Jika demokrasi sudah berjalan, apa yang dapat dilakukan oleh seorang filsuf politik?
Pandangan positif mengatakan bahwa segera
setelah kita memiliki prosedur pengambilan keputusan secara demokratik,
maka tugas mendasar filsuf politik selesai; semua keputusan sekarang
dapat diserahkan pada proses yang fair dari mesin pemilihan.
Sayangnya, demokrasi bukan obat penyembuh
segala penyakit, meskipun ia merupakan sistem terbaik yang bisa kita
bayangkan: Mill mengatakan ada ‘ancaman tirani mayoritas’. Maka adalah
naif mengatakan bahwa demokrasi dapat mencegah terjadinya
ketidakadilan: kenyataan bahwa rakyat membuat hukum, tidak akan mencegah
terjadinya kemungkinan bahwa mayoritas akan meloloskan hukum yang
menindas, atau sebaliknya tidak fair, terhadap minoritas. Jadi, dalam
arti tertentu perlu ada perlindungan terhadap minoritas.
Pandangan Mill dalam mengatasi masalah
tersebut agak mengejutkan: setelah membela kebaikan dari demokrasi
perwakilan, hal lain yang diusulkannya adalah bahwa kita harus
sungguh-sungguh membatasi kekuasaan.
Karya Mill On Liberty (terbit lebih dulu
daripada On Representative Government) memusatkan perhatian pada
pertanyaan mengenai ‘hakikat dan batas kekuasaan yang dapat dijalankan
secara absah oleh masyarakat terhadap individu’ (On Liberty, 126): Mill
berargumen bahwa kita harus memberikan kekuasaan yang cukup pada para
individu. Ada batas campurtangan negara, dan juga ada batas penggunaan
pendapat publik sebagai cara membentuk kepercayaan atau perilaku.
Seberapa banyak kekuasaan yang harus dimiliki negara?
Anarkis: negara tidak memiliki kekuasaan
yang dapat dibenarkan sama sekali. Jadi tidak ada batas bagi kebebasan
individu, setidaknya, tidak ada batas yang mungkin dapat dipaksakan oleh
negara.
Pembela negara absolut (Hobbes): negara
tidak punya kewajiban untuk memperhatikan sama sekali kebebasan
warganegaranya. Negara dapat memaksakan pembatasan atau aturan apapun
yang mungkin diinginkannya.
Mill mengambil spektrum yang berbeda:
bukan anarkis dan bukan absolutis. Mengapa sebagai penganjur kebebasan,
Mill menolak anarkisme, yang oleh banyak orang dirasakan sebagai
perwujudkan tertinggi dari kebebasan individu?
Mill berpandangan bahwa jika orang diberi
kebebasan sempurna, maka ia tentu akan menyalahgunakan kebebasan itu,
dengan memanfaatkan ketiadaan pemerintah untuk mengeksploitasi orang
lain. Menurut Mill: “All that make existence valuable to anyone depends
on the enforcement of restraints upon the actions of other people” (On
Liberty, 130).
Anarki berarti kehidupan tanpa hukum, dan
menurut Mill dalam keadaan spt itu hidup akan menjadi sesuatu yang
tidak berharga untuk dialami. Mill mengambil pandangan sederhana bahwa
tirani tidak lagi dapat dianggap sebagai pilihan yang serius, dan karena
itu ia mulai menentukan campuran yang tepat antara kebebasan dan
kekuasaan (otoritas).
Apakah dasar intervensi negara dengan
melarang orang bertindak sesuai keinginannya atau memaksa orang
bertindak yang bertentangan dengan keinginannya? Masyarakat yang
berbeda, menurut Mill, menjawab masalah ini dengan cara yang berbeda:
– Sebagian melarang praktek agama tertentu atau bahkan menindas agama sama sekali.
– Sebagian memaksakan sensor pada pers atau media massa yang lain.
– Banyak masyarakat juga melarang praktek seksual tertentu (homoseksualitas, prostitusi dsb)
– Sebagian melarang praktek agama tertentu atau bahkan menindas agama sama sekali.
– Sebagian memaksakan sensor pada pers atau media massa yang lain.
– Banyak masyarakat juga melarang praktek seksual tertentu (homoseksualitas, prostitusi dsb)
Apakah negara berhak mencampuri kehidupan dan kebebasan orang dengan hal-hal semacam itu?
Mill mencoba mencari prinsip atau
kumpulan prinsip, yang akan memungkinkan kita memutuskan masing-masing
kasus berdasarkan manfaat sebenarnya, daripada hanya membiarkan masalah
ini diselesaikan berdasarkan moralitas populer dan kebiasaan yang
sewenang-wenang (dua musuh terbesar Mill).
Prinsip Kebebasan Mill: “Harm Principle”,
menyatakan bahwa “you may justifiably limit a person’s freedom of
action only if they threaten harm to another”. Harm Principle: membatasi
kebebasan atas tindakan orang lain diperbolehkan hanya jika tindakan
orang itu membahayakan (mengancam kebebasan) orang lain.
Bagi banyak orang modern, prinsip ini
mungkin sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat jelas, tetapi
sepanjang sejarah prinsip ini sering dikaburkan:
Selama berabad-abad, orang telah disiksa
karena menyembang Tuhan yang salah, atau karena tidak menyembah Tuhan
sama sekali; bahaya apa yang telah dilakukan oleh orang-orang ini pada
orang lain, kecuali mungkin membahayakan keabadian jiwa-nya sendiri?
Dewasa ini pandangan Mill juga tidak
dengan sendirinya jelas bagi kita: Misalnya, jika teman kita menjadi
pecandu obat-obat terlarang, apakah kita akan mengintervensi tindakan
teman itu dengan paksa untuk menghentikannya hanya jika kemungkinannya
ia membahayakan orang lain? Contoh ini membuka awal masalah yang serius
mengenai interpretasi dan kemasuk-akalan mengenai prinsip Mill.
Mungkin tidak ada masyarakat, di masa
lalu maupun masa sekarang, yang benar-benar hidup berdasarkan prinsip
yang ingin dipahami Mill. Seperti yang akan kita lihat, Mill sendiri
menghindarkan diri dari sejumlah konsekuensinya yang sangat tidak
konvensional.
Menurut Mill, prinsip kebebasannya
berlaku untuk “semua anggota masyarakat yang beradab”. Jadi apakah Mill
berniat mempercayai pembatasan untuk kebebasan masyarakat yang tidak
beradab? Kenyataannya, Mill menerima hal ini. Ia secara eksplisit
menyatakan bahwa prinsip kebebasannya hanya dapat berlaku pada
masyarakat yang ‘yang mengalami kematangan dalam kemampuan bernalarnya’
(On Liberty 135).
Anak-anak dan kaum barbar tidak
dimasukkan, karena “kebebasan, sebagai prinsip, tidak dapat diterapkan
pada keadaan lebih dahulu di waktu ketika kemanusian memiliki kemampuan
meningkatkan dirinya melalui diskusi yang bebas dan setara (On Liberty,
136).
Jadi, menurut Mill,
kebebasan hanya bernilai di bawah persyaratan tertentu. Jika persyaratan
ini tidak berlaku, maka kebebasan bisa sangat membahayakan. Anak-anak
seharusnya tidak memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah mereka
belajar membaca atau tidak, dan Mill sepakat dengan pandangan di jaman
Victoria bahwa masyarakat tertentu adalah ‘terbelakang’, dan karena itu
seharusnya juga diperlakukan seperti anak-anak. Yang penting di sini
bukan apakah pandangan Mill mengenai orang barbar tepat atau tidak,
tetapi kondisi yang diletakkannya bagi penerapan prinsip kebebasan.
Kebebasan bernilai
sebagai sarana memperbaiki kehidupan manusia—memperbaiki kemajuan moral.
Dalam keadaan tertentu kebebasan akan memiliki pengaruh yang sama
sekali berbeda [dengan yang diinginkan], sehingga kemajuan harus dicapai
dengan sarana yang lain. Namun Mill sangat yakin bahwa jika masyarakat
telah mengalami kematangan—jika kita telah mencapai kemajuan ke arah
tingkat yang lebih beradab—campurtangan (keterlibatan) negara pada
tindakan individu harus diatur oleh prinsip kebebasan.
Tulisan ini dikutip dari Hand Out Mata Kuliah Filsafat Politik di Fakultas Filsafat UGM, yang diampu oleh Dosen Agus Wahyudi M.A
http://grelovejogja.wordpress.com