Departemen Agama, melalui Badan Litbang
dan Diklatnya, telah melakukan penelitian tentang ‘Faham-faham keagamaan
liberal pada masyarakat perkotaan’. Hasil penelitian itu
dipresentasikan pada 15 November 2006 di Jakarta, di hadapan sejumlah
peneliti, perwakilan berbagai ormas keagamaan, dan lembaga swadaya
masyarakat. Penelitian dilakukan di sejumlah kota besar: Jakarta, Medan,
Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya. Untuk kalangan Kristen,
dilakukan penelitian di Nusa Tenggara Timur dan Menado, dan untuk kasus
Hindu dilakukan penelitian di Denpasar Bali.
Ketika melakukan penelitian perkembangan
paham keagamaan liberal di lingkungan masyarakat Muslim, para peneliti
Depag menfokuskan penelitiannya di seputar lingkungan UIN/IAIN. Di
Medan, misalnya, penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dengan
sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara. Ada sejumlah masalah yang dijadikan
indikator dalam penelitian, seperti (1) masalah hubungan antara agama
dengan negara, (2) masalah Pluralisme Agama, (3) masalah hak beragama,
(4) kebebasan berpikir (berijtihad) (5) perkawinan beda agama dan
masalah poligami, (6) masalah kebenaran, (7) Hak asasi manusia (8)
masalah jender, (9) masalah demokrasi.
Ditulis dalam hasil penelitian ini:
“Mengenai masalah pluralisme, mereka tidak sependapat dengan MUI sebab
kalau semua agama itu sama, berarti bukan plural lagi. Plural itu
artinya banyak, paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan
masyarakat. Dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan
keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu
keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain. Memang
implikasi sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang
berkurang. Untuk itu dalam mengajarkan ajaran agama untuk tingkat TK/SD
ditanamkan emosi dan rasa keagamaan. Untuk tingkat SMA diajarkan tentang
kemajemukan, sehingga mereka menghargai antara faham yang satu dengan
faham yang lain. Menurut Amiur Nuruddin, pluralisme agama berarti semua
agama mempunyai dasar dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing
penganut, dan kita menghargai masing-masing agama untuk mengembangkan
ajaran agama masing-masing, jadi pluralisme tidak menganggap semua agama
sama. Dalam Islam harus menerima keragaman paham keagamaan secara
internal dan tidak boleh mamaksakan suatu faham kepada kelompok lain.
Kalau hal ini dikembangkan akan terjadi konflik horisontal diantara umat
Islam. Maka Pak Amiur tidak setuju terhadap tindakan suatu kelompok
yang mengeksekusi terhadap kelompok yang dianggap sempalan.”
Itulah hasil penelitian Departemen Agama
terhadap persepsi sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara terhadap paham
Pluralisme Agama. Yang disebut Pak Amiur Nuruddin adalah Dekan Fakultas
Syariah IAIN Sumatera Utara. Tampak dalam penelitian itu, bahwa Dekan
Fakultas Syariah itu setuju dengan paham Pluralisme Agama, dan tidak
memahami masalah paham Pluralisme Agama, sebagaimana dibahas dalam studi
agama-agama di dunia saat ini. Dia mendefinisikan Pluralisme Agama
sebagai “paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan
masyarakat.” Sehingga dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan
pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai
menganggu keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain.
Kesimpulan ini sangat aneh. Pluralisme
Agama, sebagaimana didefinisikan dan biasa dikaji dalam studi
agama-agama, bukanlah paham yang seperti itu. Dalam fatwa MUI pun sudah
ditegaskan, bahwa Islam mengakui dan menghormati perbedaan. Hanya saja,
itu disebut sebagai ‘pluralitas’.
Tetapi, dalam Pluralisme Agama, —
sebagaimana sering kita bahas dalam Catatan ini – agama-agama memang
dipandang sama-sama sah sebagai jalan menuju Tuhan yang sama. Dalam
bahasa Nurcholish Madjid, agama-agama adalah ibarat jari-jari roda yang
menuju kepada pusat roda (tuhan) yang sama. Dalam bahasa Huston Smith
dan Seyyed Hossen Nasr, agama-agama diibaratkan sebagai jalan yang
berbeda-beda menuju ke puncak (tuhan) yang sama.
Jadi, MUI tidak salah ketika
mendefinisikan bahwa Pluralisme Agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk
dan hidup berdampingan di surga.
Karena itu, kita patut merasa heran
dengan pandangan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara itu tentang
paham Pluralisme Agama, sebagaimana diungkap dalam hasil penelitian
Depag tersebut. Ditambah lagi, redaksi yang digunakan pun bertentangan
satu dengan lainnya. Pada satu kalimat dikatakan, bahwa dengan
mengembangkan paham Pluralisme, maka tidak sampai mengganggu
keimanannya. Tetapi pada kalimat berikutnya ditulis, bahwa implikasi
sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang.
Masalah Pluralisme Agama merupakan
tantangan sangat serius bagi agama-agama yang ada, sehingga para tokoh
agama dan cendekiawan agama-agama, baik dari kalangan Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan sebagainya, telah melakukan kajian yang serius
tentang masalah ini. Karena itu, kita sangat amat layak untuk bersedih
hati menyimak pendapat seorang profesor doktor dari IAIN Sumatera Utara
yang juga Dekan Fakultas Syariah itu tentang paham Pluralisme Agama.
Hasil penelitian di Kota Medan ini
ditutup dengan rekomendasi peneliti Depag tersebut: “untuk kelompok yang
mengembangkan pemikiran baru di Kota Medan ini alangkah baiknya kalau
membentuk semacam lembaga, seperti JIL di Jakarta, LKIs di Yogyakarta,
atau Paramadina, sehingga bisa disusun agenda diskusi, sehingga nantinya
dapat menghasilkan produk pemikiran yang terdokumentasikan, sehingga
bisa juga dinikmati orang lain. Kepada MUI agar berhati-hati
mengeluarkan statemennya, agar tidak mematikan semangat berpikir yang
tumbuh di kalangan generasi muda, yang sedang mekar-mekarnya.”
Berdasarkan rekomendasi penelitian di
Kota Medan itu, kita memahami, bahwa si peneliti Depag itu sudah
memiliki kerangka pikir liberal dan menganjurkan agar di Kota Medan juga
dibentuk lembaga penyebar paham keagamaan liberal. Tentu saja, ini PR
berat bagi Menteri Agama saat ini yang dikenal cukup kritis terhadap
paham-paham liberalisme keagamaan. Bahwa diantara anak buahnya, justru
menganjurkan disebarkannya paham liberal. Bagi umat Islam, tentu ini
musibah dan tantangan besar.
Kita lanjutkan menelaah hasil penelitian
di Kota Yogyakarta, yang diberi judul “Faham Islam Liberal Masyarakat
Kota Yogyakarta”. Menjelaskan sejumlah faham liberal, diantaranya
tentang “Memaknai teks al-Quran dan al-Hadits secara liberal dengan
mengutamakan semangat religio etik”, penelitian ini mencatat:
“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah.”
“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah.”
Membaca kutipan hasil penelitian itu,
kita bisa melihat, bagaimana parahnya cara berpikir kaum liberal yang
berkutat di sekitar UIN Yogya tersebut. Mereka tidak lagi menganggap
Al-Quran sebagai wahyu suci. Mereka sudah menggeser ilmu tafsir dan
mengganti dengan hermeneutika yang ujung-ujungnya menghasilkan pemahaman
relativisme tafsir. Mereka juga tidak menentukan sikap terhadap yang
benar dan yang salah.
Jika kita membaca pandangan mereka, berdasarkan hasil penelitian ini, maka sungguh kita amat sangat patut khawatir terhadap anak-anak kita yang sekarang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta dan dicekoki dengan paham-paham yang menggerus keyakinan Islam secara sistematis tersebut. Sampai-sampai antara yang benar dan yang salah pun sudah tidak bisa membedakan lagi.
Jika kita membaca pandangan mereka, berdasarkan hasil penelitian ini, maka sungguh kita amat sangat patut khawatir terhadap anak-anak kita yang sekarang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta dan dicekoki dengan paham-paham yang menggerus keyakinan Islam secara sistematis tersebut. Sampai-sampai antara yang benar dan yang salah pun sudah tidak bisa membedakan lagi.
Padahal, sebagai Muslim, kita diwajibkan
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar: memperjuangkan yang benar dan
melawan kemunkaran. Jika seorang yang masih mengaku Muslim tetapi sudah
tidak mengakui kesucian Al-Quran, tidak mengakui kebenaran hadits
mutawatir, tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, lalu,
apa lagi yang tersisa dari sebuah makna keislaman?
Tentang masalah ‘kebebasan beragama’
dilaporkan dalam penelitian ini bahwa Islam Liberal berpendapat: “Semua
agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama,
memiliki tujuan dan mengabdi pada Tuhan yang sama, dan kebenaran itu ada
pada semua agama… Mengklaim agama sendiri paling benar akan menempatkan
seseorang pada sikap eksklusif partikular dan hanya akan menimbulkan
disharmoni antar umat beragama.”
Juga ditulis dalam laporan ini, bahwa
dalam masalah theologi, Islam Liberal berpendapat : ‘’Tuhan apapun yang
disembah oleh umat, tidak menjadi masalah. Di sisi lain Tuhan tidak
berhak menghukum manusia karena tidak menyembahnya (atheis), karena hal
ini bukan wewenang Tuhan untuk mengatur manusia, karena sudah masuk
dalam ruang privat.”
Dalam masalah ritual ditulis: “Manusia
meyakini akan kebenaran adanya Tuhan. Karena kebenaran berada bukan pada
satu keyakinan dan agama, maka cara untuk “menyapa” dan mendekatkan
diri pada Tuhan juga mengalami keberagaman. Umat Islam memiliki ritual
sendiri. Demikian pula Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan agama-agama
lainnya. Yang terpenting adalah bahwa semua agama sama dan tujuan
peribadatan agama-agama itu adalah satu tujuan, Tuhan Yang Satu.”
Tentang nikah beda agama, dicatat dalam
penelitian ini: “Larangan nikah beda agama menurut Islam Liberal
dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan tuntunan
Al-Quran bahwa Al-Quran mnganut pandangan universal tentang martabat
manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.”
Salah satu kesimpulan dari penelitian di
Yogya ini menyatakan: ‘’Arus perkembangan pemikiran Islam Liberal di
Kota Yogyakarta bermula dari Kampus IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan
Kalijaga) pada dekade tahun 1980-an oleh para dosen dan akademisi kampus
melalui kajian-kajian keislaman yang diikuti oleh para mahasiswa.
Materi hermeneutika dan pemikiran orientalis barat sudah menjadi kajian
resmi di UIN Sunan Kalijaga. Hermeneutika dianggap sebagai sebuah
kebenaran yang harus disampaikan kepada umat.’’
Itulah beberapa contoh hasil penelitian
Departemen Agama tentang faham liberal keagamaan di Yogyakarta. Membaca
paham yang dikembangkan oleh mereka yang berpaham liberal tersebut, kita
berharap, semoga kita tidak termasuk bagian dari mereka. Mudah-mudahan
umat Islam diselamatkan dari fitnah yang disebarkan oleh mereka. Sebab,
tentulah musibah besar, jika dari kampus yang berlabel Islam dan
bernaung di bawah Departemen Agama justru lahir dan disebarkan
paham-paham yang secara jelas sangat destruktif terhadap aqidah dan
syariat Islam.
Jika ada yang menyatakan semua agama
sama, semua manusia boleh menyembah tuhan apa saja, boleh melakukan
ritual dengan cara apa saja, maka apa yang masih bisa kita komentari
dari pernyataan yang amat sangat bodoh dan keterlaluan dalam melecehkan
Allah itu ? Untuk menghadap kepala sekolah saja ada aturannya. Untuk
menemui George Bush pun ada aturannya. Lalu, kaum Liberal mengatakan,
untuk menghadap Allah boleh dan sah dengan menggunakan cara apa saja!
Bukankah ini sangat keterlaluan? Tapi itulah mereka. Kita tentu tidak
setuju dengan pendapat itu. Kita meyakini, Allah telah mengutus
utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, untuk menjelaskan
kepada kita, siapa Allah sebenarnya, sifat-sifat dan nama-Nya, dan juga
bagaimana cara kita menyembah Allah SWT dengan benar.
Maka, jika seseorang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, sangatlah mustahil dia dapat mengenal dan menyembah Allah dengan benar. Karena itulah, syahadat adalah rukun islam yang pertama dan pintu gerbang untuk masuk Islam.
Maka, jika seseorang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, sangatlah mustahil dia dapat mengenal dan menyembah Allah dengan benar. Karena itulah, syahadat adalah rukun islam yang pertama dan pintu gerbang untuk masuk Islam.
Maka, membaca hasil penelitian Depag ini,
kita semakin jelas melihat, di mana sebenarnya posisi Islam Liberal!
Tentu kita berharap, Depag akan sangat serius menangani masalah ini.
Apalagi, jika gagasan itu disebarkan oleh lembaga atau pegawai-pegawai
yang ada di bawah naungannya. Wallahu a’lam. [Depok, 17 November
2006/www.hidayatullah.com].