of advance capitalism and of the
steepening economic stratification of the global economy.
Mobilitas massa
yang besar sejak masa itu tentunya telah memberikan pengaruh yang cukup
signifikan bagi setiap negara. Pengaruh tersebut dapat berupa efek positif
maupun efek negatif. Efek positif yang dapat terjadi berdasarkan argumen dari
Bhagwati (2004: 213) adalah kemajuan ekonomi atau dengan kata lain dapat
membuka peluang perdagangan yang semakin meluas akibat adanya integrasi
internasional serta memunculkan beberapa tenaga yang sangat ahli di suatu
bidang tertentu. Sedangkan efek negatifnya adalah keadaan sosial yang rentan
untuk mengalami krisis. Seperti misalnya: (1) perebutan wilayah teritorial,
seperti yang kini terjadi antara Filipina dan Malaysia atas Sabah; (2) fenomena brain drain, seperti yang
terjadi ketika masyarakat Eropa banyak bermigrasi menuju USA ; (3) konflik
budaya, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia atas Tari Pendet
atau Reog Ponorogo; dan (4) konflik sosial, seperti yang terjadi di Bangladesh
akibat migrasi kaum Rohingya Burma. Hal ini berdasarkan pernyataan Nicholas Van
Hear (1998: 250) bahwa globalisasi merupakan fenomena yang tidak sempurna,
globalisasi justru merubah tatanan migrasi kepada krisis migrasi. Namun
terlepas dari semua itu, asumsi globalisasi sebagai the uncontrolled and unstopped
phenomenon, tentunya
akan semakin meningkatkan mobilitas penduduk. Oleh karena itu, perlua adanya
suatu ketegasan pemerintah negara dalam mengaturnya agar tidak timbul
dampak-dampak buruk semacam adanya imigran gelap
Jagdish Bhagwati
(2004:209) menjelaskan beberapa tipe imigrasi, yakni: imigrasi dari negara
miskin ke negara kaya atau sebaliknya, yang dapat memiliki bentuk respon yang
berbeda-beda; imigrasi skilled dan unskilled
labour, yang dapat
menimbulkan fenomena brain-drain;
dan imigrasi legal atau ilegal serta voluntary
immigrant dan involuntary immigrant.
Bhagwati kemudian fokus pada pengaruh proses migrasi ini kepada aspek
perekonomian, dimana pada akhirnya menyimpulkan bahwa adanya faktorsupply, yakni faktor yang menyebabkan imigran
meninggalkan tanah airnya dan faktor demand,
berupa faktor yang dimiliki negara host untuk menarik imigran. Hal-hal
yang termasuk dalam faktor supply antara lain: ketidaksetaraan
dan adanya iming-iming kualitas standar hidup, kemajuan pendidikan dan
kesempatan bagi anak-anak,dan fasilitas yang menjanjikan bagi tenaga ahli di
negara host (Bhagwati, 2004: 210-211).
Sementara itu, beberapa faktor demand adalah kebutuhan negara maju
akan tenaga kerja ahli yang berusia produktif (Bhagwati, 2004: 212). Adanya demand factorinilah yang
akhirnya menimbulkan efek brain-drain dan juga perekrutan tenaga outsourcing.
Ketika seseorang
yang melakukan migrasi ke negara host dan mendapatkan kehidupan yang
layak dan menjadi sukses, maka hal tersebut akan menjadi motivasi bagi orang
lain untuk meraih kehidupan yang sama. Sehingga, ia terpacu untuk meninggalkan home country menuju host country. Akibatnya,
negara home justru kekurangan tenaga
ahlinya karena adanya migrasi tersebut. Menghadapi hal ini negara home juga membuka keran bagi unskilled labor yang ingin bermigrasi. Namun,
negara host justru menutup diri untuk
menerima mereka dan ini menimbulkan keadaan yang asimetris yang akan
menciptakan illegal
immigrants (Bhagwati,
2004: 213). Tetapi, keadaan asimetris tersebut tidak mengkhawatirkan bagi
Bhagwati. Sebab, ia memberikan solusi berupa pengenaan pajak bagi penduduk yang
tinggal dan bekerja di luar negeri. Pajak ini berperan sebagai alat penyeimbang
yang dapat membantu kelangsungan pembangunan di negara home. Selain itu, pemerintah
juga harus menjalankan kebijakan yang mengintegrasikan migran pada negara host dengan cara yang meminimalkan biaya
sosial dan meningkatkan keuntungan ekonomi (Bhagwati, 2004: 217). Sehingga,
nantinya diharapkan akan terjadi keseimbangan akibat intensitas interaksi ini
yang pada akhirnya membawa kemajuan bersama bagi setiap Negara.
argumen Bhagwati
mengenai pemicu migrasi ada benarnya. Hanya saja, penulis kurang sependapat
dengan Bhagwati terkait dengan solusi yang ditawarkan. Solusi ekonomi hendaknya
juga diiringi dengan solusi sosial, dimana nantinya para imigran ini tidak
dianggap sebagai ancaman bagi penduduk lokal. Sebuah kasus nyata yang pernah
terjadi adalah xenophobia pada tragedi holocaust di era NAZI atas kaum Yahudi dan
separatisme bangsa Moro di Filipina akibat munculnya kaum Katolik yang
tiba-tiba mendesak keberadaan mereka (Chalk, 2001: 247). Oleh karena itu, penulis mencoba
menawarkan solusi sosial yang juga harus diterapkan baik oleh host country maupun home country, yakni membentuk
suatu tatanan politik yang strategis berupa demokrasi poliarki yang dapat
mendukung transformasi migrasi secara kosmopolit. Sebagaimana pernyataan Robert
A Dahl (1956: 69) bahwa di dalam proses demokrasi, setiap penduduk merupakan
bagian dari kelompok kepentingan yang mengartikan kepentingannya sesuai dengan
kehidupan sehari-hari. Sehingga, kebijakan hukum yang diambil tentunya tidak
hanya bergantung pada suara terbanyak, tetapi juga bersifat pluralis yang
nantinya mampu mengakomodir seluruh kepentingan dan mencegah ketimpangan baik
di segi ekonomi maupun sosial. Singkatnya, strategi keseimbangan yang tepat
dibutuhkan dalam menanggapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh mobilitas
massa di era globalisasi ini.