MIGRASI DI
NEGARA MAJU VERSI NEGARA BERKEMBANG
(Tugas
Tambahan Kuis Sosiologi Industri)
Oleh
ARIF SOBARUDIN
1116011014

JURUSAN
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
LAMPUNG
T.A 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak tahun
1970, bahkan sejak perekonomian diikuti oleh kenaikan harga minyak dunia pada
1973, banyak pemerintah Eropa Barat tidak bisa menghalangi datangnya pekerja
asing kendati mereka memiliki hak untuk melakukannya. Arus perpindahan penduduk
melewati batas negara ini dipahami sebagai isu utama yang berdampingan sebagai
dampak dari fenomena integrasi dimensi perdagangan, makroekonomi, pertumbuhan,
dan kesehatan yang terjadi berdampingan karena proses globalisasi. Fenomena,
penyebab, dan konsekuensi perpindahan melewati batas negara tersebut saat ini
tidak dikesampingkan dalam berbagai studi akademis ilmu sosial terkait dengan
ekonomi, ilmu politik, hubungan internasional dan studi lain yang melibatkan
serangkaian etika dan teori.
Terkait dengan
“apakah arus migrasi merupakan sebab proses globalisasi?” Arus migrasi pada era
“saat ini” tidak lebih besar daripada arus migrasi di era-era sebelumnya.
Migrasi yang terjadi saat ini hanya sebesar 175 juta orang saja, artinya jumlah
ini hanya berkisar 3 persen dari total penduduk dunia (Bhagwati, 2004: 209).
Bhagwati menyebutkan banyak pengamat menilai arus migrasi saat ini lebih kecil
disebabkan hambatan seperti kontrol perbatasan yang ketat dan migrasi bukan hal
yang cuma-cuma. Ahli sejarah banyak yang setuju bahwa migrasi yang paling
fenomenal hingga mencapai 10 persen jumlah penduduk dunia terjadi di abad
kesembilan belas. Perbedaan migrasi era lalu dengan saat ini terletak pada
perpindahan penduduk dari negara miskin ke negara kaya daripada perpindahan
penduduk dari Old World(Eropa) ke New World (Amerika Serikat), merujuk pada
perpindahan penduduk atau migrasi sebelum dan pasca Perang Dunia. Pernyataan
Bhagwati ini juga didukung oleh Martin Wolf, Jeffrey William, dan Timothy
Hutton yang menyatakan “Empat puluh tahun sebelum PD I, migrasi meningkatkan
daya kerja Dunia Baru (Amerika Serikat) sebanyak 1/3 jumlah populasi dunia dan
mengurangi daya kerja Eropa sebanyak 1/8, merupakan gambaran yang tidak
terlampaui oleh migrasi California dan Meksiko yang terjadi empat puluh tahun
yang lalu”. Perpindahan atau migrasi saat ini diyakini merupakan suatu hal yang
membawa pertentangan dan menimbulkan anggapan bahwa mesti dikonfrontasi
(Bhagwati, 2004: 209).
Arus perpindahan
manusia (migrasi) terjadi dalam banyak cara sehingga mengundang diterapkannya
suatu kebijakan sebagai respon terhadap fenomena tersebut. Bhagwati dalam
tulisannya berjudul “International Flows of Humanity” meyakini analisis arus
perpindahan tersebut dikelompokkan menjadi tiga tipe yang dapat membantu dalam
mengenali problem migrasi saat ini dan metode untuk mengatasinya antara lain:
1)
arus
migrasi dari negara miskin ke negara kaya dengan perbedaan implikasinya apabila
arus tersebut berjalan sebaliknya.
2)
arus
migrasi pekerja ahli dan pekerja non-ahli, pada awalnya dapat dianggap
menyebabkan problema brain-drain di negara yang ditinggalkan biasanya terjadi
di negara miskin dan berkembang atau opportunity bagi para migran sendiri.
3)
arus
migrasi secara ilegal dan legal, dan yang mana dipicu kondisi dan situasi
misalnya akibat perselisihan dan tekanan migrasi yang bersifat karena dorongan
(voluntary) atau paksaan (involuntary) seperti arus pengungsi.
Persoalan yang
muncul terletak pada asimetri kepentingan negara kurang maju (miskin) dan
negara maju terkait dengan migrasi. Misalnya, terkait dengan arus migrasi
tenaga ahli dan tenaga non-ahli: negara maju cenderung menginginkan imigran
yang masuk adalah tenaga-tenaga ahli yang kompeten dan sibuk untuk menerapkan
berbagai kebijakan yang mencegah tenaga non-ahli memasuki batas negara mereka.
Sedangkan negara berkembang memiliki kepentingan untuk membiarkan/ mengijinkan
tenaga kerja non-ahli keluar dari wilayahnya, dan menahan tenaga ahli untuk
tetap tinggal di negaranya. Fenomena perpindahan tenaga ahli ke negara maju
inilah yang sering dirujuk sebagai fenomena “brain drain” atau “human capital
flight”.
Persoalan kedua
terletak pada ketidakseimbangan kesempatan di negara berkembang (Negara asal)
dan negara maju (negara tujuan) dalam menyediakan hiburan, fasilitas-fasilitas
yang mendukung karir profesional tenaga ahli, pengalaman pekerjaan yang lebih
baik, dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Akan lebih tidak masuk akal jika
negara asal menerapkan kebijakan untuk membatasi imigran menetap di negara
tujuan. Oleh karena itu terdapat beberapa kondisi yang ditawarkan oleh Bhagwati
dalam melihat fenomena “brain drain” ini dari dua dimensi, negara asal dan
negara tujuan.
Tulisan ini
bertujuan mendapatkan gambaran umum secara deskriptif migrasi di negara maju
versi negara berkembang.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam rumusan
masalah ini penulis mencoba mengetahui sejauhmana permasalahan dan kebijakan migrasi
di negara maju versi negara berkembang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP
MIGRASI
1.
Pengertian
Migrasi
Migrasi adalah
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat
lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara
(migrasi internasional)(Munir, 2000 : hal (116). Dengan kata lain, migrasi
diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara)
ke daerah (negara) lain.
Migrasi juga didefinisikan
sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau kelompok orang dari satu unit
wilayah geografis menyebrangi perbatasan politik atau administrasi dengan
keinginan untuk tinggal dalam tempat waktu yang tidak terbatas atau untuk
sementara di suatu tempat yang bukan daerah asal. Sedangkan migrasi tenaga
kerja biasanya didefinisakan sebagai perpindahan manusia yang melintasi
perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (IOM, 2009).
Sedangkan menurut Everesst S. Lee, Migrasi adalah perubahan tempat tinggal yang
permanent atau semi permanent dan tidak ada batasan mengenai jarak yang
ditempuh, apakah perubahan tempat tinggal itu dilakukan secara sukarela atau
terpaksa, dan apakah perubahan tempat tinggal itu antar Negara atau masih dalam
suatu Negara.
2.
Teori-Teori
Ahli Migrasi
a.
Arthur
Lewis
Lewis merupakan
salah satu ahli yang mengatakan bahwa factor-faktor atau alas an yang menyebabkan
seseorang melakukan migrasi adalah karena perbedaan upah.
Lewis (1954)
berpendapat bahwa di Negara-negara yang sedang berkembang terdapat dualisme
kegiatan perekonomian, yaitu di sector ekonomi subsisten (pertanian) di
pedesaan, dan sector ekonomi modern dengan tingkat prodiktivitas yang tinggi
diperkotaan. Proses pembangunan di Negara-negara sedang berkembang dimulai dari
sector subsisten dan dalam waktu yang hamper bersamaan dilakukan pembangunan
besar-besaran di sector industri modern. Produktivitas yang tinggi di sector
industri modern, telah menghasilkan sector ini memberikan kontribusi yang besar
dalam mendorong laju pembangunan ekonomi. Sedangkan pada sector pertanian
dengan produktivitas yang relative rendah, telah menyebabkan terjadinya kelebihan
tenaga kerja di sector ini. Sering dengan kondisi tersebut, pertambahan
penduduk yang relative besardi pedesaan, menyebabkan luas lahandi sector
pertanian semakin sempit. Akibatnya tenaga kerja di sector pertanian akan
pindah ke sector industri perkotaan. Di sisi dengan perkembangan yang pesat
yang terjadi di sector industri/kapitalis yang sangat terkonsentrasi di daerah
perkotaan ini, mengakibatkan perdeaan upah antara sector industri dan pertanian
semakin besar. Kondidi ini pula yang menyebabkan terjadinya migrasi penduduk
dari pedesaan ke perkotaan.
Dengan adanya
perbedaan upah antara sector industri dan pertanian, maka tenaga kerja akan
bermigrasi ke perkotaan dalam rangka memperoleh pekerjaan pada sector
induistri, karena sector pertanian mengalami pertumbuhan relative lambat, baik
di sector produksi, penyerapan tenaga kerja, demikian juga tingkat upah.
Kritik terhadap
teori lewis
Model pembangunan teori ini
memperhatikan proses perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota, perekomian
dibagi 2 sektor yaitu (a) sector tradisional (pedesaan yang subsisten) yang
ditandai dengan produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah dan (b) sector
modern (industri perkotaan) dimana tenaga kerja dari sector subsisten berpindah
secara perlahan. Titik perhatian utama model ini adalah proses perpindahan
tenaga kerja dan pertumbuhan tingkat pengerjaan (employment) di sector modern
(perkotaan) menyebabkan pertumbuhan output di sector modern. Kecepatan dua hal
(perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan pengerjaan) tergantung pada tingkat
akumulasi modal industri di sector modern.
Walaupun model pembangunan dua
sector dari lewis adalah sederhana dan sesuai dengan pengalaman sejarah
pertumbuhan ekonomi di Barat, model ini mempunyai 3 asumsi pokok yang sangat
berbeda dengan kenyataan-kenyataan dari migrasi dan keterbelakangan yang
terjadi di NSB saat ini.
Pertama, model ini menganggap bahwa
tingkat perpindahan tenaga kerja dan tingkat perpindahan tenaga kerja dan
tingkat penciptaan kesempatan kerja di sector perkotaan adalah proporsional
dengan tingkat akumulasi modal di perkotaan. Tetapi jika surplus laba para
pemilik modal diinvestasikan kembali8 dalam bentuk peralatan yang lebih hemat
tenaga kerja (labor-saving) daripada sekedar menambah modal saja. Hal ini lebih
memberikan gambaran apa yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi “anti
pembangunan”.
Kedua, asumsi dari model ini yang
berbeda dengan kenyataan adalah asumsi bahwa “surplus” tenaga kerja terjadi di
daerah pedesaan sedangkan di daerah perkotaan ada banyak kesempatan kerja.
Hampir semua penelitian sekarang menunjukkan keadaan yang sebaliknya yang
terjadi NSB yaitu banyak pengangguran terbuka terjadi di daerah perkotaan
tetapi hanya ada sedikit surplus tenaga kerja di daerah perdesaan.
Ketiga, asumsi model lewis yang
tidak realistis adalah anggapan bahwa upah nyata di perkotaan akan selalu tetap
sampai pada satu titik dimanba penawaran dari surplus tenaga kerja perdesaan
habis. Salah satu gambaran yang menarik dari pasar tenaga kerja perkotaan dan
penentuan tingkat upah di hampir semua NSB adalah adanya kecenderungan bahwa tingkat upah untuk meningkat secara
nyata sepanjang waktu, baik dalam nilai absolutnya maupun jika dibandingkan
dengan pendapatan rata-rata perdesaan, sekalipun ada kenaikan tingkat
pengangguran terbuka.
b.
Todaro
Model todaro
merumuskan bahwa migrasi berkembang karena perbedaan antar pendapatan yang
diharapkan dan yang terjadi di pedesaan dan di perkotaan. Anggapan yang
mendasar adalah bahwa para migrant tersebut memperhatikan berbagai kesempatan
kerja yang tersedia bagi mereka dan memilih salah satu yang bisa memaksimumkan
manfaat yang mereka harapkan dari bermigrasi tersebut. Manfaat-manfaat yang
diharapakan dietntukan oleh perbedaan-perbedaan nyata antara kerja di desa dan
di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk mendapatkan kerja di kota.
Pada hakekatnya,
teori ini menganggap bahwa angkatan kerja, baik actual maupun potensial,
memperbadingkan pendapatan yang mereka “harapkan” di perkotaan pada suatu waktu
tertentu dengan memperhitungkan pendapatan rata-rata di pedesaan. Akhirnya
mereka melakukan migrasi jika pendapatan yang ‘diharapkan” di kota lebih besar
daripada pendapatan rata-rata di pedesaan.
Secara singkat
bisa disebutkan disini bahwa model migrasi dari todaro mempunyai 4
karakteristik utama yaitu:
Migrasi terutama
sekali dirangsang oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang rasional.
Misalnya pertimbangan manfaat (benefits) dan biaya (costs), terutama sekali
secara financial tetapi juga secara psikologis.
keputusan untuk
bermigrasi lebih tergantung pada perbedaan upah riil “yang diharapkan” daripada
“yang terjadi” antara pedesaan dan perkotaan, di mana perbedaan yang
“diharakan” itu ditentukan oleh interkasi anta dua variable yaitu perbedaan
upah pedesaan-perkotaan yang terjadi kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan di
sector perkotaan.
Kemungkinan
untuk memperoleh pekerjaan di perkotaan berhubungan terbailk dengan tingkat
pengangguran di perkotaan.
tingkat migrasi
yang melebihi tingkat pertumbuhan kesemptana kerja di perkotaan sangat mungkin
terjadi. Oleh karena itu, tingkat pengangguran yang tinggi di perkotaan
merupakan hal yang tidak terelakkan karena adanya ketidakseimbangan yang parah antara
kesempatan-kesempatan ekonomi di perkotaan dan di pedesaan pada hamper semua
NSB.
c.
Haris-Todaro
Seperti yang
dikemukakan oleh Todaro, terjadinya migrasi dari sector tradisional di pedesaan
ke sector modern di perkotaan ditentukan oleh dua factor, yaitu: Pertama,
tingkat perbedaan upah nyata antara sector pertanian (pedesaan) dan sector
industri (perkotaan). Kedua, adanya peluang untuk memperoleh oekerjaan di
perkotaan. Migrasi akan terjadi apabila ada perbedaan upah yang diharapkan
(expected rate) anta sector pertanian di pedesaan dan sector industri di
perkotaan. Tetapi jika upah yang diharapkan (expected rate) lebih tinggi di
sector pertanian di pedesaan tidak akan terjadi migrasi dari perkotaan ke
perdesaan.
Oleh
Haris-Todaro, upah yang diharapkan (expected rate) dirumuskan sebagai E (W),
yaitu pertalian antara upah nyata (W) dengan proobabilitas mendapatkan
pekerjaan di daerah perkotaan (P). dengan asumsi bahwa probabilitas mendapatkan
pekerjaan di daerah pedesaan dan perkotaan = 1, sehingga expected wage antara
pedesaan dan perkotaan sama dengan upah nyata.
Jika diumpamakan
daerah perkotaan = urban (u) dan daerah pedesaan = rural (r), maka expected
wage dapat diformulasikan sebagai berikut:
E (Wr) = Wr.Pr
Dimana : Pr = 1
Maka : E (Wr) = Wr, dengan cara yang
sama diperoleh untuk perkotaan: E (Wu) = Wu
Apabila Eu = peluang memperoleh pekerjaan
di perkotaan dan
Lu = jumlah angkatan
kerja di daerah perkotaan
Maka :
E (Wu) = Wu. Eu/Lu
Dari formula tersebut diperoleh tiga
kemungkinan yaitu:
1)
Migran
akan terjadi jika: E (Wr) < E (Wu) dan atau Wr = Wu . Eu/Lu
2)
Migrasi
tidak akan terkjadi jika: E (Wr) > E (Wu) dan atau Wr > Wu.Eu/Lu
3)
Tanpa
migrasi jika: E (Wr) = E (Wu) dan atau Wr = Wu.Eu/Lu
d.
Don
Bellante dan Mark Jackson
Bellante dan
Jackson dengan kerangka konsep yang dikembangkan, telah menghipotesisikan bahwa
migrasi tenaga kerja ke suatu daerah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai
penawaran dan juga permintaan terhadap tenaga kerja. Jika penawaran tenaga
kerja bertambah terus, maka pada daerah tersebut akan terjadi kelebihan tenaga
kerja, sedangkan di daerah asal akan menjadi kekurangan tenaga kerja. Dalam
kondisi demikian terjadi perubahan tingkat upah. Tingkat upah di daerah tujuan
cenderung menurun, dan daerah asal cenderung naik.
e.
Sture
Oberg (1993)
Oberg mengatakan
bahwa factor-faktor yang mempengaruhi migrasi tenaga kerja dimasa mendatang
selain tergantung dari karakteristik/perilaku migrant yang bersangkutan, juga
tergantung dari factor-faktor –pendorong dan penarik. Dari analisa yang
dilakukan Oberg pada daerah miskin dan kaya yang memiliki perbedaan tingkat
kesejahteraan memperlihatkan bahwa factor-faktor pendorong yang menyebabkan
seseorang bermigrasi dibedakan menjaddi 2 (dua) aspek, yaitu factor pendorong
yang kuat (hard push factor) dan yang lemah (soft push factor). Faktor
pendorong yang kuat adalah karena peperangan (war), kelaparan dan lingkungan
yang tidak aman (environment catastrophes). Sedangkan factor-faktor pendorong
yang lemah antara lain: perselisihan etnik (persecution), kemiskinan (poverty)
dan keterasingan dan lingkungan social (social loneliness).
f.
Lary
A. Sjaastad
Sjaastad (1962)
mengatakan migrasi merupakan suatu investasi modal manusia, dalam hal ini migrant
sebelum melakukan perpindahan pekerjaan ke daerah lain terlebih dahulu
mempersiapkan diri, seperti investasi modal manusia, pertimbangan terhadap
keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkan, serta biaya psikis yang tidak
dapat dihitung dengan uang.
g.
Everett
S. Lee
Menurut Everett
S. Lee (Munir.2000, hal.120) ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil
keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu:
1.
Faktor-faktor
yang terdapat di daerah asal
2.
Faktor-faktor
yang terdapat di tempat tujuan
3.
Rintangan-rintangan
yang menghambat
4.
Faktor-faktor
pribadi
Di setiap tempat
asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang untuk tetap tinggal
di situ, dan menarik orang luar luar untuk pindah ke tempat tersebut; ada
sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut;
dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalarn keputusan untuk
migrasi. Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu
tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan
itu antar lain adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini
meskipun selalu ada, tidak selalu menjadi faktor penghalang. Rintangn-rintangan
tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada orang-orang yang mau pindah.
Ada orang yang memandang rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele,
tetapi ada juga yang memandang sebagai hal yang berat yang menghalangi orang
untuk pindah. Sedangkan faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena
faktor-faktor nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum
merupakan factor utama, karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang
tentang factor tersebut, kepekaan pribadi dan kecerdasannnya.
h.
Lewis
Ranis-Fei
Teori migrasi
lainnya menekankan analisisnya terhadap factor ekonomi adalah teori Lewis
Ranis-Fei, yang menjelaskan proses terjadinya perpindahan tenaga kerja dari
sector pertanian (tradisonal) ke sector industri (modern). Teori ini
memperbaiki teori lewis. Sector tradisonal pada dasarnya berada di daerah
pedesaan sedangkan sector modern berada di daerah perkotaan. Teori ini
berpandangan bahwa adanya kelebihan tenaga kerja di sector pertanian, sementara
itu disektor industri terdapat kesempatan kerja yang cukup banyak, sehingga
memotivasi para oekerja untuk pindah ke sector modern dan berakibat terjadinya
proses migrasi desa-kota. Hal ini tidak terlepas sebagai akibat terjadinya
perbedaan dalam tingkat produktifitas antara kedua sector tersebut, yang
didalam kenyataanya menunjukkan produktifitas di sector industri juga lebih
tinggi dibandingkan dengan produktivitas di sector pertanian. Selanjutnya hal
ini memberikan implikasi perbedaan upah yang cukup mencolok antara sector
industri dan pertanian.
i.
Ravenstein
Ravenstein
mengemukakan hukum-hukum tentang migrasi, walaupun pada perkembangannya
dikritik oleh N.A Humprey yang menyatakan bahwa migrasi tidak memiliki hukum
sama sekali, hal serupa juga dikemukakan Stephen Bourne. Hukum migrasi yang
dikemukakan Ravenstein ialah:
1.
Migrasi
dan Jarak
·
Banyak
migran pada jarak yang dekat
·
Migran
jarak jauh lebih tertuju ke pusat-pusat perdagangan dan industri
·
yang
penting.
2.
Migrasi
Bertahap
·
Adanya
arus migrasi yang terarah
·
Adanya
migrasi dari desa - kota kecil - kota
·
Setiap
arus migrasi utama menimbulkan arus balik penggantiannya.
3.
Perbedaan
antara desa clan kota mengenai kecenderungan melakukan migrasi
·
Di
desa lebih besar dari pada kota.ta besar.
4.
Arus
dan Arus balik
5.
Wanita
melakukan migrasi pada jarak yang dekat dibandingkan pria
6.
Teknologi
dan migrasi
·
Teknologi
menyebabkan migrasi meningkat.
7.
Motif
ekonomi merupakan dorongan utama melakukan migrasi.
3.
Jenis-Jenis
Migrasi
a.
Migrasi
Nasional :Urbanisasi, Trasmigrasi, Ruralisasi
Migrasi Nasional
atau Internal, yaitu perpindahan penduduk di dalam satu negara. Migrasi
nasional /internal terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1.
Transmigrasi
Transmigrasi
(Latin: trans - seberang, migrare - pindah) adalah suatu program yang dibuat
oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang
padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia.
Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut transmigran.
Transmigrasi
tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk
pengembangan wilayah.
2.
Urbanisasi
Urbanisasi
adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang
cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa
dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung
dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak
hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu
masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Berbeda dengan
perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk
yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya
salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam,
yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk. Migrasi penduduk adalah
perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di
kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya
bersifat sementara saja atau tidak menetap.
Untuk
mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang
biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi
media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa
atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang
menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau
sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan
urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.
3.
Ruralisasi
Ruralisasi
adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa.
Ruralisasi pada umumnya banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan
urbanisasi, namun banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli.
b.
Migrasi
International : Imigrasi, Emigrasi, Remigrasi
Migrasi
Internasional, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lainnya.
Migrasi internasional dapat dibedakan atas tiga macam yaitu :
6.
Emigrasi
Emigras adalah
tindakan meninggalkan negara asal seseorang atau wilayah untuk menetap di
negara lain. Ini adalah sama seperti imigrasi tapi dari perspektif negara asal.
Gerakan manusia sebelum pembentukan batas-batas politik atau dalam satu negara,
disebut migrasi. Ada banyak alasan mengapa orang mungkin memilih untuk
beremigrasi. Beberapa adalah untuk alasan agama, kebebasan politik atau ekonomi
atau melarikan diri. Lainnya memiliki alasan pribadi seperti pernikahan.
Beberapa orang yang tinggal di negara-negara kaya dengan iklim dingin memilih
untuk pindah ke iklim hangat ketika mereka pensiun. Orang yang melakukan
emigrasi disebut emigran.
7.
Imigrasi
Emigrasi adalah
perpindahan orang dari suatu negara-bangsa (nation-state) ke negara lain, di
mana ia bukan merupakan warga negara. Imigrasi merujuk pada perpindahan untuk
menetap permanen yang dilakukan oleh imigran, sedangkan turis dan pendatang
untuk jangka waktu pendek tidak dianggap imigran. Walaupun demikian, migrasi
pekerja musiman (umumnya untuk periode kurang dari satu tahun) sering dianggap
sebagai bentuk imigrasi. PBB memperkirakan ada sekitar 190 juta imigran
internasional pada tahun 2005, sekitar 3% dari populasi dunia. Sisanya tinggal
di negara kelahiran mereka atau negara penerusnya.
8.
Remigrasi
Remigrasi yaitu
perpindahan penduduk kembali ke negara asal.
a.
Migrasi
masuk (in migration), yaitu masuknya penduduk ke suatu daerah tujuan
b.
Migrasi
keluar (out migration), yaitu perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah
asal
c.
Migrasi
netto (net migration) merupakan jumlah selisih antara jumlah migrasi masuk dan
migrasi keluar
d.
Migrasi
bruto (gross migration), yaitu jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar
e.
Migrasi
total (total migration), seluruh kejadian migrasi, mencakup kejadian migrasi
semasa hidup dan migrasi pulang
f.
Migrasi
internasional (international migration), adalah perpindahan penduduk dari suatu
Negara ke Negara lain
g.
Migrasi
semasa hidup (life time migrasi), migrasi berdasarkan tempat kelahiran, adalah
mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggaal di daerah yang
berbeda dengan daerah tempat lahirnya.
h.
Migrasi
parsial (partial migration), jumlah migrant ke suatu daerah tujuan dari suatu
daerah asal atau daerah asal kesuatu daerah tujuan
i.
Arus
migrasi (migration stream) jumlah atau banyaknya perpindahan yang terjadi dari
daerah asal ke daerah tujuan dalam jangka waktu tertentu.
9.
Faktor-faktor
Penyebab Terjadinya Migrasi
a.
Faktor
ekonomi
Faktor ekonomi
merupakan faktor utama yang meyumbang kepada berlakunya proses migrasi ini.
Kedudukan ekonomi yang mantap dan kukuh menyebabkan wujudnya banyak
sektor-sektor pertanian, pembinaan dan perkilangan, sekaligus membuka peluang
kepada rakyat sesebuah negara termasuk juga golongan pendatang yang datang
khususnya untuk mencari rezeki di negara orang.
b.
Taraf
ekonomi yang rendah di negara sendiri.
Bagi negara
Malaysia khususnya, kemakmuran ekonomi seringkali dijadikan alasan untuk
menjelaskan mengapa negara ini menarik perhatian ramai rakyat Indonesia dan
Bangladesh malah termasuk juga negara-negara yang mengalami taraf ekonomi yang
gawat.
c.
Faktor
sosiobudaya
Sebenarnya
faktor sosiobudaya juga memainkan peranan utama menyebabkan pendatang Indonesia
semakin bertambah dari hari ke hari ke negara kita. Bahkan boleh dikatakan
faktor sosiobudaya ini memainkan peranan yang sama pentingnya dengan faktor
ekonomi, mennjadi daya tarikan kepada pendatang Indonesia ini.
d.
Faktor
kestabilan politik
Kestabilan
politik sesebuah negara memainkan peranan yang penting dan berkait rapat dengan
ekonomi negara dan proses migrasi antarabangsa. Sebuah negara yang aman dan
makmur secara tidak langsung dapat mengelakkan berlakunya migrasi penduduk
negara tersebut ke negara lain, sebaliknya menyebabkan penduduk negara lain
berhijrah ke negara tersebut.
10.
Faktor
Pendorong dan Penarik Migrasi
Pada dasarnya
ada dua pengelompokan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
migrasi, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).
a.
Faktor-faktor
pendorong (push factor) antara lain adalah:
·
Makin
berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan,
menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin
susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.
·
Menyempitnya
lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah
perdesaan yang makin menyempit).
·
Adanya
tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi
penduduk di daerah asal.
·
Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
·
Bencana
alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau
adanya wabah penyakit.
b.
Faktor-faktor
penarik (pull factor) antara lain adalah:
·
Adanya
harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup.
·
Adanya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
·
Keadaan
lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan,
sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
·
Adanya
aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan
sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.
B.
PERMASALAHAN
MIGRASI
1. Permasalahan
Migrasi Di Negara Maju Dan Negara Berkembang
Satu-satu
pernyataan yang paling sering kita dengar adalah bahwaglobalization means
the compressed time and space. Mungkin
sebagian dari kita benar-benar merasakan hal ini secara langsung. Bila kita
bandingkan dengan era dulu, perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lain
membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, sejak adanya globalisasi, dimana
terjadi perkembangan yang pesat di bidang teknologi transportasi dan
komunikasi, batas ruang dan waktu seakan bukan menjadi masalah. Bagi kita yang
tinggal di wilayah dunia Indonesia misalnya, untuk menuju wilayah Eropa, kita
hanya membutuhkan sekitar kurang lebih 16 jam perjalanan udara. Realitas inilah
yang kemudian menjadikan masyarakat menjadi lebih leluasa mobilitasnya.
Akibatnya, sistem-sistem pemerintahan pun harus menyesuaikan dengan
sebaik-baiknya.
melihat adanya
keleluasaan mobilitas penduduk akibat globalisasi, tidak terlepas dari adanya
Revolusi Indusri Inggris pada abad ke-17. Revolusi Industri yang semakin
meningkat ini melahirkan penemuan-penemuan yang cukup maju seperti: kereta api,
telegram, telepon, pesawat terbang dan lain sebagainya. Selain itu, Revolusi
Industri ini juga menuntut adanya kebutuhan bahan mentah. Adanya kedua faktor
inilah yang menjadikan adanya peningkatan migrasi masyarakat ke seluruh dunia
yang berujung pada usaha kapitalisme atau integrasi ekonomi global. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Benedict Anderson (1998: 67) bahwadevelopments have had
and will continue to have vast consequences precisely because they are integral
components of the transnationalization of advance capitalism and of the
steepening economic stratification of the global economy.
Mobilitas massa
yang besar sejak masa itu tentunya telah memberikan pengaruh yang cukup
signifikan bagi setiap negara. Pengaruh tersebut dapat berupa efek positif
maupun efek negatif. Efek positif yang dapat terjadi berdasarkan argumen dari
Bhagwati (2004: 213) adalah kemajuan ekonomi atau dengan kata lain dapat
membuka peluang perdagangan yang semakin meluas akibat adanya integrasi
internasional serta memunculkan beberapa tenaga yang sangat ahli di suatu
bidang tertentu. Sedangkan efek negatifnya adalah keadaan sosial yang rentan
untuk mengalami krisis. Seperti misalnya: (1) perebutan wilayah teritorial,
seperti yang kini terjadi antara Filipina dan Malaysia atas Sabah; (2) fenomena brain drain, seperti yang
terjadi ketika masyarakat Eropa banyak bermigrasi menuju USA ; (3) konflik
budaya, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia atas Tari Pendet
atau Reog Ponorogo; dan (4) konflik sosial, seperti yang terjadi di Bangladesh
akibat migrasi kaum Rohingya Burma. Hal ini berdasarkan pernyataan Nicholas Van
Hear (1998: 250) bahwa globalisasi merupakan fenomena yang tidak sempurna,
globalisasi justru merubah tatanan migrasi kepada krisis migrasi. Namun
terlepas dari semua itu, asumsi globalisasi sebagai the uncontrolled and unstopped
phenomenon, tentunya
akan semakin meningkatkan mobilitas penduduk. Oleh karena itu, perlua adanya
suatu ketegasan pemerintah negara dalam mengaturnya agar tidak timbul
dampak-dampak buruk semacam adanya imigran gelap
Jagdish Bhagwati
(2004:209) menjelaskan beberapa tipe imigrasi, yakni: imigrasi dari negara
miskin ke negara kaya atau sebaliknya, yang dapat memiliki bentuk respon yang
berbeda-beda; imigrasi skilled dan unskilled
labour, yang dapat
menimbulkan fenomena brain-drain;
dan imigrasi legal atau ilegal serta voluntary
immigrant dan involuntary immigrant.
Bhagwati kemudian fokus pada pengaruh proses migrasi ini kepada aspek
perekonomian, dimana pada akhirnya menyimpulkan bahwa adanya faktorsupply, yakni faktor yang menyebabkan imigran
meninggalkan tanah airnya dan faktor demand,
berupa faktor yang dimiliki negara host untuk menarik imigran. Hal-hal
yang termasuk dalam faktor supply antara lain: ketidaksetaraan
dan adanya iming-iming kualitas standar hidup, kemajuan pendidikan dan
kesempatan bagi anak-anak,dan fasilitas yang menjanjikan bagi tenaga ahli di
negara host (Bhagwati, 2004: 210-211).
Sementara itu, beberapa faktor demand adalah kebutuhan negara maju
akan tenaga kerja ahli yang berusia produktif (Bhagwati, 2004: 212). Adanya demand factorinilah yang
akhirnya menimbulkan efek brain-drain dan juga perekrutan tenaga outsourcing.
Ketika seseorang
yang melakukan migrasi ke negara host dan mendapatkan kehidupan yang
layak dan menjadi sukses, maka hal tersebut akan menjadi motivasi bagi orang
lain untuk meraih kehidupan yang sama. Sehingga, ia terpacu untuk meninggalkan home country menuju host country. Akibatnya,
negara home justru kekurangan tenaga
ahlinya karena adanya migrasi tersebut. Menghadapi hal ini negara home juga membuka keran bagi unskilled labor yang ingin bermigrasi. Namun,
negara host justru menutup diri untuk
menerima mereka dan ini menimbulkan keadaan yang asimetris yang akan
menciptakan illegal
immigrants (Bhagwati,
2004: 213). Tetapi, keadaan asimetris tersebut tidak mengkhawatirkan bagi
Bhagwati. Sebab, ia memberikan solusi berupa pengenaan pajak bagi penduduk yang
tinggal dan bekerja di luar negeri. Pajak ini berperan sebagai alat penyeimbang
yang dapat membantu kelangsungan pembangunan di negara home. Selain itu, pemerintah
juga harus menjalankan kebijakan yang mengintegrasikan migran pada negara host dengan cara yang meminimalkan biaya
sosial dan meningkatkan keuntungan ekonomi (Bhagwati, 2004: 217). Sehingga,
nantinya diharapkan akan terjadi keseimbangan akibat intensitas interaksi ini
yang pada akhirnya membawa kemajuan bersama bagi setiap Negara.
argumen Bhagwati
mengenai pemicu migrasi ada benarnya. Hanya saja, penulis kurang sependapat
dengan Bhagwati terkait dengan solusi yang ditawarkan. Solusi ekonomi hendaknya
juga diiringi dengan solusi sosial, dimana nantinya para imigran ini tidak
dianggap sebagai ancaman bagi penduduk lokal. Sebuah kasus nyata yang pernah
terjadi adalah xenophobia pada tragedi holocaust di era NAZI atas kaum Yahudi dan
separatisme bangsa Moro di Filipina akibat munculnya kaum Katolik yang
tiba-tiba mendesak keberadaan mereka (Chalk, 2001: 247). Oleh karena itu, penulis mencoba
menawarkan solusi sosial yang juga harus diterapkan baik oleh host country maupun home country, yakni membentuk
suatu tatanan politik yang strategis berupa demokrasi poliarki yang dapat
mendukung transformasi migrasi secara kosmopolit. Sebagaimana pernyataan Robert
A Dahl (1956: 69) bahwa di dalam proses demokrasi, setiap penduduk merupakan
bagian dari kelompok kepentingan yang mengartikan kepentingannya sesuai dengan
kehidupan sehari-hari. Sehingga, kebijakan hukum yang diambil tentunya tidak
hanya bergantung pada suara terbanyak, tetapi juga bersifat pluralis yang
nantinya mampu mengakomodir seluruh kepentingan dan mencegah ketimpangan baik
di segi ekonomi maupun sosial. Singkatnya, strategi keseimbangan yang tepat
dibutuhkan dalam menanggapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh mobilitas
massa di era globalisasi ini.
C.
KEBIJAKAN
MIGRASI
1. Kebijakan
migrasi di Negara berkembang
Biarpun model
todaro secara sekilas nampak kurang memperhatikan arti penting migrasi
desa-kota (karena model ini berpendapat bahwa migrasi tersebut pada dasarnya
merupakan suatu mekanisme penyesuaian alokasi tenaga kerja di desa dan di
kota), namun model tersebut mengandung sejumlah implikasi kebijakan yanbg
sangat penting bagi Dunia ketiga. Berikut ini adalah lima implikasi kebijakan
yang paling penting.
Pertama,
Ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi. Karena para
migran diasumsikan akan tanggap terhadap adanya selisih-selisih pendapatan,
maka ketimpangan kesempatan ekonomi antara segenap sektor perkotaan dan
pedesaan harus dikurangi.
Kedua, pemecahan
masalah pengangguran tidak cukup hanya dengan penciptaan lapangan kerja di
kota. Pemecahan masalah pengangguran di perkotaan yang dilakukan atas dasar
saran-saran ilmu ekonomi keynesian atau tradisional ( yaitu melalui penciptaan
lebih banyak lapangan kerja di sektor perkotaan tanpa harus meningkatkan
penghasilan dan kesempatan kerja di pedesaan dalam waktu bersamaan) dapat
mengakibatkan suatu situasi yang paradoks, yakni meskipun lapangan kerja di
daerah perkotaan telah ditambah namun tingkat pengaggurannya tetap saja
meningkat.
Ketiga,
pengembangan pendidikan yang berlebihan mengakibatkan migrasi dan pengangguran.
Model Todaro juga memiliki implikasdi kebijakan untuk mencegah investasi di
bidang pendidikan yang berlebihan terutama pendidikan tinggi
Keempat,
pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksi tradisional (tenaga
kerja) justru menurunkan produktivitas. Salah satu resep kebijakan ekonomi yang
baku untuk menciptakan kesempatan kerja di perkotaan adalah dengan
menghilangkan distorsi harga faktor produksi dan menggunakan harga yang
“sebenarnya” (dibentuk oleh mekanisme pasar).
Terakhir,
kelima, program pembangunan desa secara terpadu harus dipacu. Kebijakan yang
hanya ditujukan untuk memenuhi sisi permintaan kesempatan kerja di kota,
seperti subsidi upah, rekruitmen pegawai lembaga-lembaga pemerintah, penghapusan
distorsi harga faktor-faktor produksi dan penyediaan insentif perpajakan bagi
para majikan, dalam jangka panjang ternyata tidak begitu efektif untuk
meniadakan atau menanggulangi masalah pengagguran bila dibandingkan dengan
kebijakan-kebijakan yang khusus dirancang untuk mengatur secara langsung
penawaran tenaga kerja ke wilayah perkotaan.
2. Kebijakan
migrasi di Negara Maju
Adanya gap atau
ketidaksetaraan perekonomian antara suatu negara dengan negara lain terlebih
antara negara maju dengan negara berkembang membuat tingkat kesejahteraan kedua
kelompok negara ini berbeda. Saat ini jumlah penduduk dari negara berkembang
yang bermigrasi menuju negara maju semakin bertambah jumlahnya dengan tujuan
untuk mendapatkan pendapatan yang lebih banyak. Mobilitas penduduk yang semakin
tinggi ini membawa kepada sebuah pertanyaan apakah hal ini dapat mendorong
perkembangan ekonomi dinegara berkembang atau justru menghambat perkembangan
ekonomi di negara berkembang? Castels dan Miller (2003) menjelaskan bahwa
migrasi internasional bukanlah solusi untuk memperkecil kesenjangan antara
perekonomian negara maju dengan negara berkembang. Dengan kata lain migrasi
internasional bukanlah solusi untuk mengurangi jumlah pengangguran di negara
berkembang, dan bukanlah solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari
negara-negara berkembang. Bahkan untuk mengurangi kesenjangan antara negara
berkembang dengan negara maju ini hendaknya dilakukan dengan mengurangi jumlah
migrasi internasional, yaitu dengan broad-based, pembangunan yang berkelanjutan
di negara-negara berkembang, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara tersebut dan dapat mengimbangi pertumbuhan populasi dan angkatan
kerja di negara berkembang. Faktor penentu yang menjadi kunci utama dalam
hubungan antara migrasi internasional dengan perkembangan ekonomi adalah
kebijakan dari pemerintah mengenai migrasi internasional itu sendiri.
Dibutuhkan
kebijakan yang tepat bagi negara-negara maju sebagai penerima imigran dari
negara-negara berkembang. Kebijakan ini juga diperuntukkan untuk meminimalisir
masuknya para imigran gelap atau imigran ilegal. Karena pada dasarnya imigran
gelap inilah yang membuat migrasi internasional tidak menjadi efektif untuk
membantu perkembangan perekonomian. “unwanted immigration is often seen as
being at the root of public fears of mass influxes”
(Castels&Miller,2003:283). Yang dimaksud dengan “unwanted immigration” ini
antara lain pelintas perbatasan illegal, pendatang legal yang tinggal di negara
penerima melebihi batas waktu yang ada, dan pencari suaka tidak dianggap
sebagai pengungsi asli. Kebijakan ini disebut dengan durable solution, durable solution ini terdiri dari reformasi
kebijakan perdagangan, bantuan pembangunan, integrasi regional dan hubungan
internasional. Yang pertama yaitu reformasi kebijakan perdagangan, kebijakan
perdagangan yang dibuat hendaknya adalah kebijakan yang dapat menstimulus
pertumbuhan perekonomian di negara-negara berkembang. Isu yang paling penting
dalam reformasi kebijakan perdagangan ini adalah tingkat harga untuk komoditas
utama yang dikomparasikan dengan produk-produk industri
(Castels&Miller,2003). Contohnya adalah dibentuknya WTO yang sebelumnya
merupakan GATT, WTO ini memfasilitasi kebijakan perdagangan internasional dan
membantu pertumbuhan perekonomian negara-negara berkembang. Solusi yang kedua
yaitu bantuan pembangunan, seperti yang telah dibahas sebelumnya adanya
kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dapat mengakibatkan
munculnya imigran-imigran gelap, oleh karena itu dalam hal ini dibutuhkan peran
IMF (International Monetary Fund) yang dapat memberikan kredit bagi
negara-negara berkembang untuk dapat meningkatkan produktivitas negara sehingga
dapat menekan jumlah pengangguran, tingkat pendapatan meningkat, dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Kemudian solusi
yang terakhir adalah integrasi regional dan hubungan internasional. Adanya
integrasi regional yang dapat diimplementasikan dengan pembentukan kawasan
perdagangan bebas, dengan adanya kawasan perdagangan bebas ini, maka dapat
meminimalisir hambatan-hambatan perdagangan internasional sehingga keuntungan
yang didapatkan negarapun akan lebih besar. Dan hal ini dapat meminimalisir
adanya imigran gelap yang dapat menghambat perkembangan perekonomian. Walaupun
meminimalisir adanya imigran gelap namun pada dasarnya integrasi ini dapat
membuat imigrasi internasional semakin menggeliat, namun setidaknya imigrasi
yang meningkat ini adalah imigrasi yang memberikan dampak positif karena
merupakan para imigran legal.
BAB III
RINGKASAN
Ringkasan dari
pembahasan diatas, Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk
menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi
internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional)(Munir, 2000 : hal
(116). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif
permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.
Adanya
kekurangan tenaga kerja dari negara maju membuat terjadinya perpindahan
penduduk dari negara berkembang ke negara maju untuk menjadi tenaga kerja.
Terlebih adanya tingkat pendapatan yang tinggi di negara maju membuat penduduk
negara berkembang semakin tertarik untuk melakukan migrasi internasional.
Migrasi internasional ini pada dasarnya dapat memberikan dorongan bagi
perkembangan ekonomi negara. Namun adanya imigran gelap justru akan menghambat
perkembangan ekonomi negara. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan yang tepat
untuk mencegah hadirnya para imigran gelap ini, yaitu dengan reformasi
kebijakan perdagangan, bantuan pembangunan, integrasi regional dan hubungan
internasional. Fenomena brain drain memang benar terjadi, kebijakan pemerintah
menjadi kebijakan yang sangat penting untuk dapat membuat brain gain menjadi
lebih besar dari pada brain drain. Sehingga adanya migrasi internasional dapat
benar-benar membantu perkembangan ekonomi negara terutama negara berkembang.
Adanya migrasi internasional telah membuat disparitas budaya menjadi semakin
beragam, pluralism di tiap-tiap negara semakin meningkat. Para imigran yang
datang akan melakukan asimilasi budaya antara budaya aslinya dengan budaya
negara penerima. Adanya toleransi antara penduduk asli dengan para imigran
membuat proses integrasi semakin mudah untuk dilakukan, walaupun tidak dapat
dipungkiri konflik antara penduduk asli dan para imigran masih kerap terjadi
karena adanya xenophobia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Brodjonegoro,
P.S. Bambang.Pemulihan Ekonomi, Otonomi
Daerah dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Warta Demografi. Tahun Ke 30, No.
3, 2000.
2.
Darmawan,
Beny. Perkiraan Pola Migrasi
Antarprovinsi Di Indonesia Berdasarkan“Indeks Ketertarikan Ekonomi. Makalah
Disampaikan Pada Seminar Poverty. Population & Health Di Kampus Ui Depok.
13 Desember 2007.
3.
Emalisa.
Pola dan Arus Migrasi di Indonesia.
dari http://library.usu.ac.id/download/fp/sosek-emalisa.pdf. pada tanggal 21
Januari 2008.
4.
Kahar,
Suleman Hi. Abdu. Migrasi Keluar dari
Sulawesi Selatan Analisis Data SUPAS1995. Jakarta: Program Pascasarjana
Program Studi Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Universitas Indonesia.2001
5.
Kharismaputri,
Tasya. On People and Mobility.
tasha-k--fisip10.web.unair.ac.id.
di Akses pada 12 Jun 2012.