Siang belum terlalu panas. Saya lirik jam tangan. Pukul sembilan kurang sedikit.
Kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘Veteran’ yang baru saya masuki
lengang. Tidak banyak mahasiswa ataupun mahasiswi yang terlihat berlalu lalang.
Saya terpana melihat banyaknya gedung yang tinggi menjulang. Di mana gedung
pasca sarjana fakultas ekonomi? Kata panitia, acara akan mulai jam 9. Saya
hampir terlambat. Padahal sebenarnya, kalau bisa saya ingin tiba di sana sebelum
dua pembicara yang lain, agar punya bahan untuk menyiapkan mental dan bahan
pembicaraan. Saya memang ingin belajar disiplin, menghargai waktu, meski sampai
sekarang belum kunjung berhasil.
Dengan ransel yang tergendong di pundak,
saya terus melangkah. Karena bingung, maka saya berinisiatif bertanya kepada
satpam yang berada di pos jaga. Setelah mendapat jawaban, saya pun melangkah
lagi. Sepi, tak ada banyak mahasiswa maupun mahasiswi. Tapi, ada yang cukup
menarik dalam pandangan mata saya. Lambaian umbul-umbul merek rokok ternama yang
berdiri tegak di sepanjang lapangan rumput yang luas. Di tengah, ada sebuah
panggung megah dengan alat musik yang besar-besar. Ada dua tenda kecil di dekat
panggung itu.
Musik. Rokok. Saya tiba-tiba resah. Meski demikian saya
terus melangkah. Berjalan sambil celingak-celinguk, di sepanjang jalan yang saya
lewati suasananya tak jauh beda. Sepi. Ternyata, sesampai gedung pasca sarjana
juga sama. Sepi. Hanya ada beberapa gelintir orang yang berlalu-lalang. Sejenak
ragu menyergap. Acaranya jadi atau tidak?
Seorang mahasiswa, dengan
langkah tergesa, datang menghampiri, “Mbak Jazimah Al-Muhyi?” Saya mengangguk.
“Acaranya di sini, Mbak.” Mahasiswa tadi membuka pintu sebuah ruangan. Sebuah
ruang kuliah yang menurut saya cukup mewah. Ruangan ber-AC dengan kursi empuk
yang bisa berputar. Maklum, ruang kuliahnya mahasiswa S-2, yang tentu saja
membayar lebih mahal ketimbang mahasiswa S-1. Tak masalah, selagi bisa berfungsi
maksimal. Biar belajar lebih nyaman dan konsentrasi.
Melihat tempat
acaranya, sejenak saya termangu. Acara bedah buku di ruang kuliah? Saya
perkirakan kursi yang ada di situ hanya sekitar 30. Jadi, panitia sudah pesimis
kalau pesertanya maksimal 30? Daripada bodoh berkelanjutan, saya memilih
bertanya, “Kampus ini kok sepi sekali. Ke mana para mahasiswa?” “Ini kan hari
Sabtu, Mbak. Memang selalu begini.”
Ops, saya pun menepuk jidat (meski
imajinasi). Saya jadi ingat semasa masih kuliah. Mahasiswa-kebanyakan-memang
suka protes kalau ada dosen yang di hari Sabtu masih saja memberi kuliah.
Jadinya, jam kuliah yang jatuh pada hari Sabtu seringkali digabung dengan hari
lain. Kalau dosen sibuk alias punya jam terbang super tinggi, akibatnya sering
kosong. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah. Asal dosen tidak pelit memberi
nilai, biasanya dia tetap menjadi dosen favorit pilihan mahasiswa
(malas).
Beberapa menit menunggu, satu demi satu orang datang. Kayaknya
sih panitia. Ngobrol sana-sini, beberapa di antaranya minta maaf karena molornya
acara. Saya mengangguk saja. Sudah biasa. Sedikit ngobrol, saya bisa
menyimpulkan kalau panitia memang tak mematok target adanya peserta yang banyak
karena Sakti Arisena, gitaris S07 yang semula dijadwalkan, tak bisa hadir.
Begitu pula Icha Jikustik tak bisa menggantikan. Maklum, Sabtu adalah hari sibuk
bagi para pemusik, setahu saya begitu. Menyiapkan konser untuk malam minggu
tentu butuh persiapan fisik yang prima.
Mundur sekitar satu jam, acara
pun mulai. Lumayan meriah. Apalagi Dr. Nurhadi begitu detail dan menarik
menyampaikan analisanya terhadap buku yang dibedah. Saya lebih banyak berbicara
soal proses kreatif. Hadirin (yang pastinya tidak sampai 30) itu antusias
bertanya. Alhamdulillah. Acara usai, seorang mahasiswi yang tampaknya panitia
acara menawarkan diri untuk mengantarkan saya pulang. “Oke, kamu boncengkan aku
sampai depan kampus saja. Biar aku naik angkutan umum.” “Kenapa, Mbak?” “Aku
lagi flu. Naik angkutan umum aja, biar gak banyak kemasukan debu. Lagipula,
sini-Jombor kan jauh.” Dia setuju.
Motor berjalan, saya sampai lagi pada
pemandangan itu. Umbul-umbul merek rokok yang berkibar-kibar dan sebuah panggung
megah berisi alat-alat musik besar. Sampai keluar dari gerbang kampus, saya
masih menatap pemandangan itu. “Kampus. Musik, rokok ....” saya mulai bergumam.
“Di sini sering banget ada acara begini, Mbak.” Mahasiswi itu memberi
keterangan. Dari nada bicaranya, saya tangkap rasa kecewa. Sebuah rasa yang juga
menghuni hati saya.
Siang itu, saya merasa pilu. Terlebih saya teringat
berbagai bedah buku maupun diskusi yang pernah saya ikuti. Seramai apa pun,
tetap tak mampu menyaingi kemeriahan sebuah konser musik. Menyaksikan kemeriahan
persiapan konser musik yang terhampar di lapangan rumput nan hijau, di depan
deretan gedung megah kampus se-ternama UPN, membandingkannya dengan acara bedah
buku yang baru saja berlangsung di sebuah ruang kuliah, saya merasakan suatu hal
yang kontradiktif. Sebuah bedah buku, buku yang ditulis oleh seorang mahasiswa
UPN, ‘disembunyikan’ di sebuah ruangan kecil berkapasitas kurang lebih 30 orang
saja. (Padahal, berapa persen jumlah mahasiswa yang telah menghasilkan buku?
Tidakkah itu adalah sebuah prestasi yang patut dihargai?)
Saya tatap lagi
panggung dan umbul-umbul yang meriah itu. Resah itu tak saya biarkan menjelma
menjadi energi negatif yang pastinya akan menghancurkan. Resah itu, saya olah
menjadi harapan. Sebuah mimpi. Kekuatan mimpi, saya meyakini
kedahsyatannya.
“Saya punya mimpi, Dik. Suatu saat, di lapangan rumput
yang luas itu akan terdapat panggung yang berisi buku-buku. Di sana ada bedah
buku, diskusi buku, seminar ilmiah. Karena ini kampus. Karena di sini tempat
para intelektual harapan bangsa berada.”
Mahasiswi itu memberikan sorot
mata penuh harapan. Saya lega. Saya tahu mimpi itu akan melibatkan banyak sekali
tangan yang harus bekerja keras. Budaya cinta membaca, budaya cinta menulis,
budaya cinta berpikir, budaya cinta mencari solusi atas berbagai persoalan
bangsa ... bukan perkara mudah untuk menumbuhkembangkannya. Banyak pihak harus
terlibat secara serius. Hedonisme, kapitalisme. materialisme, instan-isme bahkan
kanibalisme telah teramat kuat mencengkeram hidup mayoritas penduduk negeri
ini.
Angkutan umum yang saya tunggu sudah nampak di kejauhan. Saya tahu
harus segera pulang. Ada tugas lain menanti di rumah. Saya tepuk pundak
mahasiswi yang baik itu sembari berkata, “Dik, padamu kutitipkan
mimpiku.”
Jazhimah Al Muhyi
Kalaupun aku mati sebelum mimpi itu
terwujud,
aku lega telah menitipkannya pada adikku