Mengapa konflik bisa meletus di
Lampung Selatan yang dikenal oleh banyak orang sebagai “pelangi khatulistiwa”?
Apakah karena beragamnya etnis yang selama ini hidup berdampingan secara
harmonis di wilayah tersebut? Mengapa tak lama berselang dari konflik komunal
tersebut, muncul lagi tawuran antarwarga yang lagi-lagi membawa isu etnis ke
permukaan? Apa benar perbedaan etnis menjadi satu-satunya alasan di balik
terlukanya kehidupan keberagaman di Lampung Selatan? Banyak pertanyaan,
sekaligus kekhawatiran, yang muncul ketika kita dihadapkan pada situasi konflik
komunal yang semakin marak di bumi pertiwi akhir-akhir ini. Konflik di Lampung
hanya salah satu dari rentetan peristiwa berdarah di tanah air yang mengangkat
isu-isu primordial seperti etnis, agama, kekerabatan, sebagai penyebab konflik.
penulis akan sedikit mencoba mengurai benang kusut yang terdapat dalam
peristiwa konflik balinuraga di Lampung Selatan dengan memakai pendekatan
analisis konflik.
Prof. Mochtar Mas’oed (http://setyowatidwi.wordpress.com/2012/11/30)
menyatakan bahwa sebenarnya bentrok antar warga di Lampung Selatan pada 28-29
Oktober 2012 adalah bagian tak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya
yang kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya memiliki akar persoalan
yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok etnis. Konflik-konflik
sebelumnya terkait persoalan transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) hingga
tambak udang, sebenarnya masih menyimpan persoalan yang belum tuntas sehingga
konflik sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Di sinilah pentingnya kita melihat
kembali faktor sejarah dan sosiologis di balik konflik. Di masa lalu, politik
etis Belanda meliputi program irigasi, edukasi dan transmigrasi. Hal ini
mendorong terjadinya proses state building dan akumulasi kapital sekaligus
perubahan demografi. Perubahan itulah yang menjadi salah satu penyebab gesekan
antara warga asli dengan pendatang. Terlebih lagi ketika pendatang mengungguli
warga asli dalam hal ekonomi. Kecemburuan sosial dan ekonomi ini memunculkan
sikap defensif sebagai “putra daerah”.
Samsu Rizal Panggabean (Ibid.)
menilai terulangnya konflik Lampung menunjukkan kegagalan dari pemerintah
khususnya aparat keamanan untuk mencegah terjadinya konflik. Terlebih, telah
diketahui bahwa konflik rawan terulang kembali. Penanganan konflik harus lebih
serius lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, polisi dan
tokoh masyarakat di Lampung Selatan setelah insiden-insiden sebelumnya. Aparat
keamanan gagal menurunkan ketegangan dan mencegah kekerasan karena intervensi
dilakukan ketika konflik sudah hampir meluas. Yang terjadi bukan pembiaran
tetapi kegagalan mencegah kekerasan pada tahap awal konflik. Masyarakat di
daerah yang rawan konflik juga dinilai tidak memiliki mentalitas pencegahan.
Yang ada adalah mentalitas pendekatan penanggulangan penindakan ketika
kekerasan terjadi atau sesudahnya. Untuk kabupaten yang memiliki banyak
indikator konflik, termasuk insiden dan kekerasan yang berulang seperti di
Lampung Selatan, pencegahan harus menjadi pendekatan utama pemerintah, aparat
keamanan dan masyarakat. Pengalaman berulangnya konflik seperti di Lampung Selatan
ini menunjukkan rekam jejak polisi, militer dan pemerintah yang tidak bagus
dalam menanggulangi kekerasan yang sebelumnya terjadi.
Konflik yang terjadi di Lampung
Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda yaitu kelompok
masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan kelompok masyarakat pendatang
beretnis Bali . Sebenarnya, etnis Lampung
sebagai “suku asli” ternyata bukanlah mayoritas dari segi jumlah. Kelompok
etnis Jawa yang pendatang justru menjadi mayoritas. Etnis Bali termasuk
minoritas di kalangan masyarakat Lampung Selatan sebagaimana yang ditulis dalam
berbagi laporan media mengenai peristiwa tersebut.
Selain dua kelompok yang
berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut. Yang pertama adalah
pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang mencuat, kebijakan bupati
dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif menjadi faktor pendorong dan
pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa kasus, aparat pemerintahan
seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian dari konflik alih-alih
menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian dan militer yang berada
di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator tetapi juga untuk
menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada dan baru datang
kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan anak-anak dan
remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan, masyarakat setempatlah
yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian upaya rekonsiliasi.
Selain itu, faktor-faktor di
balik muncul dan berkembangnya konflik yang ada terdiri dari faktor akar atau
root causes yang seringkali tidak tampak di permukaan namun sangat menentukan.
Beberapa kerusuhan berdarah yang terjadi di Indonesia dapat dijelaskan dengan
kerangka kesenjangan ekonomi atau perbedaan penguasaan atas akses sumber daya
ekonomi. Kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di Sampit Kalimantan
misalnya, bukan hanya disebabkan bangkitnya identitas kelompok tetapi juga
disuburkan oleh tersisihnya etnis Dayak dari penguasaan politik-ekonomi selama
puluhan tahun. Konflik Lampung Selatan juga dapat diteropong dengan kerangka
tersebut. Ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara etnis lokal dan
pendatang sangat mungkin menyuburkan potensi konflik akibat perbedaan etnis di
wilayah tersebut.
Kelompok masyarakat etnis Bali
di Lampung Selatan sebagai penguasa sektor ekonomi transportasi dan komunikasi,
sebagaimana laporan beberapa media, adalah terbesar kedua di Kabupaten Lampung
Selatan. Sementara kelompok asli Lampung “hanya” menjadi penonton dari kemajuan
pesat perkembangan perekonomian kelompok masyarakat keturunan Bali ,
menjadi wong cilik yang bekerja di beragam sektor ekonomi. Kecemburuan sosial
berbasis ekonomi inilah yang dapat diduga sebagai akar konflik yang ada
tersebut. Akar konflik biasanya merupakan ketimpangan-ketimpangan, deprivasi,
ataupun kesenjangan yang terjadi secara mendalam, terstruktur dan
terinternalisasi di dalam tubuh masyarakat, tidak terlihat dan bahkan
seringkali terabaikan. Adapun faktor pendorongnya adalah relasi antar
masyarakat yang semakin renggang karena bergesernya tradisi hidup bersama
menjadi individualistis, bergesernya tradisi generasi lama yang berupaya menciptakan
harmonisasi hidup bersama menjadi tradisi generasi baru yang lebih
mengedepankan cara pandang egosentris sehingga mudah terluka dan marah ketika
kelompok atau anggota kelompoknya terganggu. Faktor pemicu dalam konteks
konflik Lampung Selatan adalah beragam insiden-insiden kecil yang menyulut bara
kecemburuan sosial-ekonomi.
Selain itu, pergolakan sosial di
Lampung Selatan awalnya lebih karena persoalan tanah atau lahan perkebunan.
Namun, kini pemicunya adalah insiden-insiden kecil yang cenderung merupakan
hal-hal sepele. Insiden Napal dipicu perebutan lahan parkir. Kasus Way Panji
karena kenakalan remaja di mana dua gadis Agom pengendara sepeda motor dihadang
pemuda Balinuraga bersepeda hingga mereka jatuh. Mengapa persoalan sepele bisa
meletup menjadi masalah besar yang meresahkan seluruh kawasan?
Menurut Syafarudin dari
Universitas Lampung (harian Lampung Post pada tanggal 29 oktober 2012), konflik
yang pernah ada selama ini tidak pernah ditangani secara tuntas,
implementasinya rendah dan tidak maksimalnya peran pranata yang ada, khususnya
pemerintah lokal yang seharusnya dekat dengan masyarakat dan mengayomi.
Pemerintah lokal harus menjadi fasilitator dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Pemimpin harus hadir di tengah rakyat sehingga ketika ada
letupan sekecil apapun, dapat menjadi tokoh yang didengar dan mau mendengarkan
serta disegani.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa konflik yang penuh dengan kekerasan di Lampung Selatan adalah sebuah
rangkaian dari kekerasan struktural berupa kesenjangan ekonomi, dimana pada
satu sisi ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur penguasaan sumber daya
ekonomi yang ada dan di sisi lain ada kelompok yang tersisihkan, serta
kekerasan kultural berupa perbedaan etnis yang “melegitimasi” bentuk-bentuk kekerasan
lainnya. Tanpa upaya memutus mata rantai segitiga kekerasan ini,
konflik-konflik akan terus bermunculan, sewaktu-waktu tanpa pernah dapat
diduga.