Lazimnya toko
ataupun supermarket di Jepang, pada saat kita hendak membayar barang yang
dibeli, selain memeriksa barcode dengan scanner petugas kasir juga menyebutkan
harga barangnya. Biasanya saya tidak terlalu perhatian dengan harga yang
disebutkan oleh petugas kasir. Saya lebih tertarik melihat akumulasi harga yang
tertera di layar monitor mesin kasir. Sehingga saya bisa langsung mengetahui
berapa uang yang harus dibayarkan.
Suatu ketika saya
mendengar petugas kasir tidak terlalu jelas menyebutkan harga barang yang saya
beli. Suaranya juga terdengar sedikit aneh. Hal itu membuat saya tertarik untuk
memperhatikan petugas kasir tersebut. Sesaat saya tertegun, kemudian tersadar
bahwa saya sedang dilayani oleh seorang kasir penyandang tunarungu. Sebelumnya
saya belum pernah mengalami kejadian seperti ini karena saya memang jarang
berbelanja di supermarket tersebut.
Setelah membayar
harga barang-barang, saya menyempatkan untuk memperhatikan cara kerja petugas
kasir itu dengan petugas lainnya (yang tidak cacat). Kesimpulan saya, tidak ada
yang berbeda dengan cara mereka bekerja. Yang berbeda hanyalah saat mereka
menyebutkan harga saja.
****
Pada hari yang
lain saya berada dalam barisan antrian di depan ATM. Tanpa sengaja saya melihat
ada anggota barisan yang memegang tongkat, dan sesekali mengetukkannya ke
lantai. Setelah saya perhatikan lebih seksama, ternyata orang itu seorang
tunanetra.
Mesin ATM di
Jepang memang dilengkapi dengan suara operator. Namun tetap saja kita harus
menekan tuts pilihan transaksi dan juga memasukkan angka. Lalu bagaimana cara
orang itu memilih transaksi dan memasukkan angkanya? Pertanyaan itu seketika
melintas di kepala saya.
Setelah saya
berada persis di depan mesin ATM, tahulah saya jawabannya. Ternyata selama ini
saya tidak memperhatikan bahwa ada mesin ATM yang juga dilengkapi dengan huruf
Braille. Huruf yang biasa digunakan oleh para penyandang tunanetra.
****
Lain waktu saya
harus menanyakan urusan administrasi di kantor asrama mahasiswa tempat kami
tinggal. Saya tidak menyangka bahwa saya akan kembali dilayani oleh seorang
penyandang cacat. Kantor administrasi itu ternyata juga menerima pekerja yang
menyandang cacat tunarungu.
Petugas tersebut
melayani saya dengan ramah. Tak beda dengan petugas lainnya. Dengan segala
kemampuannya, petugas penyandang tunarungu itu berusaha memberi penjelasan yang
sejelas-jelasnya atas pertanyaan saya. Cacat tunarungu tak menghalanginya untuk
bersikap profesional dalam bekerja. Meskipun kemampuan bahasa Jepang saya masih
jauh dari level advance, alhamdulillah saya merasa jelas dengan penjelasannya.
****
Pengalaman-pengalaman
itu menyisakan pertanyaan di kepala saya, "Bagaimana para penyandang cacat
tersebut dididik sehingga mereka mempunyai rasa percaya diri yang begitu besar
untuk berbaur dengan orang normal?" Bahkan berani bekerja memberikan
pelayanan di tempat umum tanpa rasa minder? Tentu tidak mudah bagi mereka untuk
melakukan hal itu.
Dari seorang
teman, saya mendapatkan pencerahan atas pertanyaan tersebut. Menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan psikologis penyandang cacat, adalah
satu cara membangkitkan rasa percaya diri mereka. Dan keluarga sangat memainkan
peran penting ini. Sehingga mempunyai anggota yang cacat tidak dirasa sebagai
beban dalam suatu keluarga.
Sejak kecil para
penyandang cacat diingatkan bahwa mereka tidak kalah berartinya bagi orang
lain. Dengan kata lain, walaupun cacat mereka tetap bisa memberikan manfaat
bagi orang lain di sekitarnya. Hal itu dapat menjadi motivasi bagi para
penyandang cacat untuk optimis memandang masa depan. Subhanallah, sungguh suatu
pelajaran hidup yang menarik. Karena kitapun selalu diajarkan untuk dapat
memberi manfaat bagi orang lain.