Home » » Latarbelakang Terjadinya Konflik di Lampung Selatan

Latarbelakang Terjadinya Konflik di Lampung Selatan

Written By Unknown on Senin, 04 November 2013 | Senin, November 04, 2013

Mengapa konflik bisa meletus di Lampung Selatan yang dikenal oleh banyak orang sebagai “pelangi khatulistiwa”? Apakah karena beragamnya etnis yang selama ini hidup berdampingan secara harmonis di wilayah tersebut? Mengapa tak lama berselang dari konflik komunal tersebut, muncul lagi tawuran antarwarga yang lagi-lagi membawa isu etnis ke permukaan? Apa benar perbedaan etnis menjadi satu-satunya alasan di balik terlukanya kehidupan keberagaman di Lampung Selatan? Banyak pertanyaan, sekaligus kekhawatiran, yang muncul ketika kita dihadapkan pada situasi konflik komunal yang semakin marak di bumi pertiwi akhir-akhir ini. Konflik di Lampung hanya salah satu dari rentetan peristiwa berdarah di tanah air yang mengangkat isu-isu primordial seperti etnis, agama, kekerabatan, sebagai penyebab konflik. penulis akan sedikit mencoba mengurai benang kusut yang terdapat dalam peristiwa konflik balinuraga di Lampung Selatan dengan memakai pendekatan analisis konflik.

Prof. Mochtar Mas’oed (http://setyowatidwi.wordpress.com/2012/11/30) menyatakan bahwa sebenarnya bentrok antar warga di Lampung Selatan pada 28-29 Oktober 2012 adalah bagian tak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya yang kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya memiliki akar persoalan yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok etnis. Konflik-konflik sebelumnya terkait persoalan transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) hingga tambak udang, sebenarnya masih menyimpan persoalan yang belum tuntas sehingga konflik sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Di sinilah pentingnya kita melihat kembali faktor sejarah dan sosiologis di balik konflik. Di masa lalu, politik etis Belanda meliputi program irigasi, edukasi dan transmigrasi. Hal ini mendorong terjadinya proses state building dan akumulasi kapital sekaligus perubahan demografi. Perubahan itulah yang menjadi salah satu penyebab gesekan antara warga asli dengan pendatang. Terlebih lagi ketika pendatang mengungguli warga asli dalam hal ekonomi. Kecemburuan sosial dan ekonomi ini memunculkan sikap defensif sebagai “putra daerah”.
Samsu Rizal Panggabean (Ibid.) menilai terulangnya konflik Lampung menunjukkan kegagalan dari pemerintah khususnya aparat keamanan untuk mencegah terjadinya konflik. Terlebih, telah diketahui bahwa konflik rawan terulang kembali. Penanganan konflik harus lebih serius lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, polisi dan tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah insiden-insiden sebelumnya. Aparat keamanan gagal menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas. Yang terjadi bukan pembiaran tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap awal konflik. Masyarakat di daerah yang rawan konflik juga dinilai tidak memiliki mentalitas pencegahan. Yang ada adalah mentalitas pendekatan penanggulangan penindakan ketika kekerasan terjadi atau sesudahnya. Untuk kabupaten yang memiliki banyak indikator konflik, termasuk insiden dan kekerasan yang berulang seperti di Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat. Pengalaman berulangnya konflik seperti di Lampung Selatan ini menunjukkan rekam jejak polisi, militer dan pemerintah yang tidak bagus dalam menanggulangi kekerasan yang sebelumnya terjadi.
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda yaitu kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan kelompok masyarakat pendatang beretnis Bali. Sebenarnya, etnis Lampung sebagai “suku asli” ternyata bukanlah mayoritas dari segi jumlah. Kelompok etnis Jawa yang pendatang justru menjadi mayoritas. Etnis Bali termasuk minoritas di kalangan masyarakat Lampung Selatan sebagaimana yang ditulis dalam berbagi laporan media mengenai peristiwa tersebut.
Selain dua kelompok yang berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut. Yang pertama adalah pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang mencuat, kebijakan bupati dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif menjadi faktor pendorong dan pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa kasus, aparat pemerintahan seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian dari konflik alih-alih menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian dan militer yang berada di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator tetapi juga untuk menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada dan baru datang kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan anak-anak dan remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan, masyarakat setempatlah yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian upaya rekonsiliasi.
Selain itu, faktor-faktor di balik muncul dan berkembangnya konflik yang ada terdiri dari faktor akar atau root causes yang seringkali tidak tampak di permukaan namun sangat menentukan. Beberapa kerusuhan berdarah yang terjadi di Indonesia dapat dijelaskan dengan kerangka kesenjangan ekonomi atau perbedaan penguasaan atas akses sumber daya ekonomi. Kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di Sampit Kalimantan misalnya, bukan hanya disebabkan bangkitnya identitas kelompok tetapi juga disuburkan oleh tersisihnya etnis Dayak dari penguasaan politik-ekonomi selama puluhan tahun. Konflik Lampung Selatan juga dapat diteropong dengan kerangka tersebut. Ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara etnis lokal dan pendatang sangat mungkin menyuburkan potensi konflik akibat perbedaan etnis di wilayah tersebut.
Kelompok masyarakat etnis Bali di Lampung Selatan sebagai penguasa sektor ekonomi transportasi dan komunikasi, sebagaimana laporan beberapa media, adalah terbesar kedua di Kabupaten Lampung Selatan. Sementara kelompok asli Lampung “hanya” menjadi penonton dari kemajuan pesat perkembangan perekonomian kelompok masyarakat keturunan Bali, menjadi wong cilik yang bekerja di beragam sektor ekonomi. Kecemburuan sosial berbasis ekonomi inilah yang dapat diduga sebagai akar konflik yang ada tersebut. Akar konflik biasanya merupakan ketimpangan-ketimpangan, deprivasi, ataupun kesenjangan yang terjadi secara mendalam, terstruktur dan terinternalisasi di dalam tubuh masyarakat, tidak terlihat dan bahkan seringkali terabaikan. Adapun faktor pendorongnya adalah relasi antar masyarakat yang semakin renggang karena bergesernya tradisi hidup bersama menjadi individualistis, bergesernya tradisi generasi lama yang berupaya menciptakan harmonisasi hidup bersama menjadi tradisi generasi baru yang lebih mengedepankan cara pandang egosentris sehingga mudah terluka dan marah ketika kelompok atau anggota kelompoknya terganggu. Faktor pemicu dalam konteks konflik Lampung Selatan adalah beragam insiden-insiden kecil yang menyulut bara kecemburuan sosial-ekonomi.
Selain itu, pergolakan sosial di Lampung Selatan awalnya lebih karena persoalan tanah atau lahan perkebunan. Namun, kini pemicunya adalah insiden-insiden kecil yang cenderung merupakan hal-hal sepele. Insiden Napal dipicu perebutan lahan parkir. Kasus Way Panji karena kenakalan remaja di mana dua gadis Agom pengendara sepeda motor dihadang pemuda Balinuraga bersepeda hingga mereka jatuh. Mengapa persoalan sepele bisa meletup menjadi masalah besar yang meresahkan seluruh kawasan?
Menurut Syafarudin dari Universitas Lampung (harian Lampung Post pada tanggal 29 oktober 2012), konflik yang pernah ada selama ini tidak pernah ditangani secara tuntas, implementasinya rendah dan tidak maksimalnya peran pranata yang ada, khususnya pemerintah lokal yang seharusnya dekat dengan masyarakat dan mengayomi. Pemerintah lokal harus menjadi fasilitator dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pemimpin harus hadir di tengah rakyat sehingga ketika ada letupan sekecil apapun, dapat menjadi tokoh yang didengar dan mau mendengarkan serta disegani.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konflik yang penuh dengan kekerasan di Lampung Selatan adalah sebuah rangkaian dari kekerasan struktural berupa kesenjangan ekonomi, dimana pada satu sisi ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur penguasaan sumber daya ekonomi yang ada dan di sisi lain ada kelompok yang tersisihkan, serta kekerasan kultural berupa perbedaan etnis yang “melegitimasi” bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Tanpa upaya memutus mata rantai segitiga kekerasan ini, konflik-konflik akan terus bermunculan, sewaktu-waktu tanpa pernah dapat diduga.
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin