Home » » KASUS KORUPSI SANG JENDRAL

KASUS KORUPSI SANG JENDRAL

Written By Unknown on Kamis, 21 Maret 2013 | Kamis, Maret 21, 2013


Pembalikan Beban Pembuktian Untuk Sang Jenderal dan Bayang-Bayang Kemiskinan

Kasus Jendral Djoko Susilo menjadi salah satu yang sangat sering dibahas oleh rekan-rekan media. Tidak hanya besarnya  aset yang ia miliki atau istri-istrinya yang secara kontroversial memiliki sebagian harta-hartanya, namun masyarakat mulai familiar dengan kata-kata "pembuktian terbalik."


Pada tayangan sentilan-sentilun di Metro TV senin malam kemarin, salah seorang pengisi acara tersebut menanyakan apa itu pembuktian terbalik? Apakah buktinya dibalik-balik? Atau memeriksanya dibalik? Tergelitik dari monolog tersebut, maka saya mencoba memberikan sedikit gambaran saya terhadap pembuktian terbalik yang dimaksud dalam konteks kasus Jendral Djoko Susilo.


Pembuktian secara umum dikenal di dalam disiplin ilmu hukum. Pembuktian memiliki pengertian dasar sebagai proses bagaimana alat-alat bukti suatu kejahatan dipergunakan, diajukan, dan/atau dipertahankan mengaju pada hukum positif yang berlaku di dalam wilayah hukum tertentu. Pembuktian ini sendiri memiliki sistem yang  berlaku padanya. Sistem tersebut menjadi pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang dipergunakan, penguraian alat-alat bukti dan bagaimana alat-alat itu dipergunakan dan dengan bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.


Sebelum melihat dan mengenali apa itu pembuktian terbalik yang sedang dibicarakan banyak pihak, mari sendikit mengenali pembuktian-pembuktian yang umum ada di dalam teori dan praktiknya.


Pertama, adalah conviction-intime. Yahya Harahap mengatakan yang dimaksud denganconviction-in time adalah sistem pembuktian yang menentukan salah atau tidaknya seseorang berdasarkan penilaian keyakinan hakim. Hakim dapat menarik kesimpulan-kesimpulan dari manapun asalnya, karena sistem ini tidak mempermasalahkan hal tersebut. sistem ini tentu secara jelas memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, misalnya seperti bagaimana hakim hanya bermodalkan keyakinannya  yang mungkin saja tidak optimal dalam melakukan vonis atau hakim akan dapat dengan mudah juga untuk membebaskan seorang terdakwa dengan dalil keyakinan hakim. Pada intinya pembuktian dengan sistem ini, meskipun seseorang terdakwa sudah memiliki cukup bukti bahwa ia bersalah, hakim dapat mengenyampingkannya dan menggunakan keyakinannya untuk memutus. Juga sebaliknya, apabila seorang terdakwa di dalam persidangan tidak cukup bukti menunjukan ia bersalah, hakim tetap dapat menghukumnya dengan mengenyampingkan fakta bahwa hal tersebut tidak cukup bukti.


Sistem pembuktian tersebut seperti menyerahkan nasib seorang terdakwa kepada hakim, sehingga keyakinan hakim tersebut yang menjadi perwujudan kebeneran sejati dalam pembuktiannya.


Kedua, adalah conviction-raisonee. Teori pembuktian yang kedua ini dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya pembuktian dengan mengkombinasikan keyakinan hakim (conviction- intime) namun hakim harus memberikan alasan-alasan yang rasional dan dapat diterima. Keyakinan hakim yang di dalam conviction-intime bebas, dibatasi di sini dengan alasan-alasan yang jelas. Menurut Yahya Harahap di dalam bukunya pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa hakim tersebut memiliki kebebasan yang harus disertai dengan alasan/ reason yang reasonable. Artinya alasan dapat diterima.


Pembuktian berdasarkan undang-undang yang berlaku secara positif. Ketiga. Dengan adanya aturan di dalam undang-undang, maka pembuktian bergantung pada alat-alat bukti yang sah. Apabila syarat-syarat dan ketentuan pembuktian telah terpenuhi, maka dapat diputus merujuk kesemuanya, dan hakim tidak lagi mempertanyakan dari mana keputusan itu dapat disimpulkan. Hakim dituntut mencari kebenaran dengan menjalankan sistem dan aturan yang sudah ada. Penjatuhan hukuman berdasarkan hukum, menurut Yahya Harahap ini salah satu cara yang tepat, karena tidak semata-mata mempercayakan nasib seorang terdakwa pada keyakinan hakim saja. Keyakinan hakim berpotensi untuk menyimpang jauh dari tujuan etis hukum yaitu keadilan.


Terakhir ada pembuktian secara negatif. Pembuktian yang menggabungkan antara keyakinan hakim dan pembuktian postif. Dapat dipahami secara sederhana, pembuktian ini mengedepankan keyakinan hakim dalam pembuktian dan harus sesuai dengan alat-alat bukti yang sah sesuai undang-undang. Pembuktian ini saling melengkapi dan menyempurnakan metode pembuktian. Pembuktian menggunakan alat-alat bukti yang sah dan disertai 'keyakinan' hakim.

Bagaimana dengan pembuktian yang akan dilakukan di dalam kasus-kasus pencucian uang di Indonesia? Apakah pencucian uang menggunakan bentuk pembuktian yang sama seperti yang dijelaskan di atas? 


Berbeda dengan pembuktian pada umumnya oleh Jaksa Penuntut Umum, terkait kasus pencucian uang ada pengecualiannya.


Pasal 77 Undang-undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa "Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana."


Pertanyaanya, mengapa terdakwa harus membuktikan seluruh aset kepunyaanya sendiri bukan merupakan hasil tindak pidana? Apakah artinya terdakwa harus membuktikan sendiri tiap-tiap aset yang disita atas nama hukum didapatnya secara sah dan legal di depan pengadilan?


Benar adanya bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memunculkan sebuah sistem pembuktian yang lain, yaitu reverse burden of proof (pembalikan beban pembuktian), yang secara khusus diberlakukan untuk tindak pidana pencucian uang. Beban pembuktian dalam konteks "pembalikan beban pembuktian" diberikan kepada setiap terdakwa kasus pencucian uang untuk membuktikan sebaliknya dimuka persidangan. ".......terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana" (Pasal 77 UU No.8 PP TPPU) atau berlaku asas "Praduga bersalah" (Presumption of Guilty) artinya tiap-tiap terdakwa dianggap telah menguasai harta-harta yang berasal dari tindak kejahatan seperti yang juga sudah diuraikan dalam Pasal 2 UU No.8 PP TPPU.


Tidak salah apabila KPK melakukan penyitaan atas aset-aset kepunyaan Jendral Djoko Susilo sebagai upaya penyelamatan dan pengamanan bukti-bukti yang akan dibawa ke muka persidangan untuk dibuktikan oleh terdakwa. Apabila seluruh aset yang secara langsung atau pun tidak dengan terdakwa tidak disita, maka hal yang jamak terjadi pada kasus serupa adalah dialihkan kepemilikannya, bentuk, dan wilayah jurisdiksinya (misalnya melalui transfer dana ke luar negeri). Selain itu, terkait dengan kepemilikan aset-aset Jendral Djoko Susilo yang diatasnamakan orang lain ( dalam hal ini istri-istrinya, kerabat dan koleganya) tetap disita, karena mungkin saja aset-aset tersebut memang disembunyikan di balik nama-nama orang lain atas perjanjian pinjam nama (nominee arrangement), sehingga Jendral Djoko Susilo harus membuktikannya juga.


Pasal 78 ayat (1) UU No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan "Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)."


Apabila diperhatikan dari unsur-unsur dan uraian pasal tersebut, pembalikan beban pembuktian masih dalam kepentingan untuk pemeriksaan di sidang pengadilan dan hanya seputar asal-usul atau sumber dari aset-aset yang dimilikinya. Sedangkan pembuktian terhadap tindak pidananya atau pencucian uangnya, pembuktiannya tetap harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum tiap-tiap unsurnya. Dalam yurisprudensi putusan pengadilan atas kasus-kasus terdakwa Bahasyim Assiffie, Wa Ode, dan terpidana pencucian uang lainnya, apabila mereka tidak dapat membuktikan asal-usul aset-aset yang mereka miliki, semakin memperkuat dakwaan jaksa penuntut umum dan juga memberikan keyakinan hakim untuk memutus bersalah perkara tersebut. Jendral Djoko Susilo harus siap membuktikan satu persatu aset yang telah disita KPK dan membuktikan kepemilkan sah dan legalnya.


Ditekankan dalam Pasal 78 ayat (2) "Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup." bahwa terdakwa musti mengajukan alat bukti yang cukup atas kepemilikan aset-aset agar tidak dirampas untuk dikembalikan pada pemilik sahnya atau dirampas untuk negara.


Maka babak baru bagi tersangka kasus korupsi simulator SIM dan Pencucian Uang, Jendral Djoko Susilo akan segera masuk ke dalam babak baru. Nantikan saja akan kemana kasus ini bergulir. Bila Djoko Susilo tidak dapat membuktikan seluruh kepemilikan aset tersebut diperoleh melalui cara yang sah dan legal menurut hukum, dan bukan dari sumber-sumber yang halal, maka ancaman pemiskinannya secara drastis telah menanti. Dan kurungan penjara akan menghantuinya.

Ryan Eka Permana Sakti | Peneliti pada Indonesian Research Center for Anti-Money Laundering and Combating Financing of Terrorism | FH UI 2009 | Aktivis SerambiFHUI
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin