Home » » PERMASALAHAN MIGRASI

PERMASALAHAN MIGRASI

Written By Unknown on Sabtu, 27 Juli 2013 | Sabtu, Juli 27, 2013



 
1.     Permasalahan Migrasi Di Negara Maju Dan Negara Berkembang
Satu-satu pernyataan yang paling sering kita dengar adalah bahwaglobalization means the compressed time and space. Mungkin sebagian dari kita benar-benar merasakan hal ini secara langsung. Bila kita bandingkan dengan era dulu, perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lain membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, sejak adanya globalisasi, dimana terjadi perkembangan yang pesat di bidang teknologi transportasi dan komunikasi, batas ruang dan waktu seakan bukan menjadi masalah. Bagi kita yang tinggal di wilayah dunia Indonesia misalnya, untuk menuju wilayah Eropa, kita hanya membutuhkan sekitar kurang lebih 16 jam perjalanan udara. Realitas inilah yang kemudian menjadikan masyarakat menjadi lebih leluasa mobilitasnya. Akibatnya, sistem-sistem pemerintahan pun harus menyesuaikan dengan sebaik-baiknya.

melihat adanya keleluasaan mobilitas penduduk akibat globalisasi, tidak terlepas dari adanya Revolusi Indusri Inggris pada abad ke-17. Revolusi Industri yang semakin meningkat ini melahirkan penemuan-penemuan yang cukup maju seperti: kereta api, telegram, telepon, pesawat terbang dan lain sebagainya. Selain itu, Revolusi Industri ini juga menuntut adanya kebutuhan bahan mentah. Adanya kedua faktor inilah yang menjadikan adanya peningkatan migrasi masyarakat ke seluruh dunia yang berujung pada usaha kapitalisme atau integrasi ekonomi global. Sebagaimana yang dikatakan oleh Benedict Anderson (1998: 67) bahwadevelopments have had and will continue to have vast consequences precisely because they are integral components of the transnationalization of advance capitalism and of the steepening economic stratification of the global economy.
Mobilitas massa yang besar sejak masa itu tentunya telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi setiap negara. Pengaruh tersebut dapat berupa efek positif maupun efek negatif. Efek positif yang dapat terjadi berdasarkan argumen dari Bhagwati (2004: 213) adalah kemajuan ekonomi atau dengan kata lain dapat membuka peluang perdagangan yang semakin meluas akibat adanya integrasi internasional serta memunculkan beberapa tenaga yang sangat ahli di suatu bidang tertentu. Sedangkan efek negatifnya adalah keadaan sosial yang rentan untuk mengalami krisis. Seperti misalnya: (1) perebutan wilayah teritorial, seperti yang kini terjadi antara Filipina dan Malaysia atas Sabah; (2) fenomena brain drain, seperti yang terjadi ketika masyarakat Eropa banyak bermigrasi menuju USA ; (3) konflik budaya, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia atas Tari Pendet atau Reog Ponorogo; dan (4) konflik sosial, seperti yang terjadi di Bangladesh akibat migrasi kaum Rohingya Burma. Hal ini berdasarkan pernyataan Nicholas Van Hear (1998: 250) bahwa globalisasi merupakan fenomena yang tidak sempurna, globalisasi justru merubah tatanan migrasi kepada krisis migrasi. Namun terlepas dari semua itu, asumsi globalisasi sebagai the uncontrolled and unstopped phenomenon, tentunya akan semakin meningkatkan mobilitas penduduk. Oleh karena itu, perlua adanya suatu ketegasan pemerintah negara dalam mengaturnya agar tidak timbul dampak-dampak buruk semacam adanya imigran gelap

Jagdish Bhagwati (2004:209) menjelaskan beberapa tipe imigrasi, yakni: imigrasi dari negara miskin ke negara kaya atau sebaliknya, yang dapat memiliki bentuk respon yang berbeda-beda; imigrasi skilled dan unskilled labour, yang dapat menimbulkan fenomena brain-drain; dan imigrasi legal atau ilegal serta voluntary immigrant dan involuntary immigrant. Bhagwati kemudian fokus pada pengaruh proses migrasi ini kepada aspek perekonomian, dimana pada akhirnya menyimpulkan bahwa adanya faktorsupply, yakni faktor yang menyebabkan imigran meninggalkan tanah airnya dan faktor demand, berupa faktor yang dimiliki negara host untuk menarik imigran. Hal-hal yang termasuk dalam faktor supply antara lain: ketidaksetaraan dan adanya iming-iming kualitas standar hidup, kemajuan pendidikan dan kesempatan bagi anak-anak,dan fasilitas yang menjanjikan bagi tenaga ahli di negara host (Bhagwati, 2004: 210-211). Sementara itu, beberapa faktor demand adalah kebutuhan negara maju akan tenaga kerja ahli yang berusia produktif (Bhagwati, 2004: 212). Adanya demand factorinilah yang akhirnya menimbulkan efek brain-drain dan juga perekrutan tenaga outsourcing.
Ketika seseorang yang melakukan migrasi ke negara host dan mendapatkan kehidupan yang layak dan menjadi sukses, maka hal tersebut akan menjadi motivasi bagi orang lain untuk meraih kehidupan yang sama. Sehingga, ia terpacu untuk meninggalkan home country menuju host country. Akibatnya, negara home justru kekurangan tenaga ahlinya karena adanya migrasi tersebut. Menghadapi hal ini negara home juga membuka keran bagi unskilled labor yang ingin bermigrasi. Namun, negara host justru menutup diri untuk menerima mereka dan ini menimbulkan keadaan yang asimetris yang akan menciptakan illegal immigrants (Bhagwati, 2004: 213). Tetapi, keadaan asimetris tersebut tidak mengkhawatirkan bagi Bhagwati. Sebab, ia memberikan solusi berupa pengenaan pajak bagi penduduk yang tinggal dan bekerja di luar negeri. Pajak ini berperan sebagai alat penyeimbang yang dapat membantu kelangsungan pembangunan di negara home. Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan kebijakan yang mengintegrasikan migran pada negara host dengan cara yang meminimalkan biaya sosial dan meningkatkan keuntungan ekonomi (Bhagwati, 2004: 217). Sehingga, nantinya diharapkan akan terjadi keseimbangan akibat intensitas interaksi ini yang pada akhirnya membawa kemajuan bersama bagi setiap Negara.
argumen Bhagwati mengenai pemicu migrasi ada benarnya. Hanya saja, penulis kurang sependapat dengan Bhagwati terkait dengan solusi yang ditawarkan. Solusi ekonomi hendaknya juga diiringi dengan solusi sosial, dimana nantinya para imigran ini tidak dianggap sebagai ancaman bagi penduduk lokal. Sebuah kasus nyata yang pernah terjadi adalah xenophobia pada tragedi holocaust di era NAZI atas kaum Yahudi dan separatisme bangsa Moro di Filipina akibat munculnya kaum Katolik yang tiba-tiba mendesak keberadaan mereka (Chalk, 2001: 247). Oleh karena itu, penulis mencoba menawarkan solusi sosial yang juga harus diterapkan baik oleh host country maupun home country, yakni membentuk suatu tatanan politik yang strategis berupa demokrasi poliarki yang dapat mendukung transformasi migrasi secara kosmopolit. Sebagaimana pernyataan Robert A Dahl (1956: 69) bahwa di dalam proses demokrasi, setiap penduduk merupakan bagian dari kelompok kepentingan yang mengartikan kepentingannya sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga, kebijakan hukum yang diambil tentunya tidak hanya bergantung pada suara terbanyak, tetapi juga bersifat pluralis yang nantinya mampu mengakomodir seluruh kepentingan dan mencegah ketimpangan baik di segi ekonomi maupun sosial. Singkatnya, strategi keseimbangan yang tepat dibutuhkan dalam menanggapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh mobilitas massa di era globalisasi ini.
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin