?Sini, Pak! Sini..,? kuminta suamiku duduk mendekat agar
kami tidak ketetesan air hujan. Petang ini, kami sedang berada di terminal
kampung Rambutan. Sebuah terminal yang sudah tidak asing lagi di pendengaran
kita. Terminal yang bisa dibilang begitu ?? kumuh!! Tapi dibalik semua itu
harus diakui bahwa ratusan keluarga menggantungkan hidupnya di sana .
Kunikmati sesendok demi sesendok lontong kari dihadapanku.
Kulihat suamiku pun demikian, sangat menikmati tahu campur kesukaannya.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada pemandangan unik didepanku. Si Ibu penjual tahu
campur sedang tidur mengeloni anaknya, bocah laki-laki berumur lebih kurang 3
tahunan. Seringkali tetesan air hujan jatuh tepat di dahinya. Si ibu yang
begitu cepat tertidur pulas, tak tahu kalau air hujan nakal itu telah
mengganggu buah hatinya.
Aku langsung teringat pada Karim, putra kami. Dalam keadaan
seperti itu si Ibu masih tetap dapat mendampingi putranya, sementara aku?
?Sekarang dia sedang apa ya, Pak?? tanyaku mengejutkan suamiku. ?Siapa? Karim??
tebak suamiku yakin. ?Kenapa, Ibu ingat dia? Sabar, ya Bu. Dia pasti juga ingat
Ibu,? hiburnya, membuatku tak bisa menahan air mata. ?Pak, Ibu kangen dia,?
ujarku lirih. Untuk pertama kalinya kutinggal anakku sendiri di Bandung , hanya ditemani
pengasuhnya. Kami harus datang ke kota
metropolitan ini, demi karirku. Dan suamiku rela cuti, hanya untuk mengantarku.
?Tidak baik Ibu pergi sendiri, walaupun untuk urusan kerja. Biarlah besok Bapak
antar. Bapak masih punya jatah cuti, kok!? kata-kata suamiku tadi malam masih
terngiang-ngiang di telingaku. Allah?terangilah selalu hati hamba-Mu ini agar
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Agar keegosian hati tidak
menjebak hamba.
Kembali kulihat ibu dan anak yang sekarang masih tertidur
pulas. Hujan sudah mulai reda. Kami berniat segera pulang. Jam telah
menunjukkan pukul tujuh malam. ?Sudah, Pak,?kataku pada Bapak yang menunggu
kaki lima ini,
mungkin suami si Ibu. ?Maaakk! Udah tuh!? teriakannya mengagetkan si Ibu.
Cepat-cepat Si Ibu bangun dan mengatakan harga dua piring dan dua gelas yang
telah kami habiskan. Si kecil pun ikut terbangun. Sambil duduk dia balik
memainkan air hujan yang menggenang di dekatnya. Dasar anak-anak. Sepertinya
mereka tidak peduli dan bahkan tidak pernah menuntut kehidupan yang lebih baik
dari yang sedang mereka jalani. Apapun yang terjadi pada mereka? bagaimana pun
kondisi mereka? mereka akan selalu menikmatinya. Setelah kubayar jumlah yang
disebutkan, kami pun beranjak pergi.
Setengah berlari, kami menuju tempat bus antar propinsi dan
berebut dengan penumpang lainnya. Bus Patas AC ini tak enghilangkan penat yang
kami rasakan. Belum lagi rasa bersalah yang memenuhi dadaku. Sengaja atau tidak
aku telah memaksa suamiku meninggalkan tumpukan tugas kantornya. Juga telah
menelantarkan anakku?membiarkannya semalam bersama orang lain. Tanpa suara
lantunan ayat suci dan dendangan sholawatku yang biasa mengantar tidurnya.
?Maafkan Ibu, Pak,? ucapku sambil bersandar di pundak suamiku disambut dengan
elusan tangannya di punggung tanganku. Selanjutnya, kubaca Al Fatihah dan
kukirim khusus buat buah hatiku?sekedar mengurangi rasa bersalah ini.
Kami tiba di rumah pukul satu tepat. Karim sudah
pulas?sendirian. Wajah tanpa dosanya membuat air mataku kembali deras mengalir.
Maafkan Ibu, Sayang. Kucium dahi bocahku. Besok, Insya Allah tepat sebelas
bulan usianya. Dan sampai hari ini aku masih tetap sibuk, bukan mengurusnya
tapi mengurus pekerjaanku, mengejar karirku. Allahu robbi.
?Selamat, Mbak Fati. Saya dengar presentasi Mbak kemarin
sukses!? sambut Ine, teman seruanganku membuatku terkejut. ?Maaf, Ne. Saya
terlambat. Si Adek (panggilanku untuk Karim) tidurnya pulas. Baru bangun jam
tujuh tadi, jadi Saya menunggunya. Maklum, kemarin kan tidak ketemu seharian. Saya kangen,
eui!? kataku sambil tersenyum. ?Pak Bos sepertinya paham kok, Mbak. Barusan,
rekanan kita yang di Jakarta
telpon pada beliau dan mengatakan bahwa presentasi Mbak membuat mereka
tertarik. Hasilnya, order dalam jumlah besar dan dalam waktu dekat!!? kata Ine
berapi-api. ?Pesan Direktur, begitu sampai Mbak diharap segera menghadap.
Sepertinya Beliau ingin menyampaikan selamat secara langsung pada Mbak,?
lanjutnya.
Sekarang, sudah tiga bulan sejak peristiwa itu. Aku masih
berkutat dengan pekerjaanku yang dinilai cukup sukses oleh tim manajemen.
Kemarin, Direktur memanggilku. Aku dipromosikan untuk sebuah jabatan baru.
Imbalan yang ditawarkan cukup memikat. Bahkan kalau boleh jujur, jauh lebih
tinggi dari gaji suamiku. Sebuah tawaran yang sempat membuatku bimbang. Dan aku
minta waktu dua hari untuk memikirkannya. ?Terima saja, Fati. Dengan gaji
sebesar itu, impian kalian akan segera terwujud. Rumah.. bahkan mobil mewah!!
Putramu akan menjadi anak orang kaya. Segala yang dimintanya dapat kalian
penuhi dengan segera. Kalian bisa pergi berlibur, bahkan ke luar negeri!! Dan
yang pasti, kamu juga dapat membantu suamimu meringankan bebannya. Ayo, Fati.
Kesempatan tidak datang dua kali. Ambil kesempatan ini atau kalian tetap akan
seperti sekarang?? ?Jangan Nurul. Uang belum tentu menjamin kebahagiaan. Bisa
jadi kamu akan semakin sering menelantarkan keluargamu. Membiarkan mereka tanpa
kehadiranmu. Dan putramu hanya akan terpenuhi kebutuhan materinya saja.
Sementara, kasih sayang seorang Ibu yang dia butuhkan sulit kamu penuhi. Kamu
mungkin hanya bisa membelikan tanpa pernah mengetahui kapan dia memakainya.
Yang paling menyedihkan adalah jika kemudian dia menjadi lebih dekat dengan
pengasuhnya daripada dengan ibunya.? Batinku mulai berperang. Ya Allah, Bantu
hamba memutuskan yang terbaik. Berilah hamba petunjuk dan hidayah-Mu, Robbi.
Tak terasa hari ini adalah deadline dimana aku harus
memberikan jawaban pada Direkturku. Pagi ini seperti biasa kami berangkat
berdua. Karim melambaikan tangannya saat kami tinggal tadi. Oh, matahariku.
Bersinarlah terus Sayang?Ibu ingin selalu melihat sinarmu dalam setiap helaan
nafas Ibu.
?Karim, sini Nak. Ibu bacakan ceritanya. Karim mau cerita
yang mana?? ?Ni?.,?katanya sambil menunjuk salah satu cerita dari buku serial
Anak Muslim: kisah sebuah tong sampah. Mulailah aku bercerita lengkap dengan
mimik wajah yang sangat disukainya. Bahkan kadang dia menirukan caraku
bercerita saat menceritakan kembali kisah tersebut ke teman bermainnya.
Allah..Subhannallah. Senyumku mengembang, senyum yang tak pernah kurasakan
ketika aku masih sibuk dengan pekerjaanku enam bulan yang lalu.
Memang, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sebuah
keputusan yang disesalkan banyak pihak terutama di tempat aku bekerja. Namun
sekaligus sangat menggembirakan keluargaku. ?Alhamdulillah, Bapak bangga pada
Ibu. Saat di puncak karir, Ibu rela melepaskannya demi keluarga. Bapak memang
tidak salah memilih pendamping hidup dan Ibu dari anak-anak kita.
Alhamdulillah,? kata-kata suamiku masih cukup melekat dibenakku saat aku
ungkapkan keputusanku, pada malam sebelum aku menghadap direkturku. ?Iya Pak.
Ibu iri pada Ibu pedagang kaki lima di terminal kampung rambutan waktu itu,
yang bisa terus bersama putranya. Sementara Ibu hanya bisa memberikan materi
untuk Karim. Padahal kita berdua sangat paham bahwa waktu bersama orang tua
adalah saat yang penting bagi perkembangan anak kita,? sahutku waktu itu.
Alhamdulillah, sekarang aku di rumah. Menunggu suamiku pulang dari kerjanya
sambil menjaga butik kecil yang kurintis enam bulan lalu. Sementara Karim
terlelap setelah mendengar ceritaku. Subhannallah..Alhamdulillah, Ya Allah. Kau
tunjukkan pada hamba jalan ini, gumamku sambil berjalan menuju tempat tidur
bocah kecilku. (Awal Maret-03)