Banyak pembahasan menyangkut apakah masyarakat manusia pada
hakikatnya bersifat kooperatif (kerja sama) atau kompetitif (bersaing),
berpusat pada masalah kegiatan pemerintahan dan ekonomi. Para penganut
teori fungsional melihat masyarakat sebagai suatu sistem dimana ada
pembagian kerja yang membuat orang-orang saling bekerjasama untuk
meningkatkan kemakmuran mereka. Para penganut teori tersebut melihat
pemerintahan sebagai alat untuk mengkoordinasi usaha bersama guna
mencapai sasaran uang dipandang penting oleh konsensus (persetujuan)
masyarakat. Penganut teori konflik melihat konsensus tersebut sebagai
sesuatu yang lebih bersifat tiruan, bukannya sesuatu yang sebenarnya. Ia
juga memandang pemerintahan dan kegiatan ekonomi sebagai medan laga –
tempat para individu dan kelompok saling bertentangan untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi.
Konsensus seringkali dicapai melalui proses negosiasi, perbedaan pendapat dan kompromi, yang kita sebut politik. Seorang ahli ilmu politik mendefinisikan ilmu politik sebagai studi tentang “siapa yang memperoleh sesuatu, kapan ia memperolehnya dan bagaimana ia memperolehnya” (Lasswell, 1958). Pembenaran atas pernyataan ini terlihat pada kebijakan pemerintah yang pengaruhnya atas pendapatan rakyat berbeda-beda. Pengeluaran selalu mencakup pajak dan keuntungan. Biasanya beberapa orang diharuskan membayar pajak lebih tinggi daripada sejumlah orang lainnya. Peraturan hukum biasanya memudahkan beberapa orang untuk memperoleh uang dan mempersulit beberapa orang lainnya. Jadi politik merupakan ajang pertentangan yang terus-menerus antara kelompok dengan individu dalam usaha mereka untuk memeproleh keuntungan dan menghindari kerugian. Seringkali pertentangan itu dilakukan melalui proses pemilihan dan proses legislatif, dan tidak jarang pula melibatkan kekuatan polisi dan angkatan bersenjata. Dalam setiap kasus, konflik merupakan sesuatu yang nyata dan seringkali kejam.
Pemilihan demokratis dan kompromi legislatif memberi peluang bagi konflik dan kerjasama. Konflik dapat dinyatakan melalui upaya untuk menciptakan perundang-undangan yang mementingkan suatu kelompok tertentu. Kerja sama (kompromi) dapat dilihat pada kesediaan untuk mematuhi hasil pemilihan dan kebijakan lembaga leislatif, serta kesediaan untuk mengadakan kompromi yang memungkinkan terwujudnya pelaksanaan langkah-langkah yang penting bagi segenap lapisan masyarakat, meskipun beberapa kelompok akan merasa bahwa beberapa kebutuhan mereka belum sepenuhnya terpenuhi.
1. Kesejahteraan dan Konflik
Tampaknya mengherankan, bahwa negara kesejahteraan yang diusahakan pemerintah pada tahun-tahun belakangan ini, yang telah banyak memberi manfaat bagi banyak orang, justru meningkatkan konflik. Alasan terjadinya hal demikian adalah karena keinginan dan kebutuhan rakyat tidak terbatas, sedang sumber daya pemerintah terbatas. Permintaan memiliki kecenderungan untuk meningkat jauh lebih cepat daripada kenaikan pendapatan nasional, padahal bila pemerintah mencoba membatasi pengaluaran, maka resikonya pemerintah itu bisa digulingkan. Hal seperti itu benar-benar terbukti di negara-negara sedang berkembang yang mengalami “revolusi peningkatan harapan”, suatu revolusi yang cenderung membuat pemerintahan tidak berdaya memenuhi permintaan warganya.
2. Kecenderungan Inflasi
Apakah yang dapat dilakukan pemerintah manakala berhadapan dengan permintaan yang melebihi sumber daya? Memenuhi permintaan itu tentu tidak mungkin; menolak permintaan itu dapat mengakibatkan kekalahan pada pemilihan yang akan datang, atau bahkan bisa mengakibatkan revolusi yang menggulingkan pemerintahan secara kejam. Jalan keluarnya adalah penelanan atau inflasi. Bisa juga keduanya. Salah satu alasan mengapa kebanyakan negara sedang berkembang menerapkan pemerintahan yang bersifat diktator adalah karena ingin membatasi permintaan warga negara. Jika pemerintah tidak harus menghadapi pemilihan, dan angkatan bersenjata bisa melindunginya dari revolusi kekerasan, maka pemerintah akan mampu menolak permintaan rakyat untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga pemerintah dapat memberikan standar hidup yang lebih tinggi pada rakyat dalam waktu yang singkat. Jika propaganda nasionalistis dapat menemukan musuh asing atau suatu kelompok minoritas dalam negara, yang bisa dijadikan kambing hitam dan dipersalahkan sebagai penyebab kesulitan ekonomi, maka kedudukan pemerintah menjadi lebih kuat.
Meskipun inflasi bisa terjadi di seluruh dunia, namun negara-negara komunis sering menyembunyikannya dengan menyimpan daftar harga terakhir dan membiarkan tempat persediaannya kosong. Sementara itu, barang dan jasa yang tinggal sedikit dapat dibeli dengan menggunakan tambahan pembayaran “rahasia”. Inflasi memiliki banyak tujuan. Tujuan yang utama ialah sebagai suatu cara untuk menghindari keputusan ekonomi yang keras. Pemerintah yang dihadapkan pada permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh pendapatan pajak, mencetak lebih banyak uang (biasanya melalui proses yang agak rumit dan tidak langsung). Sebagai akibatnya, kebanyakan orang memiliki banyak uang, sedangkan jumlah barang dan jasa yang dijual tetap tidak bertambah, sehingga hargapun menonjol.
Inflasi mengurangi gairah menabung, karena nilai uang di masa datang akan lebih rendah daripada nilai uang sekarang. Inflasi membuat setiap perencanaan ekonomi negara atau perencanaan swasta menjadi sulit dan mengancam kesejahteraan setiap orang. Barangkali korban terbedar inflasi adalah orang-orang miskin, yang sebagian besar penghasilannya untuk barang-barang keperluan yang biasanya mengalami kenaikan harga terbesar.
Tidak ada seorang pun yang membela inflasi, namun kenyataannya hampir setiap orang mengembangkannya. Hampir semua kita merasa bahwa gaji kita dibayar rendah, sehingga kita menuntut gaji yang lebih tinggi. Hampir semua orang yang akan menjual sesuatu menghendaki harga yang lebih tinggi. Ketidakmungkinan untuk mengelakkan inflasi pernah ditunjukkan secara jelas oleh sebuah film dokumenter di Amerika Serikat tentang sistem pelayanan kesejahteraan masyarakat. Setiap orang yang diwawancarai merasa bahwa tunjangan kesejahteraannya terlalu rendah; setiap orang yang diwawancarai merasa bahwa pajak kesejahteraan masyarakatnya terlalu tinggi. Setiap orang ingin membayar sedikit dan memperoleh banyak. Akibat yang tidak bisa dihindari ialah terjadinya defisit pemerintah yang lebih besar, pencetakan uang yang lebih banyak, dan akhirnya inflasipun kian meningkat.
3. Ekonomi Bawah Tanah
Salah satu reaksi terhadap inflasi dan pajak yang tinggi adalah pertumbuhan ekonomi yang disebut ekonomi bawah tanah, yang menurut perkiraan, di Amerika mencapai jumlah 500 milyar dollar per tahun (Mac Avoy dalam Horton 1998). Pada setiap negara industri, termasuk Rusia banyak kegiatan ekonomi yang tidak dilaporkan, sehingga dapat melepaskan diri dari peraturan pemerintah dan kewajiban pajak. Di Italia misalnya, diperkirakan 70% pegawai pemerintah memiliki kerja sampingan yang pajak penghasilannya tidak mereka bayar.
Bentuk khas ekonomi bawah tanah mencakup pekerja-pekerja yang berusaha sendiri, mulai dari pembersih sampai dengan orang-orang profesional yang menerima seluruh atau sebagian pembayaran dalam bentuk uang tunai tanpa kuitansi, cek dan tanda terima; termasuk pula pedagang bebas yang menjalankan sebagian kegiatan mereka berdasarkan cara pembayaran yang “harus tunai dan tanpa catatan tertulis”; karyawan yang “bekerja sampingan”, yang kerja sampingannya tidak dilaporkan baik oleh mereka sendiri maupun oleh atasan mereka, sehingga dapat menghemat pengeluaran uang kedua belah pihak. Kegiatan barter (tukar menukar) dimana pekerja memberi jasa mereka tanpa menerima uang, seperti seorang montir memperbaiki mobil seorang dokter untuk memperoleh imbalan pelayanan kesehatan. Klub-klub barter mengurusi pertakaran pelayanan yang tidak dibayar, termasuk pertukaran tidak langsung, seperti bila seorang anggota memberikan jasanya kepada si A, dengan demikian ia memiliki simpanan di “Bank”, yang kelak bisa dipakai untuk membayar jasa gratis yang diterimanya dari si B. Klub-klub barter seperti itu dianggap suatu pelanggaran oleh Direktorat Pajak (The Internal Revenue Service), namun kegiatan mereka masih tetap berjalan. Semakin tinggi tingkat pajak dan semakin berat sanksi peraturan pemerintah, maka semakin besar pula godaan untuk menghindari kewajiban pajak dan melakukan ekonomi bawah tanah ( dalam Horton 1998)
Konsensus seringkali dicapai melalui proses negosiasi, perbedaan pendapat dan kompromi, yang kita sebut politik. Seorang ahli ilmu politik mendefinisikan ilmu politik sebagai studi tentang “siapa yang memperoleh sesuatu, kapan ia memperolehnya dan bagaimana ia memperolehnya” (Lasswell, 1958). Pembenaran atas pernyataan ini terlihat pada kebijakan pemerintah yang pengaruhnya atas pendapatan rakyat berbeda-beda. Pengeluaran selalu mencakup pajak dan keuntungan. Biasanya beberapa orang diharuskan membayar pajak lebih tinggi daripada sejumlah orang lainnya. Peraturan hukum biasanya memudahkan beberapa orang untuk memperoleh uang dan mempersulit beberapa orang lainnya. Jadi politik merupakan ajang pertentangan yang terus-menerus antara kelompok dengan individu dalam usaha mereka untuk memeproleh keuntungan dan menghindari kerugian. Seringkali pertentangan itu dilakukan melalui proses pemilihan dan proses legislatif, dan tidak jarang pula melibatkan kekuatan polisi dan angkatan bersenjata. Dalam setiap kasus, konflik merupakan sesuatu yang nyata dan seringkali kejam.
Pemilihan demokratis dan kompromi legislatif memberi peluang bagi konflik dan kerjasama. Konflik dapat dinyatakan melalui upaya untuk menciptakan perundang-undangan yang mementingkan suatu kelompok tertentu. Kerja sama (kompromi) dapat dilihat pada kesediaan untuk mematuhi hasil pemilihan dan kebijakan lembaga leislatif, serta kesediaan untuk mengadakan kompromi yang memungkinkan terwujudnya pelaksanaan langkah-langkah yang penting bagi segenap lapisan masyarakat, meskipun beberapa kelompok akan merasa bahwa beberapa kebutuhan mereka belum sepenuhnya terpenuhi.
1. Kesejahteraan dan Konflik
Tampaknya mengherankan, bahwa negara kesejahteraan yang diusahakan pemerintah pada tahun-tahun belakangan ini, yang telah banyak memberi manfaat bagi banyak orang, justru meningkatkan konflik. Alasan terjadinya hal demikian adalah karena keinginan dan kebutuhan rakyat tidak terbatas, sedang sumber daya pemerintah terbatas. Permintaan memiliki kecenderungan untuk meningkat jauh lebih cepat daripada kenaikan pendapatan nasional, padahal bila pemerintah mencoba membatasi pengaluaran, maka resikonya pemerintah itu bisa digulingkan. Hal seperti itu benar-benar terbukti di negara-negara sedang berkembang yang mengalami “revolusi peningkatan harapan”, suatu revolusi yang cenderung membuat pemerintahan tidak berdaya memenuhi permintaan warganya.
2. Kecenderungan Inflasi
Apakah yang dapat dilakukan pemerintah manakala berhadapan dengan permintaan yang melebihi sumber daya? Memenuhi permintaan itu tentu tidak mungkin; menolak permintaan itu dapat mengakibatkan kekalahan pada pemilihan yang akan datang, atau bahkan bisa mengakibatkan revolusi yang menggulingkan pemerintahan secara kejam. Jalan keluarnya adalah penelanan atau inflasi. Bisa juga keduanya. Salah satu alasan mengapa kebanyakan negara sedang berkembang menerapkan pemerintahan yang bersifat diktator adalah karena ingin membatasi permintaan warga negara. Jika pemerintah tidak harus menghadapi pemilihan, dan angkatan bersenjata bisa melindunginya dari revolusi kekerasan, maka pemerintah akan mampu menolak permintaan rakyat untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga pemerintah dapat memberikan standar hidup yang lebih tinggi pada rakyat dalam waktu yang singkat. Jika propaganda nasionalistis dapat menemukan musuh asing atau suatu kelompok minoritas dalam negara, yang bisa dijadikan kambing hitam dan dipersalahkan sebagai penyebab kesulitan ekonomi, maka kedudukan pemerintah menjadi lebih kuat.
Meskipun inflasi bisa terjadi di seluruh dunia, namun negara-negara komunis sering menyembunyikannya dengan menyimpan daftar harga terakhir dan membiarkan tempat persediaannya kosong. Sementara itu, barang dan jasa yang tinggal sedikit dapat dibeli dengan menggunakan tambahan pembayaran “rahasia”. Inflasi memiliki banyak tujuan. Tujuan yang utama ialah sebagai suatu cara untuk menghindari keputusan ekonomi yang keras. Pemerintah yang dihadapkan pada permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh pendapatan pajak, mencetak lebih banyak uang (biasanya melalui proses yang agak rumit dan tidak langsung). Sebagai akibatnya, kebanyakan orang memiliki banyak uang, sedangkan jumlah barang dan jasa yang dijual tetap tidak bertambah, sehingga hargapun menonjol.
Inflasi mengurangi gairah menabung, karena nilai uang di masa datang akan lebih rendah daripada nilai uang sekarang. Inflasi membuat setiap perencanaan ekonomi negara atau perencanaan swasta menjadi sulit dan mengancam kesejahteraan setiap orang. Barangkali korban terbedar inflasi adalah orang-orang miskin, yang sebagian besar penghasilannya untuk barang-barang keperluan yang biasanya mengalami kenaikan harga terbesar.
Tidak ada seorang pun yang membela inflasi, namun kenyataannya hampir setiap orang mengembangkannya. Hampir semua kita merasa bahwa gaji kita dibayar rendah, sehingga kita menuntut gaji yang lebih tinggi. Hampir semua orang yang akan menjual sesuatu menghendaki harga yang lebih tinggi. Ketidakmungkinan untuk mengelakkan inflasi pernah ditunjukkan secara jelas oleh sebuah film dokumenter di Amerika Serikat tentang sistem pelayanan kesejahteraan masyarakat. Setiap orang yang diwawancarai merasa bahwa tunjangan kesejahteraannya terlalu rendah; setiap orang yang diwawancarai merasa bahwa pajak kesejahteraan masyarakatnya terlalu tinggi. Setiap orang ingin membayar sedikit dan memperoleh banyak. Akibat yang tidak bisa dihindari ialah terjadinya defisit pemerintah yang lebih besar, pencetakan uang yang lebih banyak, dan akhirnya inflasipun kian meningkat.
3. Ekonomi Bawah Tanah
Salah satu reaksi terhadap inflasi dan pajak yang tinggi adalah pertumbuhan ekonomi yang disebut ekonomi bawah tanah, yang menurut perkiraan, di Amerika mencapai jumlah 500 milyar dollar per tahun (Mac Avoy dalam Horton 1998). Pada setiap negara industri, termasuk Rusia banyak kegiatan ekonomi yang tidak dilaporkan, sehingga dapat melepaskan diri dari peraturan pemerintah dan kewajiban pajak. Di Italia misalnya, diperkirakan 70% pegawai pemerintah memiliki kerja sampingan yang pajak penghasilannya tidak mereka bayar.
Bentuk khas ekonomi bawah tanah mencakup pekerja-pekerja yang berusaha sendiri, mulai dari pembersih sampai dengan orang-orang profesional yang menerima seluruh atau sebagian pembayaran dalam bentuk uang tunai tanpa kuitansi, cek dan tanda terima; termasuk pula pedagang bebas yang menjalankan sebagian kegiatan mereka berdasarkan cara pembayaran yang “harus tunai dan tanpa catatan tertulis”; karyawan yang “bekerja sampingan”, yang kerja sampingannya tidak dilaporkan baik oleh mereka sendiri maupun oleh atasan mereka, sehingga dapat menghemat pengeluaran uang kedua belah pihak. Kegiatan barter (tukar menukar) dimana pekerja memberi jasa mereka tanpa menerima uang, seperti seorang montir memperbaiki mobil seorang dokter untuk memperoleh imbalan pelayanan kesehatan. Klub-klub barter mengurusi pertakaran pelayanan yang tidak dibayar, termasuk pertukaran tidak langsung, seperti bila seorang anggota memberikan jasanya kepada si A, dengan demikian ia memiliki simpanan di “Bank”, yang kelak bisa dipakai untuk membayar jasa gratis yang diterimanya dari si B. Klub-klub barter seperti itu dianggap suatu pelanggaran oleh Direktorat Pajak (The Internal Revenue Service), namun kegiatan mereka masih tetap berjalan. Semakin tinggi tingkat pajak dan semakin berat sanksi peraturan pemerintah, maka semakin besar pula godaan untuk menghindari kewajiban pajak dan melakukan ekonomi bawah tanah ( dalam Horton 1998)