Islam
masuk ke Thailand pada abad ke-10 Masehi melalui para pedagang dari
Jazirah Arab. Penduduk setempat dapat menerima ajaran Islam dengan baik
tanpa paksaan. Kawasan Thailand yang banyak dihuni umat muslim adalah
wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Kantong-kantong muslim di daerah Thailand Selatan ini diantaranya
adalah propinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat dan Songkhla. Di
propinsi-propinsi tersebut, rata-rata dihuni oleh sekitar 70 – 80
persen muslim. Selain itu, umat muslim juga tersebar di beberapa wilayah
lain, seperti di propinsi Pattalung, Krabi, dan Nakorn Srithammarat.
Pattani
adalah salah satu wilayah Thailand yang pernah mengukir sejarah
gemilang kejayaan Islam. Pada abad ke-15, negeri ini menjadi sebuah
negara Islam terbesar di Asia Tenggara dengan nama Kerajaan Islam Pattani Darussalam. Orang
Arab menyebutnya Al Fathoni. Pattani jatuh ke tangan Thailand pada
tahun 1785 setelah kerajaan Thailand mengirimkan intelijen untuk
mencari rahasia kelemahan Pattani. Makar Thailand sangat licik sehingga
akhirnya berhasil meruntuhkan kekuasaan Pattani. Sultan Muhammad, raja
Pattani gugur sebagai syahid di medan pertempuran.
Jumlah
umat Islam di Thailand relatif kecil , yakni sekitar dua persen.
Sumber lain menyebutkan ada sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk
Thailand. Namun demikian mereka terus bertahan dan berusaha berda’wah,
meski dalam serba keterbatasan. Dalam bidang ekonomi mereka jauh
tertinggal oleh para pengusaha Cina yang beragama Budha. Demikian pula
dalam bidang politik, pemerintahan Thailand yang didominasi penganut
Budha sangat meminggirkan umat Islam. Salah satu kebijakan pemerintah
Thailand yang merugikan umat Islam adalah pernah memerintahkan kepada
umat Budha agar menyebar ke daerah selatan Thailand yang dihuni oleh
umat Islam untuk mengimbangi dan menggembosi kiprah umat Islam. Dalih
mereka adalah umat Islam dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai
masalah politik dan sosial. Suatu dalih yang terlalu dibuat-buat dan
sama sekali tidak berdasar fakta.
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Budaya
masyarakat muslim Thailand sangat kental dengan budaya Melayu, karena
memang rumpun Melayulah yang paling menonjol dalam perjalanan panjang
sejarah muslim Thailand sejak abad ke-13. Selain itu, secara geografis,
letak Thailand di bagian selatan berbatasan langsung dengan negeri
jiran Malaysia. Mata pencaharian sebagian besar muslim Thailand adalah
nelayan dan petani. Laut adalah merupakan harta karun bagi mereka.
Kesederhanaan dan kejujuran mereka menjadi modal utama untuk bisa
menciptakan kehidupan yang tenteram dan bahagia.
Fenomena
religius tradisional masih bisa disaksikan di sudut-sudut dusun.
Misalnya, saat kembali pulang kerja dari laut, kebiasaan mereka adalah
membaca Al Qur’an di rumah bersama keluarga. Mereka taat beribadah.
Setiap kali adzan berkumandang, segera mereka bergegas menuju masjid.
Kostum sarung dan sorban merupakan pakaian keseharian mereka.
Rumah-rumah panggung, bilik bambu adalah wajah kesederhanaan mereka. Di
sana terbangun suatu komunitas religius bagaikan sebuah perkampungan
pesantren. Dalam bidang pendidikan, anak–anak muslim memiliki dua
sekolah. Sehari-hari mereka belajar di sekolah pemerintah sekuler
Thailand dan setiap pekan mereka belajar membaca dan memahami Al Qur’an
di sekolah Islam dibimbing oleh para orang tua.
Latar
belakang sejarah wilayah selatan Thailand yang mayoritas muslim sangat
berbeda dengan wilayah utara (Siam) yang mayoritas Budha. Pattani
misalnya, negeri ini tidak merasa menjadi bagian dari Siam, karena baik
secara ideologi, budaya, maupun agama jelas tidak sama. Mereka dipaksa
oleh pemerintah untuk menyatu dalam sebuah negeri Budha tanpa
mendapatkan kompensasai yang layak, bahkan sampai dipasung kebebasannya
untuk melaksanakan ajaran agama Budha. Tentu saja, hal ini menyebabkan
keinginan masyarakat muslim di wilayah selatan untuk melepaskan diri
dari pemerintahan Thailand. Sementara pemerintah Thailand menghadapinya
dengan tindak kekerasan.
Perkembangan
selanjutnya, nama Pattani telah menjadi sebutan bagi seluruh wilayah
muslim di Thailand selatan, tidak lagi menjadi sebuatan sebuah propinsi
di Thailand. Pattani telah menjadi lambang perjuangan umat Islam. Di
negeri ini, berdiri sebuah mesjid yang menjadi lambang Islam, yaitu
Masjid Pintu Gerbang atau disebut juga Masjid Kerisek. Masjid ini di
berada depan pintu gerbang Istana Negara dengan lebar 15,10 meter,
panjang 29,60 meter dan tinggi 6,5 meter. Tentara Thailand pernah
membakar masjid bersejarah ini sebanyak tiga kali, namun hingga
sekarang masih bisa bertahan. Masjid Pintu Gerbang ini menjadi penghulu
masjid-masjid lainnya di Thailand selatan yang jumlahnya sekitar 1.395
(tahun 1987).
Pada tahun 1935
masjid Pintu Gerbang diangkat menjadi situs negara dan dilarang untuk
dijadikan sebagai tempat ibadah. Tentu saja umat Islam tidak mau
menerima keputusan pemerintah tersebut. Berbagai upaya terus dilakukan,
hingga demonstrasi besar-besaran pada tahun 1988 menuntut agar masjid
lambang umat Islam tersebut diizinkan dijadikan tempat ibadah kembali.
Hasilnya, pemerintah memutuskan bahwa masjid tersebut tetap menjadi
situs negara, tetapi boleh dijadikan sebagai tempat ibadah.
Mesjid
lain yang menjadi syiar Islam di Thailand adalah Masjid Shalahudin Al
Ayubi dan Masjid Kulusei. Masjid Shalahudin Al Ayubi adalah sebuah
masjid yang terletak di Nahofi. Arsitektur bangunan masjid ini memiliki
kesamaan dengan masjid Madinah dengan dihiasi menara setinggi
kira-kira 25 meter. Nama Shalahudin Al Ayubi diambil untuk mengenang
kemenangan beliau sebagai panglima Islam dalam Perang Salib pada abad
ke-12 M.
Sedangkan Masjid Kulusei
adalah sebuah masjid yang menyimpan legenda. Masjid ini hingga
sekarang pembangunannya tidak rampung, disebabkan adanya persengketaan
antar keluarga dan antar suku yang cukup serius. Pada abad ke-16 M,
masjid ini dibangun oleh seorang China Budha yang kemudian masuk Islam.
Sebelum masuk Islam, ia pernah bernadzar bahwa jika dirinya masuk
Islam, maka ia akan membangun sebuah masjid. Akhirnya, ia menjadi
seorang muslim yang taat dan mulai membangun masjid yang
dinadzarkannya. Akan tetapi, seorang adik perempuannya yang masih
beragama Budha, sangat tidak senang melihat perubahan pada diri
kakaknya. Sang adik kemudian melakukan berbagai macam cara untuk
menggagalkan rencana kakaknya. Hingga kemudian perseteruan adik-kakak
tersebut berkembang menjadi perseteruan suku. Orang-orang China Budha
di daerah tersebut terkena makar, sehingga merusak dan menghancurkan
masjid tersebut. Hingga kini masjid Kulusei tinggal dinding-dinding
rapuh tanpa atap.
Persengketaan
antara penduduk muslim dan pemerintahan Thailand itu terus memanas
hingga dekade 70-an. Pembunuhan dan berbagai tindak kekerasan lainnya
sering dialami oleh para aktivis Islam. Hal ini menimbulkan munculnya
berbagai organisasi yang berhaluan keras menuntut kemerdekaan Pattani,
seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional
Pembebasan Pattani (BNPP), dan Barisan Revolusi Nasional (BNP).
Akhir-akhir
ini, situasi pertentangan Muslim dan pemerintah Budha Thailand mulai
mereda. Pemerintah telah melakukan beberapa perubahan sikap terhadap
umat Islam dari selalu curiga dan menekan, menjadi lebih terbuka,
bersamaan dengan perubahan iklim demokratisasi Thailand.
Tindakan-tindakan kekerasan telah berkurang dan bahkan umat Islam telah
diikutsertakan dalam pemilu dan juga menempatkan wakilnya secara
proporsional di parlemen.
Namun,
pertentangan masih tetap ada, karena selalu saja ada perbedaan cara
pandang antara kedua pihak. Organisasi-organisasi Islam masih tetap
ada. Sayangnya, di antara mereka terdapat pengelompokan yang
menyebabkan terhambatnya perjuangan Islam di Thailand. Kelompok
modernis memiliki cara perjuangan yang berbeda dengan kalangan
tradisional. Demikian pula kelompok yang berada di antara keduanya.
Memang jalan perjuangan yang terbentang selalu ditaburi oleh
“duri-duri”. Thailand Selatan adalah salah satu sudut dunia Islam yang
mencoba mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dengan menghalau
segala “duri-duri” yang menghadang.
Perkembangan Islam di Thailand Selatan
Melayu
Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian
banyak kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini
bermukim di Tanah Genting Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan
(Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu nama dari
empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya
menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan,
wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia bagian utara,
Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian utara dan
barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala)
dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu
merupakan bagian dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam
prosentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar
5,5% dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha
(Asian Survey, Mei 1998). Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu
Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta kuantitatif tersebut
menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta
menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu
pula, hingga kini, masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan
terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani. Salah satunya ialah
gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.
Dar
al-Islam merupakan gerakan militan yang bertujuan untuk memisahkan
diri dari belenggu ketidakadilan dari pemerintahan Kerajaan Thai
(bangsa Siam / Ayuthaya). Selain itu, buntut dari pelbagai persoalan di
masa lalu yang tak kunjung usai juga menjadi motif gerakan ini untuk
mendeklarasikan negara Islam. Hal ini senada dengan kondisi masyarakat
Melayu Moro di Pulau Mindanao, Filipina bagian Selatan, di mana
sama-sama berkeinginan untuk memisahkan dari cengkraman negara
induknya, Filipina.
Bila menilik
dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani
Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup
luas, kira-kira luasnya setara dengan luas wilayah negara Thailand saat
ini plus beberapa area yang kini termasuk teritori Malaysia Utara.
Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung
Melayu dan Sumatra sempat berada dalam kekuasaan imperium Sriwijaya.
Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya menguasai jalur
pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang
melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama
Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu,
tanah Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka.
Langkasuka merupakan salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia
Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada abad ke-14 karena
berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan
ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia
dan Eropa (Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk
sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad ke-15 melalui para
pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan
Pattani Raya.
Pada masa itu,
pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh karenanya,
interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan
para pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani
mendeklarasikan bahwa dirinya—yang juga diikuti masyarakatnya—memeluk
Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat berbasis Islam
dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi
pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang
berkiblat pada Hindu-Buddha.
Namun,
setelah berperang selama hampir setengah abad (dari tahun 1785—1826
M), memasuki abad ke-19 akhirnya Pattani dikalahkan kembali oleh Siam
(Ayuthaya). Hal ini didukung oleh pemerintah kolonial Inggris yang pada
tahun 1826 M mengakui kekuasaan Siam atas Pattani. Pada tahun 1902 M,
Kerajaan Siam memberlakukan kebijakan Thesaphiban yang menghapus
seluruh sistem pemerintahan kesultanan Melayu di Pattani. Sejak saat
itu, Kerajaan Pattani semakin lemah dan tertekan.
Di
awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak
pada Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku
Mahmud Muhyiddin, salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas
dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia kemudian membujuk
penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih
Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November
1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil
menyampaikan petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan
Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung
Melayu.
Dalam perkembangannya,
ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri sebagai
tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada
pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung
pendudukan Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam
menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap
kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara
tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu.
Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi
daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari
semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang
dan damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun
kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap memiliki kehidupan sosial
budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di
Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan
rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni
musik nobat.
Bahkan, permainan
tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh
masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur
ritual, nyanyian, tarian dan lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik,
yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai, nafiri, dan rebab.
Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap
muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian
rakyat ketika menidurkan anak (lagu dodoi).
Minoritas Muslim Dan Konflik Di Thailand Selatan
Muslim
di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda
dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim
memiliki bahasa Melayu dan beragama Islam, dua identitas budaya dan
agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani. Mereka selama ratusan
tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani.
Dinamika
Penduduk Jumlah penduduk Muslim di Thailand sekitar 15 persen,
dibandingkan penganut Buddha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim
tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari
total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga
provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi
Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai
wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand
Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun
dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik
Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat
provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% di
perkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di
Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara
mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, rata- rata 70 persen berada
di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk
berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0
%, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Songkhla
adalah provinsi terbesar di Thailand Selatan, yang memiliki bandara
internasional, dan sebagai pusat perdagangan di Selatan. Masyarakat
Buddha etnis Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka
minoritas di Selatan, mereka termasuk kelompok ekonomi menengah,
sebagai pegawai pemerintah dan atau pengusaha. Selama masa integrasi
Pattani, istilah untuk keempat provinsi yang mayoritas Muslim,
masyarakat Thai Buddhis mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Karena mereka selalu mendominasi sebagai pemimpin utama lembaga-lembaga
pemerintah Thailand Selatan.
Sementara etnis minoritas lain, China kebanyakan juga tinggal di perkotaan sebagai pedagang. Kawasan ‘pecinan’ terbesar di Selatan adalah di Kabupaten Betong, Provinsi Yala. Sementara penduduk etnis Thai di pedesaan kehidupan ekonomi dan kedudukannya sama dengan kebanyakan Muslim, sebagai petani, nelayan atau pedagang kecil.
Sementara etnis minoritas lain, China kebanyakan juga tinggal di perkotaan sebagai pedagang. Kawasan ‘pecinan’ terbesar di Selatan adalah di Kabupaten Betong, Provinsi Yala. Sementara penduduk etnis Thai di pedesaan kehidupan ekonomi dan kedudukannya sama dengan kebanyakan Muslim, sebagai petani, nelayan atau pedagang kecil.
Sejak
1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil
alih negara-negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla,
Satun dan Yala, yang kemudian menjadi provinsi di Thailand. Sementara
negara di Melayu utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan
Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia (Yusuf,
2006: 170).
Sejak penyatuan
kelima negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari Thailand,
terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan Buddis Thailand. Pada
awal pemerintahan Thailand yang dikuasai oleh tentara Jenderal Luang
Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944, Marshal Sarit Thanarat,
1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme budaya
Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi – upaya penggunaan budaya
dan bahasa Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah
Selatan, membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan
resistensi sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua
peristiwa yang mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian
semua pihak baik di Thailand maupun di luar Thailand.
Muslim
di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda
dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim
memiliki bahasa Melayu dan beragama Islam, dua identitas budaya dan
agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani. Mereka selama ratusan
tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani. Kuatnya identitas lokal
keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand
untuk menggagas status otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga
provinsi: Patani, Yala dan Narathiwat, atau dalam banyak istilah
sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Patani (Yusuf dan Schmidt,
2006).
Identitas ini sangat dekat
dengan etnisitas Aceh yang tidak sekedar memiliki status Daerah
Istimewa, tetapi otonomi khusus dengan peran dan hak lebih besar bagi
pemerintah lokal atas kekayaan sumber daya alam. Otonomi luas
barangkali solusi bagi Muslim Patani untuk menentukan arah ekonomi dan
politik wilayahnya di bawah kekuasaan pemerintah pusat Thailand. Tetapi
ide otonomi nampaknya belum menjadi agenda pemerintah pusat.
Seandainya wacana dimunculkan kalangan intelektual, muncul banyak
kekhawatiran atas sikap tanggapan yang tidak fair dan berlebihan bahwa
otonomi bisa dijadikan jembatan menuju kemerdekaan.
Partai
Demokrat – yang menekankan secara persatuan kuat negara Thailand –
tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung
kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak
politisi, yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan mereka. Partai
Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen secara
sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi
Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Kerusuhan
yang muncul dipelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki
kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Berlanjutnya
kerusuhan akan mendapatkan budget lebih besar bagi rehabilitasi dan
pembangunan lainnya. Separatisme, Etnis atau Agama? Bagi masyarakat
Indonesia, konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai
agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim
Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada
kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat
lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat.
Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat
identitas keislaman dan kemelayuan tidak bisa dipisahkan. Masyarakat
lebih welcome dengan orang Melayu daripada dengan etnis lain, terutama
Thai.
Penggunaan bahasa Melayu
menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi
ini, di atas 70 %, dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan: Satun
dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa
resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau
acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk
menggunakan ba hasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas
mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa
Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun
terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik di
Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok
yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap
Muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di
Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad
15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam
pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa
kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di
perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan
dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua
peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan banyak pemuda dan
masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap berbagai
organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini
direspon negatif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat
militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa
Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi
paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan
penembakan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara,
polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan pendeta Buddha. Hampir
setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau
Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang
menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Upaya
rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun
terakhir, dengan terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang
mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara
di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan.
Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak
leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu. Persyaratan pemakaian ketat
bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme –pro
kebijakan pusat – menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan
baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi
rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain Nahdlatul
Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah-
kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat
mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu
penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan
pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan
Narathiwat.
Dapat disimpulkan,
tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh Muslim di
Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi
kunci atas terus berlangsungya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah
David Brown sebagai ‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme
internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun.
Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan
dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara
diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan beberapa di antara
mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan