Home » » Sebuah Catatan Demokratisasi

Sebuah Catatan Demokratisasi

Written By Unknown on Kamis, 21 Maret 2013 | Kamis, Maret 21, 2013


Saatnya Balik Modal



Pilkada NTT yang mengikutsertakan lima paket calon gubernur dan wakil gubernur sudah berakhir. Masyarakat sedang menanti hasil perhitungan suara oleh KPUD NTT. Gelombang wacana muncul ketika jedah informasi perhitungan suara. Deru 'satu putaran' terdengar kuat. Perolehan sementara, Pasangan Frans Lebu Raya - Benny Litelnony berada di atas puncak, 38,18%. Disusul peket Eston - Paul 25,99% dan paket Tunas 23,87%. Paket Cristal dan BHK - Nope masing - masing memperoleh 7,10% dan 6,86% .


Terlepas dari proses pilkada NTT yang sudah dilaksanakan dan hasil sementara yang sudah diperoleh, ada sebuah catatan penting yang perlu disoroti dalam kaitannya dengan dinamika demokratisasi di propinsi Komodo ini.


Begini, pegang jabatan adalah saatnya balik modal. Pengorbanan dan kerja keras selama proses menuju kursi gubernur selalu 'dibayar' mahal. Ongkos demokrasi membutuhkan uang. Kita coba melihat mulai dari pendaftaran orang, paket dan pasangan ke partai politik. Tidak sedikit biaya yang dikucurkan untuk partai. Proses kampanye dan pendidikan politik pun berjalan dengan dukungan dana yang tidak sedikit. Lihat saja, paket tertentu saat kampanye di sebuah kota bisa 'membeli' massa (bayar tukang ojek) dengan total puluhan juta. Itu baru satu kota. Baru satu pos pengeluaran. Ini uang pribadi calon, sumbangan simpatisan dan atau donatur, bukan soal. Yang paling subtansial adalah mahalnya demokrasi. Mahalnya pemilukada. Dan mahalnya ongkos perjalanan menuju NTT-1. Di sini prinsip jual-beli berlaku. Ada uang ada kuasa. Ada uang anda bisa menjadi calon dan berhak membawa bendera partai tertentu. Nah, saat berkuasa adalah saat mengumpulkan uang dan masuk ke kantong pribadi, selebihnya ke partai dan 'balas jasa' donatur. Paling tidak bisa kembali modal. Dalam bahasa yang lebih santun, 'break even point'. Dan istilah 'balas jasa' donatur bisa berarti banyak. Salah satunya adalah meloloskan izin usaha tambang. Ini bukan rahasia lagi.


Lebih lanjut, bukan tidak mungkin partai politik yang mendukungnya pasti minta 'jatah'. Kalkulasi 'persen-persenan' pun mulai ramai berkeliaran walau tak tampak. Inilah ongkos demokrasi yang mahal. Mahalnya menjadi pemimpin. Bisa jadi, ini juga menjadi penyebab merajalelanya korupsi.


Nah, bagaimana dengan NTT? Semoga tidak demikian. Jokowi, setelah acara pelantikannya sebagai gubernur DKI Jakarta mengatakan, "pemimpin adalah pelayan".
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin