Home » » Tipe-tipe Mentalitas Budaya

Tipe-tipe Mentalitas Budaya

Written By Unknown on Selasa, 18 Desember 2012 | Selasa, Desember 18, 2012

Menurut Sorokin, kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah mentalitas budaya-nya. Konsep ini mengacu pada pandangan dunia (world view) dasar yang merupakan landasan sistem sosio-budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem sosio-budaya merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan terakhir (merupakan pertanyaan tentang apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia). Ada tiga jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu.

• Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya dari dunia materil yang kita alami dengan indera (tidak ada kehidupan lain setelah dunia).

• Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingat keberadaan yang melampaui dunia materil ini: artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden (gaib) dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan indera kita.

• Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materil dan dunia transenden.

Sehubungan dengan pertanyaan ini ada beberapa pertanyaan tambahan yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan ini harus mencakup apakah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual; luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi; dan apakah pemenuhan kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri (sehingga kebutuhan itu sendiri dikurangi) atau penyesuaian lingkungan (sehinggat kebutuhan itu dapat dipenuhi).

Atas dasar itu, Sorokin menyebutan tiga mentalitas budaya dan beberapa tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem sosio-budaya yang berbeda-beda itu.

1) Kebudayaan Ideasional
Tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementera dan tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Ilahi, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah kedalam beberapa bagian:

a) Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden

b) Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden

2) Kebudayaan Inderawi (sensate culture)
Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut:

a) Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.

b) Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi parasit”, dengan motto, “makan, minum dan kawinlah, karena besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.

c) Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawi/jasmaniah dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.

3) Kebudayaan campuran
Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis) mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:

a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan.

b. Kebudayaan ideasional tiruan (Pseudo ideasional culture). Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain. http://infosos.wordpress.com
Share this article :

Kunjungan

Update

 
Copyright © 2013. BERBAGI ILMU SOSIAL - All Rights Reserved | Supported by : Creating Website | Arif Sobarudin