Home » » SOSIALISASI POLITIK

SOSIALISASI POLITIK

Written By Unknown on Kamis, 25 April 2013 | Kamis, April 25, 2013


Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat. Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman¬-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang ber¬langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap¬-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur. Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.

Sedangkan menurut Rush & Althoff menjelaskan bahwa sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan dan reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana individu berada; selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya.   

Studi tentang sosialisasi politik menjadi kajian yang sangat menarik akhir-akhir ini. Ada dua alasan yang melatar belakangi sehingga sosialisasi politik menjadi kajian tersendiri dalam politik kenegaraan. Pertama, sosialisasi politik dapat berfungsi untuk memelihara agar suatu sistem berjalan dengan baik dan positif. Dengan demikian, sosialisasi merupakan alat agar individu sadar dan merasa cocok dengan sistem serta kultur (budaya) politik yang ada. Kedua, sosialisasi politik  ingin menunjukkan relevansinya dengan sistem politik dan pelaksanaannya di masa mendatang mengenai sistem politik.

Proses dan Metode Sosialisasi Politik

Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.  

Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak,  yaitu sebagai berikut. 

1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi. 
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.  
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).  
4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.

Menurut Rush dan Althoff Metode Sosialisasi Politik ada tiga yaitu: 

1. Imitasi
Imitasi merupakan Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi. 

2. Instruksi
Instruksi merupakan peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya. 

3. Motivasi
Motivasi merupakan proses sosialisasi yang berkaitan dengan pengalaman individu.   

Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya. Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik langsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik. 

Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode berikut:

1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.

2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.

3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.

Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:

1. Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.

2. Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.

3. Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.

4. Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.

Agen-Agen sosialisasi politik

Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :

1. Keluarga
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah keluarga, orang tua dan anak sering melakukan obrolan ringan tentang segala hal yang menyangkut politik sehingga tanpa disadari terjadi transfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.

2. Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civis education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik, teoritis dan praktis. Dengan demikian siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.

3. Partai politik 
Sosialisasi politik disini dimaksudkan sebagai proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat dan berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara sengaja melalui pendidikan formal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari. Partai politik melakukan pendidikan politik melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan untuk menyebarkan nilai dan simbol yang dianggap ideal dan baik.

Selain melalui keluarga, sekolah dan partai politik, sosialisasi politik juga dapat dilakukan melalui peristiwa sejarah yang telah berlangsung (pengalaman toko-toko politik yang telah tiada). Melalui seminar, dialog, debat dan sebagainya yang disiarkan ke masyarakat toko-toko politik juga secara tidak langsung melakukan sosialisasi politik.  

Apabila sosialisasi politik bisa dilaksanakan dengan baik melalui berbagai sarana yang ada, maka masyarakat dalam kehidupan politik kenegaraan sebagai satu sistem akan melahirkan budaya politik yang bertanggung jawab. Masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya, dasar kesadaran politik yang baik dan tinggi. Tolok ukur keberhasilan sosialisasi politik terletak pada sejauh mana pendidikan politik yang telah dilakukan (melalui berbagai sarana), sehingga menghasilkan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya politik etis dan normatif dalam mewujudkan partisipasi politiknya.

Sosialisasi Politik dan Perubahan


Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.

Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpul¬kan bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.  

Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya. 

Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.

Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik

Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional maupun indoktrinasi politik yang nyata dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.

Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.

Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun teman sebaya.

Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.

Sosialisasi Politik di berbagai Negara

1. Di Negara Liberal
Sosialisasi politik di negara liberal merupakan salah satu sebagai pendidikan politik. Pendidikan politik adalah proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik.

2. Di Negara Totaliter
Sosialisasi politik di negara totaliter merupakan indoktrinasi politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi politik.

3. Di Negara Berkembang
Menurut Robert Le Vine dalam handout perkuliahan Rusnaini ( 2008:17) berpendapat bahwa “sosialisasi politik pada negara berkembang cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem politik nasional”. Ada 3 faktor penting dalm sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu :

1. Pertumbuhan pendidikan di negara-negara berkembang dapat melampui kapasitas mereka untuk memodernisasi kelompok tradisional lewat industrinalisasi dan pendidikan. 
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisional. 
3. Mungkin pengaruh urbanisasi yang selalu dianggap sebgai saru kekuatan perkasa untuk mengembangkan nilai-nilai tradisional. 
4. Di Masyarakat Primitif
Proses sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat bergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku. Sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat tergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku. 



BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK

Ada sedikit kesulitan dalam penyajian berbagai bentuk partisipasi politik, terlepas dari tipe sistem politik yang bersangkutan, yaitu segera muncul dalam ingatan peranan para politisi professional, para pemberi suara, akativis-aktivis partai dan para demonstran pentingn untuk menempatkan posisi sebenarnya dari aktivitas politik dan melihat apakah terdapat semacam hubungan hierarkis yang paling sederhana dan paling berarti adalah hierarki yang didasarkan atas taraf atau luasnya partisipasi.
Hierarki yang dinyatakan pada gambar dibawah dimaksudkan untuk mencakup seluruh jajaran partisipasi politik dan untuk dapat diterapkan pada semua tipe sistem politik. Arti berbagai tingkat ini tentunya mungkin berbeda dari satu sistem poltik dengan yang lain dan tingkatan-tingkatan khusus menyebabkan akibat besar pada suatu sistem dan akibat kecil atau tanpa mempunyai akibat apapun pada sistem lainnya.
Adalah penting juga untuk kita sadari bahwa partisipasi politik pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkat yang lebih tinggi, walaupun mungkin hal ini berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu.
Pada tingkat hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam sistem politik, baik pemegang-pemegang jabatan politik maupun anggota-anggota birokrasi pada berbagai tingkatan. Mereka itu dibedakan dari parisipasi-partisipasi politik lainnya, dalam hal bahwa pada berbagai taraf mereka berkepentingan dengan pelaksanaan kekuasaan politik yang formal. Hal ini tidak menghapus pelaksanaan kekuasaan yang sesungguhnya, maupun pelaksanaan pengaruh oleh individu-individu atau kelompok-kelompok lain dalam sistem politik.


















Gbr 2 : Suatu Hierarki Partisipasi Politik


Dibawah para pemegang atau pencari jabatan didalam sistem politik, terdapat mereka yang menjadi anggota berbagai tipe organisasi politik. Hal ini mencakup semua tipe partai politik dan kepentingan. Perbedaan dasar antara kedua kelompok politik terdapat pada sikap-sikap mereka. Kelompok kepentingan adalah organisai yang berusaha memajukan, mempertahankan atau mewakili sikap-sikap yang terbatas atau khas, sementara partai politik berusaha untuk memajukan, mempertahankan atau mewakili spectrum yang lebih luas dari sikap. Dalam beberapa hal tujuan dibatasi secara khusus, penghapusan hukuman mati atau oposisi terhadap pembangunan suatu lapangan udara dan kelompok kepentingan berhenti beroperasi begitu tujuan tercapai.
Partai-partai politik seperti kelompok kepentingan dapat menikmati dukungan yang menyebar atau yang khusus, akan tetapi berbeda dengan kelompok kepentingan mereka yang lebih banyak menampilkan sikap-sikap difus daripada sikap-sikap yang khusus. Beberapa partai politik memiliki baris dukungan yang luas, sedang yang lainnya memiliki baris dukungan yang sempit.















Gbr 3 : Hubungan Antara Partai Politik dengan Kelompok Kepentingan

Partisipasi dalam partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan dapat mengambil bentuk yang aktif atau bentuk yang pasif. Karena berbagai macam alasan, individu mungkin tidak termasuk dalam suatu organisasi politik tetapi mereka dapat dibujuk untuk berpartisipasi dalam suatu bentuk rapat umum atau demonstrasi. Bentuk partisipasi ini dapat spontan sifatnya, akan tetapi jauh lebih besar kemungkinan partisipasi tersebut telah diorganisir oleh partai-partai politik sebagai bagian dari kegiatan politik mereka.
Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil, karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana. Dalam mempertimbangkan partisipasi politik, bagaimana pun juga terbatasnya peristiwa tersebut harus pula ada perhatian terhadap mereka yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam proses politik. Apakah hal ini disebabkan oleh pilihan atau karena faktor diluar kontrol individu, masih harus di lihat, akan tetapi bagaimana pun juga individu sedemikian itu dapat dinyatakan sebagai orang-orang apatis secara total.
Dengan berhati-hati dan sengaja telah dikeluarkan dua hal dari hierarki, keasingan dan kekerasan. Hal ini disebabkan Karena kedua-duanya tidak dapat dipertimbagkan didalam pengertian hierarkis. Demikian juga kekerasan dapat memanifestasikan diri dalam berbagai tingkatan pada suatu hierarki, tidak hanya dalam bentuk demonstrasi atau kerusuhan saja akan tetapi juga melalui berbagai organisasi politik.

LUASNYA PARTISIPASI POLITIK

Dalam masyarakat primitif dimana politik cenderung erat terintegrasi dengan kegiatan masyarakat pada umumnya, partisipasi condong tinggi dan mungkin sulit untuk membedakannya dari kegiatan yang lain. Adalah bermanfaat untuk mempertimbangkan partisipasi politik dalam arti hierarkis, akan tetapi harus pula diingat beberapa tingkatan partisipasi mungkin tidak terdapat dalam beberapa sistem politik. Tidak semua sistem politik memiliki bentuk pemilihan, beberapa sistem sangat membatasi dan melarang rapat-rapat umum serta demonstrasi, sedangkan lainnya melarang pembentukan partai politik dan tipe lain dari organisasi politik atau non politik
Tujuan voting mungkin untuk memilih ( secara langsung ataupun tidak langsung ) suatu pemerintahan atau berbagai pejabat, atau anggota badan legislative menyetujui tidaknya mengenai usul-usul tertentu dengan jalan referendum atau plebisit. Arti voting juga berbeda sesuai dengan tujuan pemilihan. Faktor-faktor lain, seperti luasnya hak suara juga dapat mempengaruhi pentingnya arti voting. Dalam beberapa sistem politik voting dapat memainkan peranan yang sangat besar, seperti menentukan partai mana atau orang mana yang akan memegang kekuasaaan politik untuk suatu masa tertentu. Akan tetapi dalam sistem voting lain, voting mungkin merupakan peristiwa yang sedikit lebih besar daripada suatu upacara ritual dengan orang-orang yang berkuasa dan berusaha mendapatkan legitimasi bagi pemerintahannya. Akan tetapi apapun juga tujuan voting tersebut sedikit meragukan kalau hal itu sangat berbeda pada suatu sistem politik dengan sistem politik lainnya.
Keanggotaan partai politik memberikan contoh yang berguna dari problema pertama. Maurice Duverger telah memperlihatkan dengan jelas bagaimana partai politik dapat melandaskan diri pada beberapa tipe keanggotaan. Adalah penting sekali untuk memperhitungkan lingkungan tertentu yang mana berbagai organisasi harus bekerja. Betapa pun juga perlu untuk memperhitungkan sampai mana keanggotaan organisasi sukarela bersifat aktif atau pasif.








SIAPA YANG BERPARTISIPASI DAN MENGAPA

Sejauh ini kita hanya menyinggung masalah apati, tetapi dalam menyelidiki sebab-sebab untuk berpartisipasi tidak boleh tidak kita harus bertanya mengapa beberapa orang mengihindari semua bentuk partisipasi politik, atau hanya berpartisipasi pada tingkat yang paling rendah saja. Semua ini menjadi semakin penting sehubungan dengan fakta bahwa mereka yang benar-benar berpartisipasi dalam bnetuk yang paling banyak dalam aktivitas politik, merupakan minoritas dari anggota masyarakat. Macam-macam istilah diterapkan pada mereka yang tidak turut serta dan mereka dilukiskan secara berbeda-beda sebagai apatis, sinis, alienasi dan anomi.
Sejauh ini partisipasi politik, sifat yang paling penting dari seseorang yang paling apatis adalah kepasifannya atau tidak adanya kegiatan politik namun demikian adalah penting untuk dipertimbangkan, apakah apati harus dibatasi pada mereka yang menjauhkan diri dari semua tipe partisipasi poltik, atau apakah istilah tersebut harus diterapkan secara luas terhadap mereka yang menjauhkan diri dari partisipasi yang aktif.
Morris Rosenberg, mengsugestikan tiga alasan pokok untuk menerangkan apati politik. Kesimpulannya didasarkan pada satu seri wawancara tidak berstruktur yang mendalam. Alasan pertama adalah konsekwensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk individu yang merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Alasan Rosenberg kedua adalah individu dapat menganggap aktivitas politik sebagai sia-sia saja. Sinisme, seperti halnya apati meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan suatu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Robert Agger dan rekanan mendefinisikan sinisme sebagai kecurigaan yang buruk dari sifat manusia dan dengan bantuan suatu alat skala sikap yang dibuat untuk mengukur derajat terhadap para responden mereka bersikap sinis, baik secara pribadi maupun secara politis.
Maka sinisme merupakan perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa pesimisme adalah lebih realistis daripada optimisme dan bahwa individu harus memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya bersifat egosentris. Secara politisme menampilkan diri dalam berbagai cara. Seseorang yang sinis luar biasa mungkin saja merasa bahwa partisipasi politik dalam bentuk apapun juga adalah sia-sia dan tidak berguna, dengan demikian dia mengikuti barisan orang yang apatis secara total. Akan tetapi bagi orang lain sinisme mereka hanya membatasi partisipasi atau hanya dianggap sebagai satu-satunya cara realistis untuk melihat persoalan. Karena itu sinisme tidak dapat menghindari partisipasi pada semua tingkat hierarki, walaupun sinisme itu mingkin memberikan suatu penjelasan mengenai non partisipasi oleh orang-orang tertentu pada tingkat khusus.
Dalam setiap kasus, Templeton menemukan bahwa apara responden yanmg memiliki score anomi tinggi memiliki tingkat lebih rendah pada minat pengetahuan dan partisipasi polotik daripada mereka dengan score anomi rendah. Ada sedikit keraguan bahwa apati dapat diterangkan dengan sinisme, alienasi atau anomi. Namun sangat diragukan apakah secara tunggal atau secara kolektif kata-kata tersebut memeberikan penjelasan yang lengkap. Tingkah laku politik seperti dikemukakan oleh proses sosialisai politik, merupakan bagian integral dari tingakah laku sosial.
Akan tetapi penting untuk membedakan dengan jelas antara apati, sinisme, alienasi dan anomi. Didefinisikan secara sederhana apati adalah tidak ada atau kurangnya minat, sinisme adalah suatu sikap tidak senang dan kecewa, sedangkan alienasi dan anomi keduanya menyangkut perasaaan kerenggangan atau keterpisahan dari masyarakat, tetapi alienasi mempunyai ciri permusuhan, anomi dicirikan dengan kebingungan. Fakta yang terdapat mengemukakan, bahwa mereka yang apatis secara total, paling tidak adalah sinis dan lebih sering terasing atau bersifat anomis. Karena itu adalah penting untuk menghubungkan alienasi dengan ungkapan permusuhan yang ekstrim, termasuk penggunaan kekerasan. Ditengah masyarakat yang alienasi bersifat luas dan sistem politiknya hanya memiliki legitimasi yang terbatas sebagai benstuk permusuhan terhadap sistem politik khususnya dan sistem sosial pada umumnya.
Penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai suatu manivestasi alienasi politik. Rasa permusuhan terhadap suatu rezim tertentu atau bahkan terhadap suatu sistem sosial tertentu tidak perlu mengambil satu bentuk kekerasan. Sejak penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai manivestasi daripada alienasi politik, adalah menyesatkan untuk mengasosiasikan hal terakhir itu semata-mata dengan ketidak aktifan politik. Jelas bahwa bayak dari mereka yang aktif secara politis pada beberapa tingkat tertentu bisa bersikap sinis terhadap gejala politik dan bersikap apatis tehadap tipe partisipasi lainnya.
Sejumlah studi electoral di berbagai negara menunjukkan bahwa hasil voting ternyata banyak sekali berbeda dari kelompok pemilih yang satu dengan yang lain, dan penelitian ini telah di ikhtisarkan oleh S.M. Lipset. Semakin peka atau terbuka seseorang terhadap perang sang politik lewat kontak pribadi dan organisatoris dan lewat media massa, maka besar kemungkinan dia turut serta dalam kegiatan politik. Jelas bahwa keterbukaan atau kepekaan ini kiranya berbeda dari satu orang dengan orang lainnya, dan bagaimana pun juga hal ini merupakan bagian dari proses sosialisai politik.
Karakteristik sosial seseorang seperti status sosio ekonomisnya, kelompok ras atau etnis, usia, seks dan agamanya baik ia hidup didaerah pedesaan atau dikota, maupun ia termasuk dalam organisasi sukarela tertentu dan sebagainya, semua memepengaruhi partisispasi polotiknya. Walaupun penerimaan rangsangan politik dan sifat dari karakteristik pribadi maupun karakteristik sosial seseoran itu penting dalam mempengaruhi luasnya aktivitas politik, tetapi penting juga untuk memeprhitungkan lingkungan atau keadaan politiknya.
Demikian pula syarat legal bagi suatu sistem pemilihan dapat mempengaruhi partisipasi politik. Faktor lain seperti sifat dari sistem partai juga penting. Perbedaan regional juga menyajikan tipe dari factor lingkungan lainnya yang sering menjadi dasar munculnya keaneka ragaman dalam tingkah laku electoral dan bentuk-bentuk lain dari partisipasi politik. Betapapun juga diluar contoh-contoh khusus, perbedaan yang benar-benar penting dalam lingkungan politik adalah hal-hal yang memadai suatu sistem olitik yang menjadi bagian dari suatu tipe atau kelompok tertentu.
Ada cukup alasan untuk percaya, bahwa cirri-ciri pribadi karakterisik sosial seseorang adalah penting dalam semua tipe sistem politik, walaupun cirri-ciri khusus yang penting ternyata berbeda dari satu sistem ke sistem lain.

PENGREKRUTAN POLITIK

Proporsi individu dalam suatu masyarakat tertentu yang aktif pada tingkatan tertinggi dalam partisipasi politik, yaitu mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik dan administratif, merupakan kelompok minoritas dari penduduk seluruhnya. Proporsi ini boleh dikatakan hampir-hampir tidak bertambah bila mereka yang mencari jabatan politik dan jabatan administratif dimasukkan, seperti yang seharusnya jika melakukan penilaian terhadap pengrekrutan politik yang efektif.
Adalah penting untuk menyelidiki pengrekrutan bagi satu birokrasi, bukan hanya karena perbedaan antara politikus dan administrator itu sudah pasti kabur dalam masyarakat totaliter. Hubungan antara para politisi dan anggota-anggota senior dari badan administratif adalah sedemikian rupa sehingga pengaruh para politisi terhadap administrasi dan pengaruh para administrator terhadap bidang politik sangat besar. Hal ini bukan berarti bahwa pengaruh yang satu selalu lebih besar daripada pengaruh yang lain, juga bukan hendak mensugestikan adanya sejenis ekuilibrium atau kekuatan-kekuatan lawan-imbang, hubungan antara keduanya tentu saja akan berbeda pada system politik yang satu dengan system politik yang lain dan dalam beberapa hal mereka merupakan kekuatan yang bertentangan, sedang dalam peristiwa lain keduanya merupakan kekuatan yang saling melengkapi dan sering kali merupakan bentuk campuran dari keduanya.
Penataan kelembagaan setiap system politik merupakan faktor relevan lain dalam pengrekrutan politik. Apakah suatu sistem politik memiliki penataan kelembagaan yang Unitarian ataupun bersifat federal, atau sejauh mana terdapat peleburan atau pemisahan di antara kekuasaan-kekuasaan.

SISTEM PENGREKRUTAN POLITIK

Sistem pengrekrutan politik tentu saja memiliki memiliki keragaman yang tiada terbatas walaupun dua cara khusus, seleksi pemilihan melalui ujian serta latihan dapat dianggap sebagai yang paling penting. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman dan banyak diantaranya memiliki implikasi penting bagi pengrekrutan politik. Suatu metode pengrekrutan lain yang sudah berjalan lama, yang umum terdapat banyak sistem politik, adalah perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan atau dengan kekerasan. Penggulingan dengan kekerasan suatu rezim politik, apakah hal itu dapat berlangsung dengan coup d’etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan atau kerusuhan rakyat, sering kali walaupun tidak selalu bisa dijadikan sarana untuk mengefektifkan perubahan radikal pada personil di tingkat-tingkat lebih tinggi dalam partisipasi politiknya. Akibat yang paling langsung dan nyata dari metode-metode sedemikian itu adalah penggantian para pemegang jabatan politik, akan tetapi perubahan-perubahan dalam personil birokrasi biasanya menimbulkan hasil lebih lambat, terutama bila berlangsung dalam masyarakat yang kompleks dan sangat maju.
Berbeda dengan system patronage, akan tetapi juga cenderung untuk mengekalkan tipe-tipe personil tertentu, ada lagi satu alat pengrekrutan yang jelas dapat disebutkan sebagai mampu memunculkan pemimpin-pemimpin alamiah. Walaupun sekarang dapat dikemukakan bahwa pemimpin partai konservatif di Inggris itu tidak timbul lagi sejak adanya pemilihan oleh suara anggota-anggota parlemen konservatif, sistem politiknya tetap memaksakan sejumlah pembatasan kontekstual dengan cara mengurangi jumlah pemimpin-pemimpin konservatif potensial dari mana pilihan tersebut dimunculkan.
Suatu metode yang lebih terbatas di mana pemimpin-pemimpin yang ada dapat membantu pelaksaan pengrekrutan tipe-tipe pemimpin tertentu adalah dengan jalan Koopsi. Secara tepat Koopsi itu meliputi pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada dan walaupun hal ini hampir umum terdapat dalam lembaga-lembaga politik. Metode pengangkatan anggota. Badan Kehakiman biasanya dianggap kurang bervariasi daripada halnya para pemegang jabatan politik dan pejabat-pejabat administratif. Bagaimanapun juga cara-cara pemilihan yang dipakai dalam system politik sebagai sarana untuk memilih politikus dan pemegang jabatan administrative atau kehakiman akan menjadi perhatian kita sekarang.
Suatu pemilihan dapat dinyatakan sebagai sarana untuk memilih di antara dua alternatif atau lebih, dengan jalan pemberian suara, akan tetapi dengan mengatakan hal sedemikian ini, pentinglah untuk mengakui adanya keanekaragaman yang tiada terbatas pada system-sistem pemilihan. Hak untuk ikut serta dalam pemilihan dapat dibatasi pada taraf yang berbeda-beda dan metode khusus yang digunakan untuk memberikan suara serta menghitung suara itu mengalami keserbaragaman yang banyak sekali. Beberapa pemilihan dapat dilukiskan secara tidak langsung, yaitu para pemilih memberikan suaranya untuk suatu kelompok individu yang kemudian merupakan satu badan pemilih presiden dan wakil presiden, yang seterusnya memimpin pemilihan kedua untuk menentukan siapa yang akan memegang jabatan yang dipertaruhkan.
Semua itu mencakup peristiwa langsung dari para pemegang jabatan oleh para pemilih, walaupun pilihan dari dari para pemilih tadi mungkin dibatasi oleh kualifikasi-kualifikasi hukum yang ditetapkan bagi para pemegang jabatan politik dan oleh metode-metode yang mana partai politik melakukan seleksi terhadap para calon kandidat mereka. Hak pilih orang dewasa yang universal merupakan dasar paling umum bagi pemberian suara pemilih, akan tetapi hal ini biasanya dibatasi oleh factor-faktor seperti kewarganegaraan, kesehatan jiwa dan catatan kejahatan. Dalam beberapa system politik pembatasan seperti itu dilakukan lebih luas lagi dan mencakup kriteria lain.
Pembatasan-pembatasan atas hak pilih kiranya mempunyai pengaruh yang penting pada tingkah laku voting, karena itu juga terhadap pribadi yang akan dipilih untuk menduduki jabatan politik. Pembatasan atas hak pilih secara histories penting dalam membantu menjelaskan persekutuan-persekutuan partai dan polarisasi elektoral. Dampaknya pun berbeda dengan dengan dampak cara voting. Sistem-sistempemilihan yang didasarkan atas pluralitas sederhana terlalu membesar-besarkan perbandingan kursi yang diperoleh partai yang menang dalam badan legislatif, sehubungan dengan suara dukungan yang diberikan dengan akibat timbulnya kerugian dipihak lawan, terutama pada partai politik ketiga atau partai-partai kecil lainnya.
Dibanyak negara lainnya, koalisi-koalisi merupakan norma dan kemungkinan berlangsungnya sering diberi fasilitas-fasilitas dengan adanya sistem-sistem pemilihan yang didasarkan pada perwakilan yang proporsional sebanding. Keanekaragaman tipe dari perwakilan yang proporsional itu banyak sekali.dan tipe-tipe diasosiasikan dengan hasil-hasil khusus. Hubungan antarasistem-sistem pemilihan, tingkah laku, voting dan sistem-sistem partai sangat komplek, yaitu bahwa ada hubungan memeng tidak dapat diragukan, akan tetapi tidak dapat dikatakan umpamanya bahwa pluralitas sederhana menyebabkan timbulnya sistem dua partai juga tidak dapat dinyatakan bahwa perwakilan proporsional akan menyebabkan system multi partai. Sistem partai adalah produk karakteristik sosial dari masyarakat yang bersangkutan, bukan produk dari system pemilihannya.



Suatu faktor yang agak kurang penting adalah metode pemberian suara. Betapapun juga faktor-faktor lain mengenai pemberian suara tetap merupakan peristiwa penting. Pada kebanyakan peristiwa pemilihanterdapat pertandingan yang berlangsung antara beberapa partai, seperti juga antara calon-calon perorangan karena mayoritas para pemilihmengidentifikasikan dirinya dengan suatu partai. Dibeberapa negara lain persaingan partai dilembagakan, dengan jalan mencantumkan nama partai pada surat suara atau lebih penting lagi dengan praktik menyodorkan daftar calon-calon partai pada para pemilih dan meminta para pemberi suara untuk memilih calon dari partainya.
Karena itu piliha yang dibuat oleh partai sangat penting. Selanjutnya urgensi pilihan ini menjadi semakin meningkat apabila sesuatu dukungan partai dipusatkan dengan ketat, sebagaimana yang mungkin terjadi di distrik-distrik pemilihan tertentu, sehingga untuk memperoleh pencalonan partai dalam distrik pemilihan tanpa kecuali selalu akan merupak jaminan. Sistem pemilihan didasarkan atas perwakilan proporsional biasanya menghasilkan lebih sedikit partai-partai dan lebih sedikit calon-calon independen dengan kesempatan yang lebih besar untuk dipilih tentunya.
Untuk menjamin pencalonan diperlukan dukungan dari satu partai karena dukungan tersebut merupakan langkah penting menuju suksesnya hasil pemilihan bagi calon-calon perorangan dan merupakan bagian penting dari pengrekrutan politik. Kepemimpinan partai mencegah pencalonan seseorang yang tidak disukai, sebaliknya menjadi sarana untuk jaminan pencalonan seseorang yang disukainya.
Pengawasan regional atau local tidak perlu berarti seleksi terhadap para calon yang tidak disukai oleh partai nasional, juga tidak menutup adanya kerjasama anatara organisasi-organisasi partai tingkat nasional dan tingkat lainnya. Secara normal hal itu berarti bahwa seleksi dilakukan dalam kerangka prosedural umum terhadap partai sebagai keseluruhan dan sering kali diberi supervisi oleh organisasi nasional akan tetapi hal itu juga berarti bahwa pilihan calon yang efektif itu dilakukan pada tingkat regional atau tingkat lokal.
Penggunaan pemilihan pendahuluan dibandingkan dengan metode-metode alternatif seleksi calon dapat dianggap penting. Kenyataan meunjukkan bahwa pemilihan pendahuluan diharuskan secara hukum. Hal ini berarti bahwa calon harus sudah siap untuk memeprjuangkan kampanye pemilihan umum untuk menjamin pencalonannya. Betapun juga bentuk pemilihan pendahuluan pasti berbeda pada beberapa peristiwa pemilihan pendahuluian berlangsung terbuka dan setiap pemberi suara dapat berpartisipasi walaupun pada kebanyakkan peristiwa hanya boleh memberikan suara dalam satu tempat pemilihan pendahuluan dari satu partai saja. Selanjutnya walaupun pemilihan pendahuluan tidak diragukan dapat memudahkan partisipasi politik, namun penting untuk dicatat bahwa kehadiran pemilih ternyata sangat bervariasi.
Walaupun terdapat perbedaan, baik didalam walaupun diantara system politik pada metode yang digunakan dalam melakukan seleksi para calon, namum terdapat kecenderungan luas pada pengambilan keputusan penting dalam seleksi calon untuk lebih banyak dipusatkan pada tingkat lokal atau regional daripada tingkat nasional. Perbedaan yang lebih penting dalam banyak hal tidak berasal dari padat pengawasan paratai atas pelaksanaan seleksi akan tetapi dari doktrin konstitusional mengenai pemisahan dan fungsi kekuasaan.
Secara umum dapat dinyatakan semakin lama suatu partai berkuasa, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk menduduki jabatan pemerintahan yang senior dan harus pula menyiapkan diri untuk menempuh jalan hiereki kementrian. Betapapun juga jika suatu partai terlalu lama berada dalam periode oposisi kemudian mendapat kesempatan untuk berkuasa maka pengangkatan orang-orang yang tidak memiliki pengalaman sedemikian tadi untuk pos-pos senior adalah lebih besar kemungkinannya.
Walaupun sistem politik negara berkembang telah memeperoleh kemerdekaannya itu bebas dari dominasi kolonial selama sekian generasi. Pertentangan dalam aktivitas pengrekritan politik banyak terjadi di masyarakat berkembang dan prosesnya cenderung berlangsung relatif dan tidak sistematis. Sedang dalam masyarakat totaliter pengrekrutan tersebut berlangsung sangata systematis sekali.

PENGREKRUTAN JABATAN ADMINISTRATIF

Trainning dan pengrektutan secara sistematis untuk pemegang jabatan politik tidak sama dinegara demikrasi barat, akan tetapi ada sedikit persamaaanya dengan pengrekrutan para pemegang jabatan adminstratif. Pengrekrutan itu pertama-pertama didasarkan atas factor kegunaan dan masuknya para calon kedalam birokrasi biasanya dicapai dengan beberapa bentuk ujian yang dibuat untuk menguji faktor tersebut.
Filsafat yang ada dibalik system ini tidak sulit untuk dipahami juga bukan tidak mungkin untuk dibenarkan. System patronage yang merupakan dasar umum pengrekrutan di kebanyakan negara pada waktu itu dapat diterima atas dasar bahwa perubahan personil adalah sehat dan demokratis. Walaupun kebanyakan pegawai sipil kini telah direkrut melalaui system kegunaan, pengrekrutan tidak dipusatkan dam setiap departemen melakukan ujian serta membuat pengangkatan sendiri.
Hingga akhir-akhir ini training bagi pegawai sipil didasarkan atas konsep pendidikan dinas atau konsep pendidikan kejuruan dan hanya sedikit diberikan dengan instruksi khusus. Dalam prakteknya kecocokan itu meruapakan factor uatama dalam pengrekrutan administrative kecuali jika peristiwa patronase merupakan determinan tunggal. Latar belakang sosio ekonomis sering dianggpa penting karena diasosiasikan secara langsung atau tidak langsung dengan kompetensi, sedangkan masalah asal etnis dianggap penting di negara-negara seperti kanada, yang mengusahakan adanya keseimbangan antara para pegawai sipil yang berbahasa Inggris dan berbahasa Perancis. Betapapun juga dibeberapa negara lain, tekanan jauh lebih besar diletakkan pada faktor-faktor seperti loyalitas politis dan asal etnis. Dalam masyarakat berkembang yang dahulunya mengalami jajahan, usaha-usaha yang gigih sering dilakukan untuk menciptakan birokrasi, yang anggotanya diambil dari penduduk pribumi walaupun pemberian kepercayaan kepada para anggota administrasi kolonial yang terdahulu adalah umum terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
Tujuan akhir suatu masyarakat totaliter seperti dijelaskan oleh undang-undang Nazi Civil Service adalah untuk menciptakan birokrasi dengan masalah loyalitas politik adalah mutlak dan lebih diutamakan daripada kemampuan. Sesungguhnya dalam keadaan demikian itu tidak terdapat seorang birokrat pun yang loyalitas politiknya diragukan dan dapat dianggap sebagai kompeten. Akan tetapi peristiwa ini memberikan kesulitan khusus dalam masa-masa transisi.
Jika terjadi perubahan fundamental dalam sistem politik banyak sekali terjadi pergantian jabatan politik dan administratif. Tentu saja pemegang jabatan politik mengalami pergantian yang lebih drastis, akan tetapi adalah menyesatkan untuk menganggap bahwa hal ini hanya merupakan pergantian suatu kelompok oleh kelompok oposisi, sepeti yang dinyatakan oleh Lewis Edinger dalam studinya tentang masa peralihan dari rezim Nazi ke Republik Jerman Barat.




SIAPA YANG DIREKRUT DAN MENGAPA?

Kepustakaan tentang siapa-siapa yang mencapai jabatan politik dan jabatan administratif sangat luas sekali. Tambah lagi sejauh menyangkut Negara-negara demokrasi modern, terdapat persetujuan umum bahwa pemegang jabatan politik dan administrative tanpa kecuali selalu tidak mewakili kepentingan golongan rakyat umum. Selanjutnya pola pengrekrutan di kalangan para pemegang jabatan administratif, sebagaimana yang diukur dengan kelas pekerjaan pegawai sipil atasan, adalah serupa di negara demokrasi dan masyarakat berkembang.
Pengrekrutan Politik Serta Teori-teori Elit dan Kelas. Dalam usaha menjelaskan mengapa para pemegang jabatan politik dan administratif diambil dari kelompok-kelompok sosial khusus dari suatu masyarakat, sejumlah ahli mengemukakan bahwa kelompok ini terdiri dari kaum elit dan dalam tangan mereka terpusatkan kekuatan politik. Eksistensi mereka itu tidaklah kebetulan saja, akan tetapi telah dikemukakan adalah hasil dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang menciptakan beberapa bentuk stratifikasi sosial. Tentu saja dasar stratifikasi sosial dapat berbeda dan mungkin didasarkan atas pembagian-pembagian ekonomis dalam masyarakat atau atas dasar konsep suatu hierarki religius atau atas dasar bentuk diferensiasi status atau atas pembagian etnis dan sebagainya. Dalam prakteknya mungkin saja hal tersebut merupakan kombinasi dari semua tadi, akan tetapi masyarakat-masyarakat khusus melukiskan tipe-tipe masing-masing negara demokrasi industri yang modern sering disebut sebagai masyarakat yang terbagi dalam kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah.
Suatu teori yang serupa namun terpisah mengemukakan bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan selalu merupakan minoritas kecil atau oligarki, karena semua organisasi tersebut terdiri dari suatu minoritas yang aktif dan satu mayoritas yang tidak aktif. Bahkan suatu organisasi yang memberikan kekuasaan formal kepada seluruh anggota dengan peraturan-peraturan yang dalam prakteknya tunduk kepada pengawasan dan manipulasi suatu minoritas anggota yag aktif dengan perkataan salah seorang penganjurnya, Gaetano Mosca.
Dalam semua masyarakat, dari masyarakat-masyarakat yang berkembang sangat minim dan baru saja mencapai fajar peradaban, sampai kepada masyarakat yang paling maju dan sangat kuat, akan muncul dua kelas satu kelas yang berkuasa, dan satu kelas yang dikuasai.
Namun demikian Mosca menyatakan bahwa posisi dominan dari minoritas ini tidak hanya disebabkan oleh keuntungan organisasi saja, tetapi kelompok ini juga memiliki keuntungan lain, karena mereka terdiri dari individu yang istimewa. Keistimewaan mereka tidak muncul karena mereka lebih mampu, tetapi karena mereka mempunyai karakteristik yang dihargai oleh masyarakatnya. Para penulis lainnya yang mengembangkan penjelasan Mosca dan Pareto mengemukakan argumentasi bahwa masyarakat industri modern telah mengembangkan tipe-tipe penguasa atau tipe-tipe elit politik tertentu.
Dalam banyak hal teori-teori elit yang tengah berkembang merupakan reaksi terhadap teori kelas dari Karl Marx dan merupakan salah satu usaha untuk menyangkal teori kelas Karl Marx. Terlepas dari penegasan Marx bahwa kelas pekerja pada akhirnya memperoleh kekuasaan politik dan bahwa karena homogenitas kelas pekerja dan kesadaran kelasnya dan karena kebutuhan-kebutuhan pokok manusia harus terpuaskan, yang selanjutnya akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, maka terdapat perbedaan lain antara teori elit dan teori kelas Marx.
T.B. Bottomore berpendapat bahwa bukan tidak mungkin untuk mengidentifikasikan berbagai elit sebagai kelompok-kelompok yang mempunyai status tinggi dalam suatu masyarakat, suatu kelas politik, atau pengaruh politik dan langsung turut terlibat dalam perjuangan untuk kepemimpinan politik. Kritik pokok atas teori elit dan teori kelas adalah bahwa kedua-duanya tergantung pada kepaduan kelompok maupun kesadaran kelompok. Tidaklah sulit untuk menetapkan, seperti telah kita lihat bahwa pemegang jabatan politik dan administratif seringkali diambil dari kelompok-kelompok sosial khusus dalam masyarakat juga tidak sulit untuk mendemonstrasikan bahwa anggota kelompok ini mempunyai kepentingan bersama, berdasarkan keanggotaan masing-masing kelompoknya.

MENUJU SUATU TEORI PENGREKRUTAN POLITIK

Kenyataan yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat itu diwakili secara tidak sebanding di kalangan para pemegang jabatan politik dan administratif, sering dihubungkan dengan kekutan permintaan. Hal ini jelas demikian, secara terbatas dibuktikan dengan kualifikasi formal yang kadang-kadang ditetapkan bagi para calon pada pemilihan-pemilihan dan secara lebih luas lagi kualifikasi-kualifikasi yang ditetapkan bagi para fungsionaris pemegang jabatan administratif.













Gbr 4 : Sebuah Model Pengrekrutan Politik yang Sederhana

Terlepas dari adanya tuntutan hak, katakanlah lebih banyak duduknyaanggota-anggota wanita di Parlemen atau dikurangi adanya ahli hokum dalam kongres adalah juga penting untuk menimbang, apakah pengadaan melampaui atau justru berada dibawah permintaan. Ini tidak berarti bahwa karena rendahnya permintaan akan anggota wanita di Parlemen maka berarti kurang terwakilinya wanita dalam parlemen.
Daya penyediaan dan permintaan juga dipengaruhi oleh berbagai badan seperti agensi pengrekrutan politik. Kreiteria yang mungkin digunakan dan oleh kadar sejauh mana proses itu dapat di kontrol. Beberapa agensi ini sedikit atau banyak bekerja secara formal, yang lain seluruhnya bersifat informal. Mngkin juga karena tidak adanya agensi pengrekrutan administratif yang dapat dibandingkan dengan partai kelas pekerja pada umumnya mengakibatkan secara tegas tidak adanya orang-orang yang beasal dari kelas sosio ekonomis bawahan duduk sebagai pemegang jabatan administratif. Badan-badan pengrekrutan informal yang terpenting bagi kelompok belakang ini sering kali adalah lembaga pendidikan khusus yang mempersiapkan individu dengan kualifikasi-kualifikasi formal yang diperlukan dan dengan insentif informal mempertimbangkan suatu karier dalam dinas pemerintah.
Badan-badan agensi pengrekrutan biasanya akan menetapkan beraneka ragam kriteria, meliputi cirri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap layak dan harus dikuasai oleh pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini tentu saja akan mencerminkan permintaan tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem pengadaan dengan jalan mendorong atau dengan cara menakut-nakuti orang dengan karakteristik atau keterampilan khusus tadi.
Karena banyaknya partai tentunya akan menimbulkan politisi yang berlatar belakang berbeda-beda. Donald Matthews umpamanya menggarisbawahi para senator Amerika, dibagi dalam empat tipe :
  1. Kaum ningrat, yang datang dari keluarga politik dengan status sosial yang cukup tinggi dan terdapat dalam kedua partai.
  2. Kam amatir, yang biasanya berasal dari status sosial agak bawahan, namun sering adalah hartawan dan menampilkan lebih banyak angota Republiken daripada Demokrat.
  3. Kaum professional, yang telah menempuh jalan naik melalui aneka ragam jabatan politik dan menyediakan lebih banyak anggota Demokrat darpada anggota Republiken.
  4. Kaum Agigator, biasanya mempunyai asal sosial yang rendah dan memperoleh jabatan dengan usaha-usaha sendiri.
Demikian pula kriteria yg digunakan oleh partai yang sama di distrik pemilihan yang berbeda-beda, mungkin dapat berbeda banyak sekali.
Sejauh mana pengrekrutan politik itu mengalami berbagai tipe pengawasan adalah penting dalam mempengaruhi sistem pengadaan dan permintaan. Seperti telah kita nyatakan, mungkin ada kualifikasi-kualifikasi formal yang dituntut dari calon-calon pemegang jabatan tadi. Beberapa diantaranya mungkin ditetapkan oleh agensi itu sendiri, sedang yang lainnya mungkin ditetapkan oleh negara. Bagaimanapun juga kedua peristiwa itu kiranya mempengaruhi proses pengrekrutan secara mendalam. Tetapi tidak demikian halnya dalam masyarakat totaliter karena pengrekrutan politik itu bidang yang penting dan vital, maka ia memperoleh pengawasan yang ketat. Tentu saja seperti yang telah kita lihat perubahan ekstensif dalam personal biasanya membutuhkan waktu, terutama dalam dalam bidang administratiif. Akan tetapi salah satu metode yang paling penting dalam mempengaruhi perubahan fundamental dalam sisem politk adalah lewat control terhadap proses pengrekrutan politik. Demikianlah penguasa dalam masyarakat totaliter berusaha mengawasi pengrekrutan semua pemegang jabatan politik dan administratif, daripada menyerahkannya kepada badan-badan otonom atau semi otonom.


Daftar Pustaka




  • Juhana, Wijaya , 2004,  Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah : jakarta.
  • SY, Pahmi, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press: Jakarta. 
  • Rush, Michael dan Althoff, Phillip, 2005, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Press : Jakarta. 
  • Marijan, Kacung, 2006, Demokratisasi di Daerah, Pustaka Eureka: Surabaya.  
  • Resume Budaya politik,  Zaki Mubarak Dosen UIN jkt, Semester 5. 
  • Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, Rajawali Press: Jakarta, 1982. 
  • http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/01/sosialisasi-politik/ 
  • http://dc313.4shared.com/img/4FIEHD6q/preview.html
Share this article :

Kunjungan

2682897

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin