Home » » Perkembangan Lembaga Pendidikan Menurut sosiologi

Perkembangan Lembaga Pendidikan Menurut sosiologi

Written By Unknown on Rabu, 24 Oktober 2012 | Rabu, Oktober 24, 2012

Masyarakat primitif dan kuno tidak memiliki lembaga pendidikan. Anak-anak mempelajari segala sesuatu yang perlu mereka ketahui dengan cara menyaksikan apa saja yang sedang berlangsung dan membantu suatu pekerjaan apabila dianggap praktis. Untuk mengajar seorang anak Indian berburu tidaklah diperlukan sekolah. Ayah anak itu akan memberikan petunjuk kepada sang anak. Cara pengajaran semacam itu merupakan bentuk yang paling mirip dengan “lembaga pendidikan” yang bisa ditemukan pada masyarakat sederhana. Pengajaran semacam itu, bukanlah sebuah lembaga pendidikan melainkan hanya merupakan sebagian dari tugas keluarga.
Sekolah mulai lahir ketika kebudayaan telah menjadi sangat kompleks, sehingga pengetahuan yang dianggap perlu tidak mungkin lagi ditangani dalam lingkungan keluarga. Seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan, diperlukan pula pengumpul pajak dan pencatat. Agama yang sedang berkembang seringkali memerlukan penghafal Kitab suci dan tata cara upacara agama. Kita dapat membayangkan bagaimana seorang ayah yang pada saat mendidik anak atau keponakannya, mungkin setuju untuk menerima keponakannya yang lain, kemudian menerima lagi anak atau keponakan temannya untuk dididik pada waktu yang bersamaan. Kita dapat membayangkan bagaimana “kelas” semacam itu berkembang dalam beberapa generasi, sehingga lahirlah “guru” yang waktunya dipergunakan sepenuhnya untuk mengajar. Pada tahap itulah, yakni ketika telah terdapat orang-orang yang berspesialisasi guru dan anak-anak didik dalam kelas-kelas formal yang berlangsung di luar lingkungan keluarga, dan ketika telah ditemukan cara yang pantas untuk mendidik anak-anak tersebut, baru dapat kita katakan bahwa lembaga pendidikan telah lahir.
Analisis fungsional seperti yang dikemukakan di atas, yang mengamati pertumbuhan lembaga pendidikan dalam kaitannya dengan kebutuhan tenaga kerja, ditolak oleh para penganut teori konflik sebagai suatu analisis yang terlalu sederhana. Para penganut teori konflik mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mungkin lebih penting dan berpengaruh daripada faktor kebutuhan tenaga kerja, yang merupakan penyebab lahirnya pendidikan. Di semua negara maju, banyak orang memperoleh pendidikan yang jauh lebih tinggi dari keperluan yang dibutuhkan oleh pekerjaan mereka. Perguruan tinggi memenuhi kebutuhan akan status bagi orang-orang yang ingin merasa lebih hebat dan ingin terbebas dari persaingan untuk memperoleh jabatan tertentu, yang diperebutkan oleh orang-orang yang tidak memiliki ijazah sekolah. Hal demikian itu, merintangi kemungkinan terciptanya mobilitas vertikal bagi orang-orang dari kalangan kelas sosial rendah.
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin