BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang manusia
akan memiliki perilaku yang berbeda dengan manusia lainnya walaupun
orang tersebut kembar siam. Ada yang baik hati suka menolong serta rajin
menabung dan ada pula yang prilakunya jahat yang suka berbuat kriminal
menyakitkan hati. Manusia juga saling berhubungan satu sama lainnya
dengan melakukan interaksi dan membuat kelompok dalam masyarakat.
Perkembangan
masyarakat pada abad 20 ini tidak dapat lepas dari berbagai macam
pengaruh masuknya tata nilai budaya yang baru. Perubahan struktur
masyarakat menyebabkan lahirnya berbagai topik kajian sosiologi.
Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di
mana socius memiliki arti kawan / teman dan logos berarti kata atau
berbicara. Menurut Bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Dalam makalah ini
akan dituliskan tentang perkembangan Sosiologi sebagai ilmu
di indonesia beserta penjelasan tokoh Sosiologi Indonesia atau Bapak
Sosiologi Selo Soemardjan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimana perkembangan Sosiologi secara umum?
- Bagaimana perkembangan Sosiologi di Indonesia?
- Siapa sajakah tokoh Sosiologi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini, tujuan yang ingin
dicapai adalah sebagai berikut :
- Mengetahui perkembangan Sosiologi secara umum.
- Mengetahui perkembangan Sosiologi di Indonesia.
- Mendeskripsikan tokoh Sosiologi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sosiologi Secara Global
Sebagai suatu
disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda
yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali
diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut
sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya
utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive
Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan
suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu
sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang
sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan
pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika
Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology”
dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan
sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis,
Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam
sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan
tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan
penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang
diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh
diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian
mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan
bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh
diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar
tahun 1890-an. The American Journal of Sociology
memulai publikasinya pada tahun 1895 dan The American Sociological
Society (sekarang bernama American Sociological Association)
diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an
telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog
Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai
pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya
edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang
mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang
peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai
contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The
Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual
atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari
kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa
jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi
ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan
teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada
spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya
merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang
lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata,
dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
Bapak Pendiri
Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology) yang
sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu
Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan
mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan
terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan
mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu
politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
B. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman
kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia
sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula
para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang
diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata
hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari
golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi,
terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup
relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di
Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai
konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan
nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa
penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda
yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck
Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya
mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara
ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan
tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada
waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup
penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu
pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah
Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua diselenggarakan
oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah
Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi
yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis,
berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de
Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah
Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru
Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa
pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang
terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang
sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya
member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta
(kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika
kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena
sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am
bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga
dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam
Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai
di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana
untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa
orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi
mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut
berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang
beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat
sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi
Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran
pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang
modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak
mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene
Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku
Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku
Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor
Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja
Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia
kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku
berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada
tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes
in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman
Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book
ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar
ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga
Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah
Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau
Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang
mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada
Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan
UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat
tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada
angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin
melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia
memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat
majemuk yang mencakup berates suku.
C. Tokoh
Sosiologi di Indonesia
Banyak nama atau orang
Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr.
Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan
Arief Budiman. Berikut biografi singkat dan peran – peran tokoh tersebut
dalam perkembangan sosiologi di Indonesia :
1. Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan atau Bapak
Sosiologi Indonesia
Kanjeng Pangeran Haryo
Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta,
23 Mei 1915 –
meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003
pada umur 88 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia.
Beliau juga disebut sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.
Penerima Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan
pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan
sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia dikenal sangat
disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang
meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah
purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan,
ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok
berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang
tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih,
dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana
diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo,
integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku
Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X
agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau
menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah
berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang
sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme
(KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang
bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan
bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan
kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada
masyarakat.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan
Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap
Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI
Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan
Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih
gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di
Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10
tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI.
Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah
dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI
ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir
hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di
lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya,
Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama
aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah
menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus
Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya
masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya
sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda,
masuknya Jepang,
dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya
suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya
sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan
alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula
yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin
Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis,
"Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah,
dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna
kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu
mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati
apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk
mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga
oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih
dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka
"mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru
dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama
untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang
diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena
selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata
masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga
digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti
karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan,
karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra
sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan
tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap
bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan,
karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta
(1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir
Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah
Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002
diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendidikan yang ditempuh oleh Selo Soemardjan adalah HIS,
Yogyakarta (1921-1928), MULO, Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang
(1931-1934), kemudian dilanjutkan di Universitas Cornell, Ithaca, New
York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)
Perjalanan karirnya meningkat setahap demi setahap sebagai
berikut
-
Pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1935-1949)
- Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (1949-1950)
- Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri
(1950-1956)
- Sekretaris Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959-
1961)
- Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
-
Sekretaris Menteri
Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1966-1973)
- Sekretaris Wakil Presiden RI (1973-1978)
- Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-
1983)
- Staf Ahli Presiden RI (1983-sekarang)
- Guru Besar Universitas Indonesia
Karya yang
dihasilkan semasa hidupnya antara lain :
- Social Changes in Yogyakarta (1962)
- Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963)
- Desentralisasi Pemerintahan
Penghargaan yang diterima antara
lain
-
Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah
17 Agustus 1994
- Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994
- Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari
2002
2. Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog
Pendidikan
Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan
guru besar FISIP Universitas Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei
1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari Universitas Indonesia, 1976.
Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University College of Swansea
Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State
University of New York at Albany, USA, 1986.
Dia menjabat
Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua Program
Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI, 1997-sekarang.
Dalam wawancara
dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari
menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo melihat sosial saat
ini masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih
disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap
sebagai sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya
salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, kata
Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar
pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan
interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas
hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit
mengatakan adanya pembangunan sosial.
Menurutnya, bukan hanya pemerintah,
tetapi sebagian besar kita masih memahami pembangunan sosial itu sekadar
charity yang tidak menghasilkan uang. "Mengikuti logika pembangunan
sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan
berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman
pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap
sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling
tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut
ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya dengan kesehatan
dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang dianggap
sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal,
ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah
yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan
kualitas hubungan sosial.
Ditanya tentang adakah usaha yang
sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul? Paulus mengatakan
bahwa Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir
sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul, melalui pembukaan
program manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya, sebenarnya
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara
Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan
sebagian kecil dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan
manajemen pembangunan sosial di pascasarjana UI.
"Dulu kita
membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI
merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang berguna
bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja
sosial, pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat
tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan latar belakang
ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial
budaya yang punya ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan
pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen pembangunan sosial ini
diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia yang memahami
pembangunan sosial dan punya sumbangan besar bagi pembangunan bangsa,"
jelasnya.
Hasilnya? "Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang
dirasakan. Saya berpikir, persoalannya terletak pada inti pembangunan
sosial yang ternyata memang belum bisa ditangkap secara baik oleh
masyarakat dan terutama oleh pemerintah. Sekali lagi saya tegaskan, inti
dari adanya pembangunan sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan
kualitas hubungan sosial di masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya
lebih kasat mata. Misalnya orang berkonflik dengan saling lempar batu,
tetapi ada yang lebih mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan
itu antara buruh dan majikan, guru dan murid, rakyat dan pemerintah.
Yang menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya
dan yang saya punya, bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan
eksploitasi. Ini yang disebut hubungan sosial," jels Paulus.
Paulus sangat
risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan sosialnya
sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit kreatif
sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang
tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
Dia memisalkan:
Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil memproduksi
ataupun menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama
yang dihadapi si A, dia tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya.
Sistem perbankan yang ada tidak memungkin-kannya meminjam dari bank
karena tidak punya jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap
ingin memproduksi idenya adalah meminjam uang dari saudara, kenalan,
atau dari rentenir. Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana,
lantas dia memulai produksi pacul ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian,
pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga
lebih murah dari harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku,
kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha produksinya yang
menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum
berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang.
Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Dia berharap
pemerintah sebagai pengambil kebijakan memberikan dukungan pada
usaha-usaha anak bangsa yang kreatif untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. "Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah mau dan
punya keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus dilakukan
sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak pada usaha
kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang,
kualitas hubungan sosialnya tidak meningkat," katanya.
3. Arief Budiman
Sosiolog Lokal yang Melangkah ke Dunia Internasional
Doktor sosiologi
yang terlahir dengan nama Soe Hok Djin ini meninggalkan status sebagai
dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah,
pasca kerusuhan Mei 1998. Kemudian bersama istri Leila Ch. Budiman
bermukim dan mengajar di Universitas Melbourne, Australia. Dia agaknya
belum mau menghentikan sedikitpun suara kritisnya. Sejak masih muda
lelaki keturunan Tionghoa ini sudah berani mengkritisi kebijakan
Presiden Soekarno bahkan turut turun ke jalanan berdemosntrasi bersama
mahasiswa menumbangkan Orde Lama.
Dia adalah kakak kandung Soe Hok Gie
yang meninggal dunia sebagai tokoh pergerakan mahasiswa. Kendati turut
menumbangkan Orde Lama namun justru di masa Soeharto sepak terjang dan
sikap kritisnya semakin menjadi-jadi terlebih setelah berstatus dosen
Program Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga. Pemerintahan yang
diwariskan kepada B.J. Habibie pun tak luput dari kekritisannya yang dia
sebut tak lebih sebagai perpanjangan Orde Baru.
Bahkan hingga
pemerintahan sudah jatuh ke tangan koleganya Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur, suara kritisnya tetap nyaring terdengar. Media massa pada suatu
masa pernah ramai memuat kritiknya kepada Gus Dur ketika menjelang di
ujung tanduk kekuasaan. Arief ketika itu menyarankan sebagai upaya untuk
bisa bertahan Gus Dur jangan lebih banyak membuat musuh melainkan harus
berkoalisi.
Akhirnya dia merelakan diri dihujani kritik bahkan makian
tatkala kritik pedas terbarunya disampaikan tentang kepemimpinan
Presiden Megawati Soekarno Putri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya
sebagai partai yang rusak dan kacau. Banyak simpatisan partai berlambang
kepala banteng bulat dalam lingkaran putih itu menyebutkan pakar
sosiologi lulusan Harvard University itu sebagai tidak nasionalis karena
banyak bicara di luar dan mengkritik namun memilih bermukim di luar
negeri.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Namun secara teoritis kata Arief nasionalisme adalah persatuan
secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama,
bahasa yang sama, dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu
jarang terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian pengertian
nasionalisme secara spesifik sehingga rentan terhadap manipulasi. Karena
nasionalisme terkadang dipakai untuk bermacam-macam hal maka
pengertiannya harus pula dilihat kasus per kasus.
Mengatasnamakan
nasionalisme untuk dikaitkan dengan amandemen dan penolakannya oleh
sejumlah kalangan, misalnya, menurut Arief bisa relevan tetapi bisa juga
tidak. Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme adalah negara
kesatuan tetapi dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi. Terhadap
Jakarta yang mengambil terlalu banyak oleh daerah yang tidak kebagian
meminta jatah dan tetap pula tidak dipedulikan yang berarti tidak ada
nasionalisme di situ. Oleh mereka yang memperjuangkan nasionalisme
kemudian berpendapat, “justru mungkin Republik Indonesia akan lebih
dipersatukan bila menjadi negara serikat atau federal state.”
Dicontohkan,
negara Australia tempatnya bermukim sekarang kuat sekali nasionalismenya
sebab tiap negara bagian mempunyai pemerintahan masing-masing seperti
juga di Amerika Serikat. Jadi, menurutnya, sama sekali tidak benar jika
Republik Indonesia dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan.
Karena masalah sebenarnya adalah kepentingan, apakah kepentingan dari
banyak orang terpelihara atau tidak. Dalam banyak kasus ternyata
kepentingan lebih banyak orang akan semakin terpelihara jika negara
berbentuk federal di mana kesatuan yang berpusat di Jakarta tidak
diperlukan lagi.
Penyederhanaan nasionalisme menjadi sebentuk negara kesatuan
adalah bermotif keinginan Jakarta mempertahankan hegemoni terhadap
daerah. Lalu, mereka yang seakan-akan mau bebas dan tidak mau tunduk
kepada Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Padahal itu hanyalah
pengatasnamaan seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik Indonesia dan
dimaksudkan untuk mendapatkan untung bagi sebagian elit di Jakarta.
Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dalam kacamata Arief Budiman umumnya adalah
memperbaiki yang lama. Seperti pemilihan presiden langsung suatu hal
yang baik masalahnya presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai sehingga
beresiko menimbulkan oligarki. Harusnya ada juga peluang untuk
pencalonan presiden, gubernur, dan bupati secara independen. Adalah
kemajuan bahwa presiden dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi
buntutnya masih dipegang oleh orang-orang yang punya vested interest
dalam partai.
Kemajuan lain amandemen adalah dihapuskannya wakil militer di
parlemen sejak tahun 2004. Militer yang seharusnya profesional itu jika
ingin berpolitik maka berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta
terutama Pasal 29 UUD 1945 tentang agama dalam pengertian yang
sesungguhnya adalah tidak terjadi kemunduran karena yang dipertahankan
adalah yang lama. Arief menyimpilkan secara keseluruhan terjadi progresi
dalam amandemen sehingga bisa memberikan tambahan optimisme.
Dia menyebutkan
pada dasarnya konstitusi harus selalu diperbaharui dan yang berhak
menentukan perubahan itu harus rakyat sendiri misalnya melalui semacam
referendum khusus untuk hal-hal yang kontroversial. Konstitusi merupakan
sesuatu yang dinamis dan mencerminkan kepentingan rakyat pada kurun
waktu tertentu. Kepentingan bisa berubah karena waktu dan tempat juga
berubah demikian pula lingkungan ikut berubah.
UUD 45 yang
dibuat oleh para pendiri bangsa belum tentu cocok untuk keadaan
selanjutnya. UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau dan darurat
sehingga sangat dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Demikian pula soal
hal asasi manusia belum dimasukkan karena sesungguhnya deklarasi HAM
baru keluar tahun 1948 sehingga baru masuk dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 yang sudah tidak digunakan.
Arief menilai
penolakan terhadap negara federal dahulu terjadi pada zaman Republik
Indonesia Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai oleh Belanda hanya
sebagai alat pemecah-belah berbeda dengan jika sekarang yang dibuat oleh
bangsa sendiri Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang federal,
menurut Arief antara Megawati dengan militer setara punya mitos-mitos
yang tidak bisa ditawar tanpa penjelasan yang baik.
Arief Budiman
berpendapat bahwa rumusan umum nasionalisme adalah tatkala semua pihak
mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi
demikian apapun bisa masuk, semisal, jika negara kesatuan adalah sesuatu
yang penting untuk mengembangkan bangsa maka itu adalah nasionalisme.
Demikian pula
jika ada orang yang mengatakan bahwa negara federal akan lebih baik bagi
kepentingan meningkatkan kesejahteraan semua sebagai bangsa maka itu
juga nasionalisme. Seandainya harus berperang pun dengan Australia jika
itu berguna untuk memperbaiki bangsa adalah nasionalisme juga. Tetapi
jika semuanya tidak berguna maka menjadi tidak nasionalis. Nasionalisme
adalah tujuan yang bisa dicapai dengan bermacam cara termasuk dalam hal
amandemen konstitusi apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau
tidak.
Posisi nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari negeri
Malaysia, misalnya, menurut Arief Budiman kasusnya lebih banyak
disebabkan karena kesalahan diplomasi serta kesemrawutan Departemen Luar
Negeri dan pemerintah Indonesia mengurus warganya di luar negeri. Tanpa
kata nasionalisme pun adalah kewajiban membela warga negara yang pergi
sebagai orang miskin sebab tidak bisa hidup di negeri sendiri. Mestinya
yang dipersoalkan kenapa orang-orang TKI itu cari makan di luar negeri
yang lalu secara menyakitkan diusir oleh negara yang juga sama-sama
mengalami kesulitan oleh karena kedatangan TKI itu. Kepada TKI itu
kenapa tidak bisa diberikan pekerjaan.
Seiring dengan itu sebagai orang
Salatiga Arief Budiman ikut pula merasakan sentimentil sejenis milik
para TKI yang ingin pulang ke kampung halaman sebab merasa sudah capek
berbicara bahasa Inggris terus-menerus bahkan hingga bermimpi pun
memakai bahasa Inggris. Bagi dia Salatiga adalah tetap sebagai tanah
air. Meskipun dia merasa bukan patriot bahkan jika harus merasa bukan
Indonesia sekalipun bagi dia pun bukan masalah yang penting Salatiga
adalah tetap sebagai tanah air.
Dia tetap ingin pulang ke Indonesia.
Selain karena teman-temannya ada di Indonesia dia kalau ngomong
berbahasa Indonesia dia rasakan lebih puas termasuk kalau ngomong
lelucon atau ngomong jorok lebih plong rasanya sebab emosi keluar semua.
Semua itu telah membuat dia rindu selalu terhadap Indonesia walau dia
anggap itu bukanlah sebagai patriotisme atau nasionalisme. Tetapi karena
dilahirkan di Indonesia, kecil diIndonesia, teman-temannya di Indonesia
termasuk bahasa yang dia pakai ketika pertama kali menyatakan emosi
adalah bahasa Indonesia memberi dia alasan untuk rindu Indonesia.
Karenanya pada hari tua Arief Budiman akan lebih senang berada di
Indonesia. Dia mempersilakan kalau sikapnya itu bisa disebut sebagai
nasionalisme..
Perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dilihat oleh
Arief Budiman sebagai sebuah pergerakan sejarah yang tetap memberi
harapan. Arief pernah mengalami hidup di zaman Soekarno demikian pula
Soeharto termasuk masa reformasi. Jika pada zaman Soeharto saja dia
masih punya harapan maka harapan itu menjadi lebih setelah sekarang
Soeharto jatuh. Progresi yang terjadi dia lihat banyak sekali sehingga
memberi harapan yang lebih besar daripada di masa Soeharto. Progresi
yang terjadi itu misalnya pers yang bebas serta demokrasi yang mulai ada
meskipun masih kacau. Sekarang segala sesuatunya menjadi lebih mungkin
untuk terjadi hanya saja bangsa ini masih berada di tengah-tengah
masalah yang masih segudang
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah sosiologi
untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya
Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia
tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The
Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838.
Di Indonesia
sendiri, sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah
mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para
pujangga Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama
kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di
Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM .
Dewasa ini telah
ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan
politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas
yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah
ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI
dan UNPAD.
Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli
atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi
di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman
DAFTAR PUSTAKA
http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-1-sejarah-perkembangan-sosiologi.html diakses tanggal 02 Februari 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Selo_Soemardjan diakses tanggal 02 Februari 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/struktur-ketergantungan-dan-moda-produksi/#more-70 diakses tanggal 02 Februari
2010
http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologi
diakses tanggal 03 Februari 2010
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/paulus-wirutomo/index.shtml
diakses tanggal 03 Februari 2010
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/arief-budiman/index.shtml
diakses tanggal 03 Februari 2010