Budaya atau
kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud material semata, baik yang
berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan sesuatu yang abstrak yang
terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model system pengetahuan manusia
yang digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi
(Geodenough dalam Spradley, 1972). Tegasnya kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan
untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi
kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan
(Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep tersebut, maka budaya belajar juga
dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia mengenai belajar yang
digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan benda, tindakan
dan emosi dalam lingkungannya.
Cara pandang
budaya belajar sebagai system pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya belajar
merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing
& Keesing, 1971). Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat
menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai
macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah
digariskan bersama.
Budaya belajar
dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa
lingkungan fisik maupun lingkungan social. System pengetahuan belajar digunakan
untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga syarat kebutuhan hidup, yakni:
1)
Syarat
dasar alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti
pemenuhan kebutuhan makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh
manusia lebih berfungsi
2)
Syarat
kejiwaan, yakni pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang,
jauh dari perasaan takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan
kejiwaan lainnya
3)
Syarat
dasar social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan
orang lain, dapat melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat
mempertahankan diri dari serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)
Lebih lanjut
Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti
ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya, atau
sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan
dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya
sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk
menanggapi bergabai masalah yang ada di
lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam
bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong
oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan
lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi
dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).
Dalam kaitannya
itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi adaptasi yang
berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan,
petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh
individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya(spradley,
1972). Resep-resep tersebut berisikan pengetahuan belajar yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan tata cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan
sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan system social masyarakat
pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang relative sama dengan pranata
keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan tata kelakuan seseorang dan
kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang adalah produk dari budaya
masyarakat pendukung kebudayaan itu.