
Pendahuluan
Era Industri Indonesia dimulai pada jaman kolonial Belanda. Yang
mengejutkan, dari beberapa fakta, ternyata era Industri ini berdekatan waktunya
dengan awal perkembangan Industri di Inggris dan Amerika, yaitu abad ke-18.
Industri di Indonesia dimulai bersamaan dengan awal perkembangan Pabrik-pabrik
Gula di Jawa.
Gula merupakan komoditas utama pada jaman kolonial Belanda. Pada
tahun 1667 datang sekelompok pedagang Belanda di Pulau Jawa yang mendirikan
VOC. Dengan peningkatan permintaan gula di Eropa maka pada tahun 1750 pabrik
milik etnis Cina disewa untuk memproduksi gula di Eropa terutama di pantai
utara Jawa.
Awalnya
teknologi pengolahan tebu menjadi gula begitu sederhana dan tradisional. Cairan
atau sari tebu didapat dari alat pengepres berupa silinder batu atau kayu yang
diletakkan berhimpitan. Salah satu silinder diberi tonggak yang digerakka
secara manual oleh manusa atau ternak. Satau orang atau lebih memasukkan tebu
ketengah putaran silinder. Hasil press berupa cairan sari tebu dialirkan ke
kuali besar dibawahnya.
Karena tingginya permintaan di
Eropa, perlahan teknologi ini ditinggalkan. Mulailah Indonesia pada jaman
Hindia Belanda memasuki Era Industrialisasi dalam arti sebenarnya, yaitu
penggunaan mesin-mesin dalam melakukan proses produksi, sehingga meskipun
menghasilkan volume output sangat tinggi dibanding manual, quality tetap
terjaga.
Dengan didukung modal besar, pada tahun 1830, pabrik gula di
Jawa Barat bertenaga mesin mulai berdiri. Ini dapat dilihat dengan adanya salah
satu surat dari Jessen Trail and Company yang ditujukan pada NHM ( Bank ) yang
berisi :
“In Embarking on the enterpries we
now on hand, we very sensible of the deficiency of the rude and imperfect
machinery by which the manufacture of sugar was carried on here, and therefore
determined to import European machinery, with skillfull men to conduct the same
… We now have ( 1826 ) three sets of mills. Where we employ a European
horizontal mill with three cylinders, driven by a six horse power steam engine,
a European eight horse power mill, with three cylinder. Worked by complete sets
of iron boilers and iron and coppers clarifiers, as also three distilleries,
comprising six European copper stills … and a suitable complement of fermenting
system for distiling the molasses inti Arak and Rum .”
Terjemahan bebasnya kurang lebih
seperti ini.
“ Dalam memulai perusahaan –
perusahaan kita saat ini, kami sangat menyadari mesin-mesin yang digunakan
untuk pembuatan gula sangat tidak efisien dan tidak sempurna, oelh karena itu
kami ingin mendatangkan mesin – mesin dari Eropa beserta tenaga ahlinya. Kami
saat ini ( 1826 )memiliki tiga pabrik penggilingan. Menggunakan mesin
giling horisontal dari Eropa dengan tiga silinder, berpenggerak mesin uap
6 HP dan 8 HP, komplet dengan unit ketel uap (boillers), clarifiers dari
tembaga dan besi, dan tiga unit mesin destilasi ( destilleries ) dan enam
unit penyulingan berbahan tembaga dari Eropa…dan dilengkapi dengan sistem
fermentasi untuk pembuatan arak dan rum.”
Dari surat diatas dapat kita lihat
bahwa sejak tahun 1826, Indonesia pada jaman Hindia Belanda telah memiliki tiga
pabrik gula menggunakan mesin - mesin produksi dan Steam Engine ( Ketel
Uap ). Inilah titik awal lahirnya Industri di Indonesia.
Pada tahun 1837 – 1838 didirikan pabrik-pabrik gula meggunakan mesin-mesin yang lebih modern di wilayah wonopringgo, Sragie, dan Kalimatie. Pertumbuhan industri ini menyebabkan tingginya permintaan akan tenaga kerja. Pada masa inilah, sejarah panjang tenaga kerja kontrak ( kuli kontrak ) di mulai dan pendorong penerapan sistem tanam paksa ( cultuurstelsel ) "yang brutal" tahun 1830 untuk mendapatkan suplay tenaga kerja dan bahan baku (tebu) dengan biaya yang murah.
Pesatnya pertumbuhan industri gula saat itu juga diikuti oleh pertumbuhan industri kereta api di akhir abad ke-18. Tercatat, sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17 Juni1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km). Sedangkan diluar Jawa ( Sumatera ), pembangunan Rel KA juga dilakukan di Aceh tahun 1874, Sumatera Utara tahun 1886, Sumatera Barat tahun 1891, dan Sumatera Selatan tahun 1914. Kereta Api pada masa itu digerakkan oleh lokomotif uap ( steam engine ) hasil pembakaran batu bara atau kayu.
A.
Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Industri Nasional
Arah kebijakan pembangunan
industri nasional mengacu kepada agenda dan prioritas pembangunan nasional
Kabinet Indonesia Bersatu, yang dijabarkan dalam kerangka Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009. Dalam kerangka tersebut, maka
visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah membawa
Indonesia untuk menjadi “sebuah negara industri tangguh di dunia?, dengan
visi antara yaitu Pada tahun 2024 Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru?.
Untuk mewujudkan visi
tersebut, sektor industri mengemban misi 2004-2009 sebagai berikut:
·
Menjadi wahana pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat;
·
Menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi
nasional;
·
Menjadi pengganda kegiatan usaha produktif di
sektor riil bagi masyarakat;
·
Menjadi wahana untuk memajukan kemampuan teknologi
nasional;
·
Menjadi wahana penggerak bagi upaya modernisasi
kehidupan dan wawasan budaya masyarakat;
·
Menjadi salah satu pilar penopang penting bagi
pertahanan negara dan penciptaan rasa aman masyarakat.
Tujuan pembangunan industri
nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi
permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi
permasalahan secara nasional, yaitu (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja
industri; (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam
negeri; (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian;
(4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur; (5) Meningkatkan kemampuan
teknologi; (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk;
dan (7) Meningkatkan penyebaran industri.
Bertitik tolak dari hal-hal
tersebut dan untuk menjawab tantangan di atas maka kebijakan dalam pembangunan
industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi
dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang sangat
cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua
negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga fokus dari strategi pembangunan
industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang
berkelanjutan di pasar internasional. Untuk itu, strategi pembangunan industri
manufaktur ke depan dengan memperhatikan kecenderungan pemikiran terbaru yang
berkembang saat ini, adalah melalui pendekatan klaster dalam rangka membangun
daya saing industri yang kolektif.
Industri manufaktur masa
depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang
didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia (comparative
advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk serta
ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya
kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive
advantage).
Bangun susun sektor industri
yang diharapkan harus mampu menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional
dan menjadi tulang punggung ketahanan perekonomian nasional di masa yang akan
datang. Sektor industri prioritas tersebut dipilih berdasarkan keterkaitan dan
kedalaman struktur yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan serta
tangguh di pasar internasional.
Pembangunan industri
tersebut diarahkan pada penguatan daya saing, pendalaman rantai pengolahan di
dalam negeri serta dengan mendorong tumbuhnya pola jejaring (networking)
industri dalam format klaster yang sesuai baik pada kelompok industri prioritas
masa depan, yaitu: industri agro, industri alat angkut, industri telematika,
maupun penguatan basis industri manufaktur, serta industri kecil-menengah
tertentu.
Dalam jangka menengah (2004-2009),
fokus pembangunan industri adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster
industri inti yang berjumlah sepuluh kelompok industri, yaitu: industri makanan
dan minuman, industri pengolahan hasil laut, industri tekstil dan produk
tekstil, industri alas kaki, industri kelapa sawit, industri barang kayu
(termasuk rotan), industri karet dan barang karet, industri pulp dan kertas,
industri mesin listrik dan peralatannya, serta industri petrokimia.
Pengembangan sepuluh klaster industri inti dilakukan secara komprehensif dan
integratif, yang didukung secara simultan dengan pengembangan industri terkait
(related industries) dan industri penunjang (supporting industries).
Pengembangan industri agro
dalam jangka menengah adalah ditujukan untuk memperkuat rantai nilai (value
chain) melalui penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan nilai
tambah, peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar. Sedangkan dalam
jangka panjang, difokuskan pada upaya pembangunan industri agro yang mandiri
dan berdaya saing tinggi.
Pengembangan industri alat
angkut dalam jangka menengah adalah memfokuskan peningkatan kemampuan industri
komponen, dan untuk jangka panjang selanjutnya diarahkan pada pembangunan
kapasitas nasional di bidang teknologi agar memiliki kemandirian dalam rancang
bangun (design) dan rekayasa (engineering) komponen, sub-assembly, maupun barang
jadi.
Pengembangan industri
telematika dilakukan dengan membangun sentra-sentra industri telematika,
aliansi strategis, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Diharapkan
dalam jangka panjang, industri telematika Indonesia dapat menjadi basis
produksi industri telematika global.
Perkuatan basis industri
manufaktur ditujukan bagi kelompok industri yang telah ada dan sudah berkembang
saat ini, agar ketergantungannya terhadap sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang relatif kurang terampil menjadi berkurang, industri pada kelompok
ini harus didorong agar mampu menjadi industri kelas dunia.
Basis industri manufaktur
perlu direstrukturisasi dan dikonsolidasikan segera agar efisiensi dan daya
saingnya di dunia internasional meningkat, selain itu untuk jangka panjang,
perlu didorong terselenggaranya peningkatan kemampuan penelitian dan
pengembangan (R&D), teknologi dan desain di industri, dalam rangka membangun
kemampuan bersaing jangka panjang.
Dengan memperhatikan
permasalahan yang bersifat nasional baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
rangka peningkatan daya saing, maka pembangunan industri nasional yang sinergi
dengan pembangunan daerah diarahkan melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan top-down yaitu pembangunan industri yang
direncanakan (by design) dengan memperhatikan prioritas yang
ditentukan secara nasional dan diikuti oleh partisipasi daerah. Kedua,
pendekatanbottom-up yaitu
melalui penetapan kompetensi inti yang merupakan keunggulan daerah sehingga
memiliki daya saing. Dalam pendekatan ini Departemen Perindustrian akan
berpartisipasi secara aktif dalam membangun dan mengembangkan kompetensi inti
daerah tersebut. Hal ini sekaligus merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah, yang pada gilirannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan
dan pengangguran.
B.
Kebijakan Pengembangan Industri Kecil
dan Menengah
Industri Kecil dan Menengah
(IKM) mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional, terutama
dalam penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat serta
menumbuhkan aktivitas perekonomian di daerah. Di samping itu, pengembangan IKM
merupakan bagian integral dari upaya pengembangan ekonomi kerakyatan dan pengentasan
kemiskinan.
Sasaran yang ingin dicapai
dalam pengembangan IKM 2005-2009 adalah (1) Meningkatnya unit usaha mencapai
3,95 juta pada akhir tahun 2009, atau dengan laju pertumbuhan 4,04 %; (2)
Penyerapan tenaga kerja mencapai 10,3 juta orang pada akhir tahun 2009, atau
dengan laju pertumbuhan sebesar 4,94 %; sedangkan (3) Nilai ekspor yang
disumbangkan oleh produk IKM mampu mencapai US$ 8,9 milyar, atau dengan
pertumbuhan sebesar 2,47 %. Dengan demikian, hasil pengembangan IKM ini
diharapkan antara lain meningkatnya produktivitas dan daya saing sehingga
peranan IKM di pasar dalam negeri dan ekspor semakin
besar.  Â
Adapun tujuan pengembangan
IKM adalah (1) Meningkatkan kesempatan berusaha, lapangan kerja dan pendapatan;
(2) Memperkuat struktur industri; (3) Meningkatkan IKM berbasis hasil karya
intelektual (knowledge-based);
(4) Meningkatkan persebaran industri; dan (5) Melestarikan seni budaya kegiatan
produktif yang ekonomis.
Bagi IKM, peningkatan
kemitraan, baik dalam bidang pemasaran, teknologi maupun permodalan perlu
segera dilakukan. Fasilitasi pemerintah masih tetap sangat diperlukan dan dalam
intensitas yang tinggi. Pengembangan IKM perlu dilakukan secara terintegrasi
dan sinergi dengan pengembangan industri berskala menengah dan besar, karena
kebijakan pengembangan sektoral tidak bisa mengkotak-kotakkan kebijakan menurut
skala usaha. Untuk itu strategi pengembangan IKM dilaksanakan melalui (1)
Pemberdayaan IKM yang sudah ada; (2) Pembinaan IKM secara terpadu; dan (3)
Meningkatkan keterkaitan IKM dengan industri besar dan sektor ekonomi lainnya.
Penutup
Dalam pelaksanaannya, pengembangan sektor industri akan dilakukan secara sinergi dan terintegrasi dengan pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan, perdagangan, pendidikan, riset dan teknologi dan sebagainya. Konsep daya saing internasional merupakan kata kunci dalam pembangunan sektor industri, oleh karenanya selain sinergi sektoral maka sinergi dengan seluruh pelaku usaha serta seluruh pemerintah daerah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, dukungan aspek kelembagaan yang mengatur tugas dan fungsi pembangunan dan dukungan terhadap sektor industri baik secara sektoral maupun antara pusat dan daerah secara nasional akan menentukan keberhasilan pembangunan sektor industri yang di cita-citakan.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan sektor industri akan dilakukan secara sinergi dan terintegrasi dengan pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan, perdagangan, pendidikan, riset dan teknologi dan sebagainya. Konsep daya saing internasional merupakan kata kunci dalam pembangunan sektor industri, oleh karenanya selain sinergi sektoral maka sinergi dengan seluruh pelaku usaha serta seluruh pemerintah daerah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, dukungan aspek kelembagaan yang mengatur tugas dan fungsi pembangunan dan dukungan terhadap sektor industri baik secara sektoral maupun antara pusat dan daerah secara nasional akan menentukan keberhasilan pembangunan sektor industri yang di cita-citakan.